"Kami akan melakukan upaya-upaya supaya ustaz (Ba'asyir, red.) dikembalikan pada posisi semula, tidak harus ditahan seperti itu. Nanti kami akan koordinasikan dengan institusi-institusi terkait, bahkan kalau perlu kita akan menyampaikan surat resmi kepada Presiden, selain kepada instusi terkait (seperti) Menkopolhukam, Menkumham, Komnas HAM, Komisi I, Komisi III, dan perwakilan lembaga-lembaga swadaya masyarakat yang lain yang peduli terhadap ustaz," kata Anggota Dewan Pembina TPM Achmad Michdan di Cilacap, Rabu siang.

Michdan mengatakan hal itu kepada Antara usai mengunjungi terpidana kasus terorisme Abu Bakar Ba'asyir yang sejak 9 Februari 2016 dikembalikan ke Lapas Pasir Putih setelah sempat dititipkan di Lapas Batu, Nusakambangan, selama lapas yang menerapkan sistem pengamanan maksimum (super maximum security) itu direnovasi.

Dia mengaku keberatan jika Ba'asyir dianggap sebagai seorang teroris sehingga harus diisolasi di ruangan atau kamar yang gelap dengan jarak antarkamar yang cukup jauh.

Menurut dia, Ba'asyir bukanlah teroris meskipun berkeinginan agar syariat Islam dapat ditegakkan.

"Ustaz itu sebetulnya seorang tokoh yang menginginkan atas dasar keyakinannya syariat Islam itu ditegakkan. Itu sah-sah saja dan itu dilindungi oleh undang-undang dasar kita. Jadi itu bukan perbuatan terorisme," katanya.

Kendati tidak melihat secara langsung kamar yang ditempati Ba'asyir, dia mengatakan bahwa berdasarkan cerita yang disampaikan pemimpin Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) itu, kondisi kamar tersebut gelap karena dicat warna hitam, banyak nyamuk, dan tidak bisa shalat berjamaah.

Bahkan, katanya, saat shalat Jumat, Ba'asyir mengaku tidak bisa melaksanakannya karena tidak dikeluarkan dari kamar.

Selain itu, kata dia, pakaian Ba'asyir bersama empat terpidana kasus terorisme yang menempati Blok D Lapas Pasir Putih terbatas karena sejak mereka dikembalikan ke lapas tersebut, tidak boleh membawa barang-barangnya dan sampai sekarang barang-barang tersebut belum diserahkan kembali.

Dia mengatakan empat terpidana kasus terorisme lainnya yang menempati kamar isolasi tersebut, Oman Abdurrahman, Rois alias Iwan Darmawan Mutho, Kuncoro, dan Abrori bin Al Ayubi.

"Oleh karena ustaz Ba'asyir sakit-sakitan, beliau satu kamar dengan Kuncoro. Lainnya satu, satu (satu orang dalam satu kamar, red.)," katanya.

Michdan mengatakan bahwa keberatan tersebut juga terkait dengan pemindahan yang dilakukan mendadak dan penempatannya tidak pada posisi yang sama atau dapat bertemu dengan terpidana lainnya melainkan menempati kamar isolasi.

Dia mempertanyakan landasan hukum penempatan Ba'asyir di kamar isolasi tersebut.

"Apakah dikaitkan dengan kasus Thamrin? Ini kan tidak masuk akal, tiba-tiba diperlakukan seperti ini," katanya.

Menurut dia, pembesuk Ba'asyir untuk sementara waktu juga dibatasi karena yang boleh mengunjungi hanya penasihat hukum, dokter, serta lima anggota keluarga yang terdiri atas istri dan anak-anaknya.

Ia mengatakan bahwa selain penasihat hukum, dokter, dan keluarga, belum boleh mengunjungi Ba'asyir kecuali dengan persetujuan Direktur Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham).

Dia mengharapkan penasihat hukum, dokter, dan keluarga dapat berinteraksi dengan Ba'asyir saat berkunjung di Lapas Pasir Putih karena saat ini ruangan pembesuk diberi sekat menggunakan kaca dan pembicaraan dengan terpidana dilakukan menggunakan alat komunikasi semacam telepon.

"Kalau seperti itu, bagaimana dokter bisa memeriksa kondisi kesehatan ustaz," katanya.

Terkait dengan hal itu, Michdan mengatakan bahwa pihaknya mengusulkan kepada Kepala Lapas Pasir Putih agar dokter bisa berinteraksi secara langsung dengan Ba'asyir.

Selain itu, pihaknya juga meminta Lapas Pasir Putih memasang kawat antinyamuk di kamar Ba'asyir.

Pewarta : Sumarwoto
Editor : Mahmudah
Copyright © ANTARA 2025