Jakarta, Antara Jateng - Direktur Eksekutif Voxpol Center Pangi Syarwi Chaniago mengatakan Revisi Undang-Undang Pilkada dapat mencegah munculnya politisi "kutu loncat" atau berpindah-pindah memanfaatkan peluang dalam kontestasi pemilihan kepala daerah.
"Revisi UU Pilkada dapat dilakukan agar tidak ada pejabat publik yang menjadi kutu loncat. Artinya jabatan sebelumnya hanya sebagai batu loncatan untuk menuju jenjang karir selanjutnya yang lebih menjanjikan," ujar Pangi dihubungi di Jakarta, Selasa.
Pangi mengatakan guna mencegah politisi "kutu loncat" maka dalam Revisi UU Pilkada perlu tetap diatur mengenai kewajiban anggota dewan mundur dari jabatannya terhitung sejak mencalonkan diri sebagai kepala daerah.
Menurut dia, selain mencegah politisi dalam memanfaatkan peluang, kewajiban mundur dari jabatan juga dapat meminimalisir terjadinya penyalahgunaan wewenang dan fasilitas negara ketika proses kampanye calon pejabat publik.
"Ini memang sebuah anomali dan sebuah perdebatan yang punya alasan sama-sama benar. Tetapi saya sepakat seseorang mundur dari pegawai negeri sipil dan jabatan anggota DPR, DPD dan DPRD terhitung sejak mencalonkan diri mengisi jabatan publik," jelas dia.
Pangi mengatakan kewajiban pegawai negeri sipil atau anggota dewan mundur dari jabatan ketika mencalonkan diri sebagai kepala daerah memang memicu munculnya calon tunggal. Namun hal tersebut akan menghilangkan politisi yang maju sebagai calon kepala daerah hanya untuk ajang coba-coba, atau menjadi pengembira dan mengacaukan sinyal lawan politik.
Revisi UU Pilkada masih dalam tahap pembahasan antara Komisi II DPR RI dengan pemerintah. Salah satu poin yang menjadi perdebatan adalah tentang kewajiban PNS dan anggota dewan mundur dari jabatan kala mencalonkan diri sebagai kepala daerah.
"Revisi UU Pilkada dapat dilakukan agar tidak ada pejabat publik yang menjadi kutu loncat. Artinya jabatan sebelumnya hanya sebagai batu loncatan untuk menuju jenjang karir selanjutnya yang lebih menjanjikan," ujar Pangi dihubungi di Jakarta, Selasa.
Pangi mengatakan guna mencegah politisi "kutu loncat" maka dalam Revisi UU Pilkada perlu tetap diatur mengenai kewajiban anggota dewan mundur dari jabatannya terhitung sejak mencalonkan diri sebagai kepala daerah.
Menurut dia, selain mencegah politisi dalam memanfaatkan peluang, kewajiban mundur dari jabatan juga dapat meminimalisir terjadinya penyalahgunaan wewenang dan fasilitas negara ketika proses kampanye calon pejabat publik.
"Ini memang sebuah anomali dan sebuah perdebatan yang punya alasan sama-sama benar. Tetapi saya sepakat seseorang mundur dari pegawai negeri sipil dan jabatan anggota DPR, DPD dan DPRD terhitung sejak mencalonkan diri mengisi jabatan publik," jelas dia.
Pangi mengatakan kewajiban pegawai negeri sipil atau anggota dewan mundur dari jabatan ketika mencalonkan diri sebagai kepala daerah memang memicu munculnya calon tunggal. Namun hal tersebut akan menghilangkan politisi yang maju sebagai calon kepala daerah hanya untuk ajang coba-coba, atau menjadi pengembira dan mengacaukan sinyal lawan politik.
Revisi UU Pilkada masih dalam tahap pembahasan antara Komisi II DPR RI dengan pemerintah. Salah satu poin yang menjadi perdebatan adalah tentang kewajiban PNS dan anggota dewan mundur dari jabatan kala mencalonkan diri sebagai kepala daerah.