Komitmen bangsa ini untuk memperbaiki taraf pendidikan tidak diragukan lagi meski selalu dihadapi masalah klasik yang terus "didengungkan", yakni keterbatasan pendanaan. Pemerintah melalui APBN/APBD telah diamanatkan untuk memenuhi anggaran pendidikan sebesar 20 persen.
Angka 20 persen itu bukan hasil obrolan di warung kopi. Akan tetapi, itu adalah kewajiban konstitusi pemerintah sesuai dengan amanat UUD 1945 Pasal 31 Ayat (4). Selain itu, juga Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Kenyataannya pendanaan pendidikan bagi sekolah tidaklah cukup hanya bersumber dari APBN dan APBD sehingga membutuhkan dukungan dari masyarakat. Atas dasar pertimbangan tersebut Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy memandang perlu ada revitalisasi tugas komite sekolah berdasarkan prinsip gotong royong.
Peran komite sekolah kini lebih luas. Lewat Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 75 Tahun 2016, komite sekolah kini boleh melakukan penggalangan dana dan sumber daya pendidikan lainnya untuk melaksanakan fungsinya dalam memberikan dukungan tenaga, sarana, dan prasarana, serta pengawasan pendidikan.
Dalam Permendikbud tersebut ditegaskan bahwa komite sekolah harus membuat proposal yang diketahui oleh sekolah sebelum melakukan penggalangan dana dan sumber daya pendidikan lainnya dari masyarakat. Selain itu, hasil penggalangan dana harus dibukukan pada rekening bersama antara komite sekolah dan pihak sekolah.
Hasil penggalangan dana tersebut, antara lain, untuk menutupi kekurangan biaya satuan pendidikan, pembiayaan program/kegiatan terkait dengan peningkatan mutu sekolah yang tidak dianggarkan, pengembangan sarana dan prasarana, serta pembiayaan kegiatan operasional komite sekolah dilakukan secara wajar dan dapat dipertanggungjawabkan.
Penggunanaan hasil penggalangan dana oleh pihak sekolah selain harus mendapat persetujuan dari komite sekolah juga dipertanggungjawabkan secara transparan dan dilaporkan kepada komite sekolah.
Permasalahannya, kemampuan komite sekolah untuk menggalang dana diragukan sebagian kalangan. Seperti Koalisi Masyarakat Sipil untuk Transformasi Pendidikan (KMSTP) menyatakan bahwa penggalangan bantuan dari masyarakat diragukan efektivitasnya karena pengurus komite sekolah belum memiliki akses dan kemampuan untuk hal tersebut.
Sebagian pengurus komite sekolah diragukan memiliki akses terhadap perusahaan yang memiliki program CSR, tokoh masyarakat, individu dengan kemampuan ekonomi tinggi, dan pihak lain. Sebagian komite sekolah mungkin mampu mengakses karena sebagian perusahaan berada atau dengan wilayah sekolahnya. Namun, sebagian yang lain, berada jauh dari perusahaan yang akan memberikan CSR. Masyarakat di sekitar sekolah juga tidak dalam kondisi mampu memberi bantuan atau sumbangan finansial pada sekolah.
Di perkotaan diprediksi akan banyak sekolah mengajukan proposal pada perusahaan atau instansi tertentu. Hal ini akan memicu persaingan dan kompetisi antarkomite sekolah untuk memperebutkan bantuan dari donatur. Kompetisi ini jelas tidak menguntungkan sekolah. Masalahnya, pengurus komite sekolah tidak memiliki akses dan jaringan yang kuat pada penyumbang.
Akibatnya, komite sekolah tidak akan dapat memenuhi target bantuan dan kemudian mengandalkan sumbangan dari orang tua murid. Ketika hal ini terjadi, mungkin saja komite sekolah memberlakukan sumbangan dengan unsur mengikat atau dengan kata lain sumbangan tersebut pada dasarnya adalah pungutan.
Begitu pula, menyangkut transparansi penggunaan dana. Sekolah perlu membuat perencanaan yang akan dilakukan selama 1 tahun ke depan. Detail sampai kegiatan dan barang/jasa apa yang mau dibeli. Berdasarkan rencana itu, baru ditetapkan besarnya bantuan dan sumbangan. Perencanaan ini, selain dibuat bersama komite sekolah, hasilnya harus diumumkan lewat website yang dibangun oleh pemda, atau minimal oleh sekolah, tempat orang tua bisa mengakses.
