Sejumlah pemuda mengenakan kain warna putih yang membawa properti salib cukup besar terbuat dari jerami, berdiri di atas batu tersebut. Beberapa pemudi berkain kebaya dengan membawa properti lainnya berupa anyaman jerami berlatar belakang kain warna merah dan kuning. Properti tersebut diletakkan pada bambu panjang. Mereka berdiri di samping kanan dan kiri salib.

Tempat itu, sebagai salah satu di antara beberapa titik perhentian jalan salib Jumat Agung oleh ratusan umat setempat dengan dipimpin tiga imam Katolik, yakni Romo Aloysius Martoyoto Wiyono (Pastor Kepala Paroki Santa Maria Lourdes Desa Sumber, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang), Romo Antonius Abas Kurnia Andrianto (Pastor Pembantu Paroki Sumber), dan Romo Petrus Noegroho Agoeng Sriwidodo (Ketua Komisi Komunikasi Sosial Keuskupan Agung Semarang).

Prosesi untuk mengenang Yesus memanggul salib dari Kota Yerusalem menuju Bukit Golgota hingga mangkat untuk menebus dosa manusia itu, mereka jalani dari tempat peribadatan di gedung terbuka bernama Gubug Selo Merapi di Dusun Grogol, Desa Mangungsoko, Kecamatan Dukun, sekitar delapan kilometer barat daya puncak Gunung Merapi, melewati pematang sawah dan Sungai Senowo yang aliran airnya berhulu di Merapi.

Dalam prosesi dengan tema "OMK (Orang Muda Katolik) Paroki Sumber: Bangkit dan Terlibat untuk Melayani" sebagai pemaknaan atas dua momentum besar, yakni "Indonesian Youth Day 2016" dan Asian Youth Day 2017" itu, juga melewati alur Sungai Senowo di dekat cekdam Tutup Ngisor, dan berakhir di tepi areal demo plot pertanian Dusun Grogol.

Indonesia Youth Day bakal digelar di Keuskupan Manado, bertempat Wisma Lorenzo, Lotta, Manado, Sulawesi Utara, selama 1-6 Oktober 2016, sedangkan Asian Youth Day Ke-7 di Keuskupan Agung Semarang, bertempat di Yogyakarta dan sekitarnya pada Agustus 2017, dengan harapan dihadiri pimpinan tertinggi gereja Katolik sedunia berkedudukan di Vatikan, Paus Fransiscus.

Doa-doa dan tembang-tembang rohani Katolik mereka lantunkan secara khitmad selama prosesi di alam terbuka Gunung Merapi. Setiap umat membawa tanda salib ukuran kecil-kecil, terbuat dari berbagai tanaman pertanian, seperti jerami, pohon singkong, pelepah pisang, daun kelapa, dan bambu.

Para pastor secara bergantian di setiap perhentian jalan salib kemasan umat Katolik lereng barat Gunung Merapi yang sebagian besar hidup dari pertanian, mengajak mereka untuk merenungkan makna atas wafat Yesus dengan cara disalib untuk menebus dosa manusia.

Prosesi jalan salib ala petani Gunung Merapi digarap oleh seniman petani dusun setempat, Andreas Susanto, dengan refleksi yang secara khusus ditujukan kepada kalangan pemuda dan pemudi.

Suasana langit kawasan Gunung Merapi yang cerah siang tersebut, terkesan mewarnai prosesi jalan salib umat Katolik setempat, sedangkan suara gemericik air dari Sungai Senowo seakan menjadi pengiring arak-arakan mereka.

Di dekat batu besar dan timbunan cukup tebal sisa banjir lahar hujan dari Gunung Merapi yang juga bekas penambangan material bebatuan, Romo Agoeng dengan jelas mengajak umat untuk merefleksikan betapa kerusakan alam menjadikan beban salib Yesus semakin berat.

Ia mengaitkan refleksi tersebut dengan peristiwa Yesus ditolong Simon dari Kirene yang Yesus membantu memanggul salib dan Veronika yang secara berani keluar dari kerumunan massa serta tentara Romawi, lalu menghampiri Yesus untuk membersihkan wajahnya yang berlumur darah dalam penyaliban-Nya.

Mereka telah meringankan beban penderitaan Yesus dan berbelarasa dengan cara masing-masing. OMK diajak untuk menyelami peranan Simon dan Veronika dalam jalan salib Yesus.

Ia mengatakan kerusakan bumi telah memperberat salib Yesus. Bumi yang juga ciptaan Allah, selama ini telah memenuhi kebutuhan manusia. Namun, dalam mengolah bumi dengan segala isinya, manusia melakukannya secara berlebihan dan bahkan melupakan kepentingan kelestarian. Perusakan atas bumi bagaikan makin menambah luka yang berat pada diri Yesus.

