Siang itu, para pedagang alat-alat dapur secara keliling dari kampung ke kampung tersebut memandangi dengan serius lukisan pemandangan alam yang mungkin dianggapnya aneh.

Lukisan belum berpigura itu disandarkan di salah satu penyangga teras rumah di Dusun Bumen Jepalan, Desa Karangrejo, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Provinsi Jawa Tengah, sekitar dua kilometer barat daya Candi Borobudur.

"Penasaran, kok bagus," kata satu di antara dua perempuan, masing-masing berbaju putih dan celana panjang warna hitam, yang sama-sama berasal dari Kabupaten Puworejo itu.

Di samping karya itu, lukisan lainnya di atas beberapa lembar tripleks ukuran utuh yang masih dalam proses penggarapan oleh pembuatnya, Muhdi, juga tersandar di dinding teras tersebut.

Di dinding ruang depan rumah berbentuk limasan itu, terpampang puluhan lukisan model serupa lainnya dengan berbagai ukuran. Semuanya hampir berupa pemandangan alam, dibuat secara kreatif oleh Muhdi dengan bahan utama perca batik.

"'Teng nglebet kathah Mbak, pinarak monggo' (Di dalam rumah masih banyak, silakan masuk, red.)," begitu Siti Aisah, isteri Muhdi, dengan ramah menyilakan dua perempuan tersebut menyaksikan karya-karya lainnya di dalam rumahnya yang berlantai keramik.

Apakah karya Muhdi itu sebagai kategori kerajinan atau seni lukisan, kiranya boleh didiskusikan lebih lanjut. Akan tetapi, pembuatnya yang setiap hari sebagai petani dan juga sering menggarap permintaan mendekorasi tempat pesta pernikahan di kampung-kampung di kawasan Candi Borobudur itu menyebut sebagai lukisan.

Adi Winarto, Staf Seksi Kemitraan Masyarakat PT Taman Wisata Candi Borobudur yang menemukan pertama kali aktivitas Muhdi membuat karya tersebut dan lalu mencatatnya dalam buku potensi kawasan candi itu juga menyebut bahwa karya berbahan perca batik di atas tripleks itu sebagai lukisan.

"Kalau kerajinan tangan itu umumnya hasilnya sama atau seragam, tetapi karya Muhdi ini menurut saya lukisan, beda-beda lho setiap karyanya," ujar Winarto yang berbasis kemampuan melukis dan pernah menjadi salah satu pelatih gajah milik TWCB mahir melukis.

Sejak Oktober tahun lalu, Muhdi membuat karya itu. Beberapa waktu sebelumnya pikirannya seakan dibuat berkecamuk setiap kali melihat perca berceceran di sejumlah tempat penjahit pakaian di sekitar candi yang dibangun sekitar abad kedelapan masa pemerintahan Dinasti Syailendra itu.

"Biasanya hanya dibakar atau dibuang begitu saja oleh tukang-tukang jahit. Saya kok merasa 'eman-eman' (menyayangkan, red.)," ujar Muhdi di dampingi Siti, isterinya.

Kemahiran Muhdi mewiru kain saat membuat dekorasi tempat pernikahan sejak 1982 pun, seolah-olah mengalir begitu saja menjadi inspirasinya memainkan perca batik, menghasilkan lukisan.

Di kartu nama Muhdi yang lengkap dengan alamat rumah dan dua nomor telepon selulernya tertera "Mozaik Batik", dirancang oleh Adi Winarto yang di luar pekerjaan sehari-hari di TWCB, juga sebagai Sekretaris Peguyuban Batik Kawasan Borobudur.

Kini, setiap kali pergi ke tempat penjahit pakaian, Muhdi membawa karung untuk mengumpulkan perca batik. Hingga saat ini, ia memiliki lima pelanggan jahitan pakaian, antara lain di Borobudur, Prumpung, dan Pabelan, tempatnya mendapatkan perca batik. Ada penjahit yang menaruh harga Rp3.000 untuk satu kilogram perca batik, akan tetapi ada juga yang malah tidak mau dibayarnya.

