Empat puisi menakjubkan tentang Candi Borobudur dan Trisuci Waisak, dibuat penyair Kota Magelang Es Wibowo yang tidak secara eksplisit menyatakan semangat toleransi antarumat beragama yang hendak disentuhnya.

Namun, pergulatannya dalam melahirkan puisi-puisi itu, diceritakan terjadi atas kesadaran kukuhnya untuk selalu mengingatkan warga bangsa bahwa toleransi adalah realitas dan kebutuhan absolut.

Ia tidak membuat empat puisi secara seketika dan dengan gampang, meskipun ihwal Candi Borobudur dengan seluk beluk raga dan nilai universal yang dikandungnya telah matang di ingatan, benak, dan batinnya.

Nampak perenungan tentang karya itu dijalani secara seksama dan mendalam. Puluhan karya puisi tentang Candi Borobudur memang telah dibuatnya sejak 1980-an. Sebagian karya sastranya bertema itu, masuk dalam buku antologi puisinya "Jagad Batin" (2015).

Dua puisi, masing-masing berjudul "Waisak" dan "Kamadhatu", dibuatkan sejak tiga bulan lalu, sedangkan dua lainnya yang berjudul "Umbul Jumprit" dan "Mrapen" sebulan yang lalu.

Pelecut Es Wibowo yang dua bulan mendatang menyentuh usia 60 tahun itu, untuk melahirkan empat puisi terbarunya, tidak lepas dari keprihatinan atas munculnya gerakan intoleransi.

Ia tak mau terus berdiam diri menjadi bagian dari mayoritas diam dalam menghadapi merebaknya intoleransi. Melalui jalan sastra, ia ingin turut menjaga toleransi yang menjadi warisan nenek moyang bangsa, agar tetap tegak dan membumi.

"Ingin mengapresiasi Candi Borobudur, namun lebih dari itu, puisi itu wujud toleransi antarumat beragama," kata Es Wibowo yang juga pemeluk Islam taat tersebut.

Salah satu koran terbitan Yogyakarta memuat empat puisinya pada Minggu (7/5) di halaman budaya. Salah satunya puisi yang berjudul "Kamadhatu" dibaca dengan apik oleh Es Wibowo pada pembukaan pameran lukisan bertajuk "Kamadhatu" di Limanjawi Art House Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, petang harinya.

Sebanyak 15 seniman berasal dari Bali yang berpameran di kawasan Candi Borobudur itu, disebut pemilik galeri, Umar Chusaeni, sebagai bentuk mewujudkan semangat toleransi dan memantapkan jati diri bangsa yang plural.

Oleh Umar dinyatakan bahwa para pelukis dari Bali yang pemeluk Hindu, melalui pameran "Kamadhatu", beroleh inspirasi Candi Borobudur dan mengapresiasi karya nenek moyang bangsa yang kental bernuansa Buddha.

Momentum pameran mereka yang juga ditandai dengan pembacaan puisi tentang Candi Borobudur tersebut, seakan tidak lepas dari perayaan Waisak 2017 oleh umat Buddha di candi yang juga warisan budaya dunia tersebut.

Tahun ini, puncak Trisuci Waisak jatuh pada Kamis (11/5), sedangkan rangkaian perayaan oleh umat Buddha dan para biksu dari dalam serta luar negeri, telah dimulai sejak akhir pekan lalu melalui bakti sosial pengobatan gratis untuk masyarakat umum.

Rangkaian lainnya, berupa pengambilan air berkah dari Umbul Jumprit di kawasan Gunung Sindoro Kabupaten Temanggung, Senin (8/5), pengambilan api dharma dari sumber api alam di Mrapen, Kabupaten Gorobogan, Selasa (9/5). Air berkah dan api dharma kemudian disemayamkan di Candi Mendut, sebelum dibawa dengan berjalan kaki menuju Candi Borobudur pada Hari Waisak.

Selain itu, mereka juga menjalani tradisi pindapata di sekitar Kelenteng Liong Hok Bio Kota Magelang pada Rabu (10/5) pagi dilanjutkan sore harinya prosesi jalan kaki dari Candi Mendut ke Borobudur.

Puncak Waisak akan jatuh pada Kamis (11/5) bertepatan dengan bulan purnama pukul 04.42.09 WIB. Umat Buddha menandai dengan meditasi dan pradaksina di pelataran Candi Borobudur.

Untaian kalimat puisi "Waisak" Es Wibowo menggambarkan kekuatan spiritual dari persembahyangan takzim yang dijalani umat Buddha, saat puncak hari suci tersebut.

"Di pelataran Candi Borobudur. Aku menguping dengung mantra sangha. Menyelami kedalaman laut meditasi. Merambati ketinggian langit rohani. Melepaskan karma, sebab dan akibat. Memutus samsara, lahir hidup mati. Dan kekekalan itu, anakku, tiada awal dan akhir" demikian salah satu bait puisi tersebut.

Trisuci Waisak memperingati tiga peristiwa penting dalam ajaran Buddha, yakni kelahiran Sidharta Gautama di bawah pohon Sala di Taman Lumbini pada 623 SM.

Sidharta beroleh pencerahan sempurna di bawah pohon Bodi pada usia 35 tahun, dan mangkat Sang Buddha Gautama di bawah pohon Sala Kembar pada usia 80 tahun. Tiga peristiwa itu terjadi bertepatan dengan saat purnamasidi Bulan Waisaka.