Pendanaan pendidikan di sekolah sejatinya merupakan kewajiban pemerintah. Sementara komite sekolah yang kini perannya ditingkatkan bisa melakukan penggalangan dana tetaplah harus diawasi agar tidak melanggar aturan.
Angka 20 persen itu bukan hasil obrolan di warung kopi. Akan tetapi, itu adalah kewajiban konstitusi pemerintah sesuai dengan amanat UUD 1945 Pasal 31 Ayat (4). Selain itu, juga Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Kenyataannya pendanaan pendidikan bagi sekolah tidaklah cukup hanya bersumber dari APBN dan APBD sehingga membutuhkan dukungan dari masyarakat. Atas dasar pertimbangan tersebut Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy memandang perlu ada revitalisasi tugas komite sekolah berdasarkan prinsip gotong royong.
Peran komite sekolah kini lebih luas. Lewat Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 75 Tahun 2016, komite sekolah kini boleh melakukan penggalangan dana dan sumber daya pendidikan lainnya untuk melaksanakan fungsinya dalam memberikan dukungan tenaga, sarana, dan prasarana, serta pengawasan pendidikan.
Dalam Permendikbud tersebut ditegaskan bahwa komite sekolah harus membuat proposal yang diketahui oleh sekolah sebelum melakukan penggalangan dana dan sumber daya pendidikan lainnya dari masyarakat. Selain itu, hasil penggalangan dana harus dibukukan pada rekening bersama antara komite sekolah dan pihak sekolah.
Hasil penggalangan dana tersebut, antara lain, untuk menutupi kekurangan biaya satuan pendidikan, pembiayaan program/kegiatan terkait dengan peningkatan mutu sekolah yang tidak dianggarkan, pengembangan sarana dan prasarana, serta pembiayaan kegiatan operasional komite sekolah dilakukan secara wajar dan dapat dipertanggungjawabkan.
Penggunanaan hasil penggalangan dana oleh pihak sekolah selain harus mendapat persetujuan dari komite sekolah juga dipertanggungjawabkan secara transparan dan dilaporkan kepada komite sekolah.
Permasalahannya, kemampuan komite sekolah untuk menggalang dana diragukan sebagian kalangan. Seperti Koalisi Masyarakat Sipil untuk Transformasi Pendidikan (KMSTP) menyatakan bahwa penggalangan bantuan dari masyarakat diragukan efektivitasnya karena pengurus komite sekolah belum memiliki akses dan kemampuan untuk hal tersebut.
Sebagian pengurus komite sekolah diragukan memiliki akses terhadap perusahaan yang memiliki program CSR, tokoh masyarakat, individu dengan kemampuan ekonomi tinggi, dan pihak lain. Sebagian komite sekolah mungkin mampu mengakses karena sebagian perusahaan berada atau dengan wilayah sekolahnya. Namun, sebagian yang lain, berada jauh dari perusahaan yang akan memberikan CSR. Masyarakat di sekitar sekolah juga tidak dalam kondisi mampu memberi bantuan atau sumbangan finansial pada sekolah.
Di perkotaan diprediksi akan banyak sekolah mengajukan proposal pada perusahaan atau instansi tertentu. Hal ini akan memicu persaingan dan kompetisi antarkomite sekolah untuk memperebutkan bantuan dari donatur. Kompetisi ini jelas tidak menguntungkan sekolah. Masalahnya, pengurus komite sekolah tidak memiliki akses dan jaringan yang kuat pada penyumbang.
Akibatnya, komite sekolah tidak akan dapat memenuhi target bantuan dan kemudian mengandalkan sumbangan dari orang tua murid. Ketika hal ini terjadi, mungkin saja komite sekolah memberlakukan sumbangan dengan unsur mengikat atau dengan kata lain sumbangan tersebut pada dasarnya adalah pungutan.
Begitu pula, menyangkut transparansi penggunaan dana. Sekolah perlu membuat perencanaan yang akan dilakukan selama 1 tahun ke depan. Detail sampai kegiatan dan barang/jasa apa yang mau dibeli. Berdasarkan rencana itu, baru ditetapkan besarnya bantuan dan sumbangan. Perencanaan ini, selain dibuat bersama komite sekolah, hasilnya harus diumumkan lewat website yang dibangun oleh pemda, atau minimal oleh sekolah, tempat orang tua bisa mengakses.
Pendanaan pendidikan di sekolah sejatinya merupakan kewajiban pemerintah. Sementara komite sekolah yang kini perannya ditingkatkan bisa melakukan penggalangan dana tetaplah harus diawasi agar tidak melanggar aturan.