"Kita diajak seperti Simon dan Veronika, ikut meringankan beban Yesus, meringankan beban bumi. Kita dipanggil untuk menghidupkan bumi, menebus kembali bumi dari dosa-dosa manusia yang rakus mengambil kekayaannya," katanya.

Mereka kemudian melanjutkan arak-arakan doa hingga tempat di dekat cekdam yang menghubungkan Dusun Tutup Ngisor dengan Kajangkoso. Lagu rohani "Hanya Debulah Aku" dan doa "Salam Maria" diucapkan berulang-ulang, seakan turut memperdalam refleksi jalan salib mereka.

"'Hanya debulah aku, di alas kaki-Mu Tuhan. Hauskan titik embun, sabda penuh ampun. Tak layak aku tengadah, menatap wajah-Mu, Namun tetap kupercaya, maha rahim Engkau'," begitu mereka melambungkan lagu itu pada bait pertama. Lagu dengan syair "Hanya Debulah Aku" adalah karya Cosmas Margono pada 1980, tertera dalam buku doa "Puji Syukur".

Sambil berdiri di bebatuan besar di dekat cekdam Tutup Ngisor, Romo Martoyoto, mengingatkan umat tentang usaha-usaha mengatasi bencana alam, sebagaimana dilakukan pemerintah melalui pembangunan cekdam penahan banjir lahar. Gunung Merapi erupsi hebat pada akhir 2010 disusul dengan banjir lahar secara intensif hingga pertengahan 2011. Potensi banjir lahar masih terjadi hingga saat ini, terutama jika hujan deras mengguyur dari kawasan puncak Gunung Merapi.

Aliran air dari Gunung Merapi melalui cekdam Tutup Ngisor siang tersebut, seakan mengalirkan makna refleksi jalan salib umat Katolik, tentang betapa bencana kehidupan terus saja mengancam dan menerpa manusia setiap hari.

Masyarakat setempat pernah bergotong-royong membangun jembatan di dekat cekdam tersebut, akan tetapi jembatan itu hanyut oleh banjir lahar hujan akibat erupsi Merapi 2010. Hingga saat ini, belum dibangun lagi jembatan penghubung antara dua dusun yang dipisahkan oleh Sungai Senowo itu.

"Banjir itu bisa dalam wujud konsumsi segala hasil produksi, banjir internet dan lain-lain. Bisa jadi orang muda bisa hanyut, tidak tahan menghadapi banjir," katanya.

Akan tetapi, katanya, Tuhan Yesus memberi peneguhan kepada umatnya, supaya beroleh kekuatan menghadapi banjir kehidupan dan beroleh keselamatan.

"Yesus meneguhkan kita. Dia mencintai kaum muda. Tentu kita bersyukur atas cinta Yesus itu. Tidak ada jalan buntu untuk sampai kepada Tuhan, karena Dia meneguhkan kita," ujarnya.

Saat prosesi jalan salib mereka tiba di areal demplot pertanian di tepi Dusun Grogol, Romo Kurnia mengajak umat merefleksikan tentang pentingnya meletakkan harapan kuat kepada Allah atas keselamatan kehidupan.

Hal tersebut, sebagaimana selama ini mereka yang hidup dari pertanian, selalu meletakkan harapan mendapatkan hasil terbaik atas olah pertanian dengan tekun, untuk kehidupannya.

Melalui pertanian, katanya, umat dihadapkan kepada suatu harapan sebagaimana salib memberi harapan atas kehidupan dan keselamatan, serta penebusan dari dosa. Kawasan setempat diolah oleh petani setempat, terutama untuk berbagai komoditas hortikultura.

"Dengan tanaman baru, ada harapan. Di demplot pertanian ini menjadi tanggung jawab kita menjaga kehidupan. Salib Kristus menjadi harapan kita bersama," ucapnya.

Setiap umat Katolik membawa salib masing-masing dalam tugas dan tanggung jawab sehari-hari, baik dalam kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, gereja, bangsa, maupun negara.

Mereka mempersembahkan jalan salib kehidupan sehari-hari masing-masing menjadi bagian dari kesatuan dengan salib Yesus, untuk beroleh berkah dan mencapai keselamatan.

"Kami bawa salib masing-masing, aneka tugas dan tanggung jawab, dalam Engkau kami persembahkan kepada-Mu, semoga bersama salib-Mu menjadi kekuatan peneguhan dan pengharapan atas jalan keselamatan dan penebusan dari dosa," katanya.

Setiap umat kemudian meletakkan salibnya di bawah salib besar yang diletakkan di areal pertanian lereng Gunung Merapi, sambil melambungkan secara bersama-sama lagu rohani, "Pujilah Tuhan, pujilah nama-Nya. Pujilah Tuhan, sumber kehidupan".

Pewarta : M Hari Atmoko
Editor : Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2024