"Maka umat Buddha merayakan tiga peristiwa suci dalam kehidupan Sang Buddha, saat purnamasidi Bulan Waisaka," kata Ketua Umum Perwakilan Umat Buddha Indonesia Siti Hartati Murdaya ketika pembukaan bakti sosial di Taman Lumbini Candi Borobudur, akhir pekan lalu.

Hadir pada kesempatan itu, antara lain Gubernur Jateng Ganjar Pranowo, Kapolda Jateng Irjen Pol Condro Kirono, Sekretaris Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Buddha Kementerian Agama Caliadi, dan sejumlah pemuka lintas agama. Pada kesempatan itu, mereka melepaskan puluhan burung Merapi sebagai simbol perdamaian dan harmoni.

Kabar tentang rencana kedatangan seorang mahasiswa Universitas Gajah Mada Yogyakarta, Valentinus Yudhanto Seto Damarjati, dalam perayaan Waisak di Candi Borobudur, seperti gayung bersambut dengan bait lainnya dalam puisi "Waisak" Es Wibowo.

"Bulan purnama malam suci nanti. Akan kusimak khutbah bhiku membabar astamarga. Menuang kebenaran tumpah bersama air berkah. Setelah pencerahan sempurna menerangi stupa. Sesudah paritta kebahagiaan dan kesejahteraan dunia. Aku akan menunda kebebasan. Sampai semua makhluk hidup terselamatkan," demikian bait terakhir karya sastra itu.

Seto Damar, pemeluk Katolik yang mahasiswa Program Studi Ilmu Komunikasi UGM dan tinggal di salah satu kecamatan di Yogyakarta, menyatakan keinginan untuk mendengarkan khutbah sang biksu saat puncak Waisak di Candi Borobudur.

Tentu kehadirannya pada Waisak mendatang yang mungkin juga dilakukan umat beragama lain, bukan untuk ikut bersembahyang sebagaimana dijalani umat Buddha. Boleh jadi, mereka ingin melihat, ikut menikmati suasana wisata rohani, dan menyerap inspirasi atas Candi Borobudur serta perayaan Waisak, untuk karya-karya mulia mereka masing-masing.

Pengelola Taman Wisata Candi Borobudur tidak menutup aktivitas wisata umum saat umat Buddha melakukan seluruh rangkaian perayaan Waisak di Candi Borobudur yang dibangun sekitar abad ke-8, masa pemerintahan Dinasti Syailendra itu.

Pihak TWCB telah mengatur dengan baik aktivitas kepariwisataan Candi Borobudur agar wisata umum dan perayaan Waisak oleh umat Buddha berjalan seiring, dan bahkan pengunjung Borobudur bisa menyaksikan umat Buddha menjalani perayaannya.

"Tidak ada penutupan untuk wisatawan umum," kata Kepala Unit TWCB Chrisnamurti Adiningrum. Unit TWCB adalah bagian dari PT Taman Wisata Candi Borobudur, Prambanan, dan Ratu Boko, perusahaan di bawah Badan Usaha Milik Negara yang berkantor pusat di Yogyakarta.

Mereka semua yang hadir menyentuh Candi Borobudur bertepatan dengan rangkaian perayaan Trisuci Waisak akan menjadi wujud kekinian atas rumusan kalimat pujangga Jawa abad ke-14, Empu Tantular, dalam buku "Sutasoma".

Empu Tantular adalah pemeluk Buddha dan keponakan Raja Majapahit, Hayam Wuruk. Salah satu bait dalam kakawin "Sutasoma" menyebut "Bhineka Tunggal Ika" yang artinya berbeda-beda tetapi satu.

Salah satu ejawantah atas "Bhineka Tunggal Ika" yang sekarang menjadi semboyan bangsa dan tertera dalam lambang negara, Garuda Pancasila itu, berupa semangat toleransi dan pluralisme.

Di sela "Borobudur International Conference 2017", Sabtu (6/5), dengan menghadirkan di Kompleks Candi Borobudur para pemuka dan komunitas lintas agama, Kepala Biara Mendut Bhiksu Sri Pannyavaro Mahathera mengungkapkan refleksi kritisnya tentang jati diri bangsa Indonesia, yakni cinta kasih, toleransi, dan saling menghargai antarsesama.

Nilai-nilai universal itu selain dituang oleh Empu Tantular dalam buku "Sutasoma", juga disentuhkan nenek moyang bangsa di bangunan megah, Candi Borobudur. Itu realitas hidup bangsa hingga saat ini, yang tak bisa dimungkiri.

"Yang dituliskan Empu Tantular itu, berbeda tapi tunggal, menyimpulkan `kasunyatan` (realitas) jauh sebelum itu, yang ada waktu itu, sampai sekarang," katanya.

Oleh karena spirit toleransi sebagai "kasunyatan" pemberian Tuhan kepada bangsa ini, penyair Es Wibowo sepertinya mengingatkan kembali ungkapan luhur dan bernas dari sang pujangga abad ke-14, Empu Tantular.

Melalui karya sastra, Es Wibowo nampaknya hendak menyatakan bahwa upaya merongrong toleransi dan menghancurkan pluralisme, bakal sirna oleh pancaran api dharma.

"Senja itu juga kuyakinkan karma buruk runtuh", demikian baris terakhir puisinya, "Mrapen".

Pewarta : M. Hari Atmoko
Editor :
Copyright © ANTARA 2025