Dalam satu hari, ia mengaku bisa menghasilkan satu karya mozaik batik untuk ukuran yang tidak terlalu besar. Selain perca batik dan tripleks, bahan lainnya untuk melahirkan mozaik batik yang cukup menarik itu, antara lain ranting kering, jarum "bundhel", cat genting, dan pigura.

Teknik membuat mozaik batik yang digunakan Muhdi dengan menyerap keterampilannya membuat aneka bentuk lipatan kain untuk dekorasi pernikahan, disebutnya secara lokal antara lain sebagai memainkan pelintir, kenur, dan air terjun.

Hingga saat ini, mozaik batiknya berupa lukisan pemandangan alam yang sudah dipigura, masih menggunakan pelastik sebagai penutup depan.

Selama enam bulan terakhir, Muhdi telah menghasilkan sekitar 60 lukisan mozaik batik dengan 15 karya di antaranya telah laku dibeli wisatawan yang melewati depan rumahnya untuk menikmati suasana desa-desa di sekitar Candi Borobudur. Jalan beraspal di depan rumahnya menjadi salah satu jalur wisata "Tilik Desa" yang dirintis oleh PT TWCB sejak beberapa tahun lalu.

"Terutama yang wisatawan menggunakan sepeda, ada juga wisatawan mancanegara yang diantar 'guide' (pemandu, red.), mampir ke sini," kata Muhdi yang pernikahan dengan Siti, dikarunia dua anak dan empat cucu tersebut.

Harga karya mozaik batik bervariasi, tergantung ukuran medianya. Akan tetapi, umumnya antara Rp35.000 hingga Rp250.000. Untuk modal usahanya membuat karya itu, ia memanfaatkan program simpan pinjam dari Koperasi "Tani Manunggal" Desa Karangrejo.

Di teras rumahnya, Muhdi dengan isterinya yang menjadi manajer usaha kreatifnya tersebut, saat ini sedang menyelesaikan mozaik batik ukuran cukup besar. Lukisan pemandangan alam dari perca batik itu, dibuat di atas lima tripleks utuh, pesanan dari Yayasan Pondok Al-Falaq di dekat Candi Borobudur senilai jutaan rupiah.

"Sambil mengerjakan pesanan ini, saya juga terus memikirkan untuk mencoba membuat lukisan stupa, patung Buddha, relief, dan candi," ujarnya.

Dalam acara pementasan teater "Kera Sakti" dari Jepang di panggung terbuka, Aksobya, dekat Candi Borobudur belum lama ini, ia bersama isterinya beroleh satu gerai untuk memamerkan sejumlah karya lukisan mozaik batik. Acara pada Sabtu (19/3) malam tersebut sebagai pameran pertamanya.

Proses Muhdi berkarya di teras rumahnya pada akhir tahun lalu, secara spontan telah membuat Adi Winarto kaget, kagum, dan penasaran. Ia menghentikan laju sepeda motornya saat hendak menuju salah satu desa wisata di kawasan Candi Borobudur.

Ia kemudian berbincang-bincang dengan Muhdi dan mendata karya tersebut dalam buku potensi kawasan Candi Borobudur, sesuai dengan tugas hariannya di Taman Wisata Candi Borobudur.

"Kelihatannya perca batik dibuat lukisan, baru ini. Sudah kami masukkan dalam buku potensi. Taman (TWCB, red). mendampingi supaya terus berkembang dan makin dikenal," ucapnya.

Banyak hal masih harus dibuat untuk dukungan bagi pengembangan kreasi Muhdi dalam menghasilkan lukisan mozaik perca batik agar semakin berkualitas dan memperkuat penasaran peminatnya.

Misalnya, katanya, pengembangan teknik mewarnai, penggunaan pigura yang lebih baik, pembuatan narasi untuk setiap karya, pemasangan papan nama, dan pembuatan brosur.

Hal yang kiranya tidak kalah penting, adalah penyertaan lukisan mozaik perca batik dalam berbagai kesempatan pameran untuk mempromosikan karya tersebut kepada masyarakat yang lebih luas.

Pewarta : M Hari Atmoko
Editor : Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2024