Begitu pula, dengan budayawan Magelang Sutanto Mendut. Ketika Sabtu (14/11) malamnya menanamkan nilai spiritual performa kontemporer "Ritus Penanggungan" kepada sejumlah penari sebelum pentas di halaman Pendopo Stupa, kompleks Hotel Plataran kawasan Candi Borobudur, dia juga menyebut getaran batin para peserta seminar.

Ia menyebut temuan terbaru kepurbakalaan Gunung Penanggungan yang dilakukan pemilik nama asli Nigel Bullough (63) asal Inggris sejak 1998 itu, sebagai spektakuler dan bakal mengguncang dunia ilmu pengetahuan, khususnya tentang peradaban masa lampau di Nusantara.

"Peradaban bangsa yang bernilai dan tak bisa dihitung, ditemukan oleh peneliti yang tekun terjun ke lapangan selama bertahun-tahun," kata inspirator utama seniman petani Komunitas Lima Gunung (Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh) Kabupaten Magelang, Jawa Tengah itu.

Borobudur Writers and Cultural Festival yang tahun ini sebagai penyelenggaraan keempat kalinya berturut-turut oleh Yayasan Samana, lembaga nirlaba berbasis pengembangan kebudayaan, berlangsung selama 12--14 November 2015, dengan tema "Gunung, Bencana, dan Mitologi di Nusantara". Festival dibuka di Yogyakarta dan selanjutnya agenda seminar di Candi Borobudur Kabupaten Magelang, Jateng.

Sekitar 150 peserta festival yang para penulis, pekerja kreatif, dan pegiat budaya dari berbagai daerah di Indonesia dan luar negeri juga mengunjungi masyarakat di salah satu dusun terakhir di Gunung Sumbing Kabupaten Magelang untuk menyaksikan pementasan kesenian tradisional dan kontemporer serta pembacaan puisi bertema gunung.

Festival juga ditandai dengan pameran foto gunung, peluncuran buku "Ekspedisi Kudungga, Menelusuri Jejak Peradaban Kutai", pemutaran film, serta pertunjukan kolaborasi Komunitas Lima Gunung "Problematika Alam, Insan, dan Zaman", sedangkan seminar menghadirkan narasumber, antara lain I Made Geria (arkeolog), Indyo Pratomo (geolog), Sugeng Riyanto (arkeolog), Danny Hilman Natawidjaja (geolog), Sutikno Bronto (geolog), Lutfi Yondri (geolog), Hadi Sidomulyo (sejarawan dan ahli konservasi), Ayu Sutarto (pakar tradisi lisan), Hawe Setiawan (akademisi), dan M. Subagyo (peneliti naskah).

Mereka, disebut Seno Joko Suyono, kurator yang juga salah satu pendiri Yayasan Samana, memaparkan sejumlah gunung berapi di Indonesia yang pernah mengalami fase erupsi dahsyat hingga mengguncang tatanan klimatologi dunia dan mengubah peradaban manusia, seperti Gunung Tambora dan Samalas atau Rinjani purba di Nusa Tenggara Barat, Gunung Merapi dan Sindoro di Jawa Tengah, Gunung Penanggungan dan Bromo di Jawa Timur, Gunung Padang dan Krakatau di Jawa Barat, serta Gunung Toba di Sumatera Utara.

Para penyimak paparan Hadi Sidomulyo selama sekitar 30 menit dengan materi seminar berjudul "Eksplorasi Gunung Penanggungan, Pusat Rohani Masa Akhir Majapahit" di Ruang Awadhana Hotel Mahonara di Taman Wisata Candi Borobudur Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Sabtu (14/11) pagi, disebut Romo Budi Subanar sebagai terpukau dan tak mampu berkata-kata.

"Sunyi. Membuat kita tergetar atas dedikasi Bapak Hadi Sidomulyo," katanya ketika menceritakan suasana ruangan seminar itu sambil tangan kanannya diletakkan di dada sebagai tanda bahwa daya-daya pikiran setiap orang yang mengikuti seminar telah merambat masuk sanubari karena terpukau oleh temuan terbaru yang untuk pertama kali disampaikan Hadi Sidomulyo dalam forum BWCF.

Hadi Sidomulyo menerima penghargaan Sang Hyang Kamahayanikan 2015. Penyerahannya oleh Direktur Yayasan Samana Yoke Darmawan saat malam penutupan BWCF, Sabtu (14/11) malam di kawasan Candi Borobudur itu. Sang Hyang Kamahayanikan adalah penghargaan yang menjadi kekhasan BWCF, diberikan kepada individu dan kelompok yang telah memberikan kontribusi besar dalam pengkajian budaya dan sejarah Nusantara.

Penghargaan itu pada tahun 2012 diberikan kepada Singgih Hadi Mintardja (almarhum), penulis cerita silat, pada 2013 kepada Adrian Bernard Lapian (almarhum), sejarawan maritim, dan pada tahun 2014 kepada Peter Carey, sejarawan dari Inggris yang meneliti riwayat Pangeran Diponegoro.

Performa "Ritus Penanggungan" menjadi simbol pemahkotaan Sang Hyang Kamayanikan 2015 kepada Hadi Sidomulyo, dimainkan oleh sejumlah seniman Komunitas Lima Gunung, yakni Nungki Nur Cahyani, Aura, Siti, Rini, Nia, Ipang, dan Handoko, serta didukung lantunan tembang jawa oleh dalang muda Sih Agung Prasetyo.

Dalam balutan performa gerakan seni yang menarik dimainkan oleh pegiat Komunitas Lima Gunung diiringi lantunan musik modern, Hadi Sidomulyo dipayungi dengan tiga pelepah daun pisang oleh tiga penari. Sejumlah penari lainnya menaburkan bunga mawar warna merah dan putih, sedangkan seorang lainnya membakar dupa dalam performa itu.

"'Penanggungan kang arga. Njenggarang agung luhur. Arga kobar kabesmi latu. Kawuningan marga. Kinarya marganing kang kreta kencana. Tilaran Sang Raja Agung. Majapahit duk samana'," demikian syair tembang Jawa dilantunkan Sih Agung yang kira-kira maksudnya bahwa Gunung Penanggungan megah dan agung. Karena terbakar api, membuat jalan kereta kuda pada masa lampu menjadi terbuka. Jalan itu peninggalan Raja Hayam Wuruk dari Kerajaan Majapahit.

Tanda-tanda kepurbakaan berupa jalan dari kaki hingga puncak Penanggungan yang menjadi bagian dari syair tembang itu adalah salah satu di antara total 127 temuan Hadi Sidomulyo. Lanjutan penelitiannya saat ini didukung Universitas Surabaya dengan nama Tim Ekspedisi Ubaya yang terdiri atas dirinya sebagai sejarawan, Kusworo Rahadyan (pendidik dan konsultan pelatihan luar ruang), Ismail Lutfi (arkeolog dan epigraf), dan Dian Dwi Cahyohadi (bidang geografi dan geologi).

Ia mendasarkan penelitiannya itu pada Kitab Negarakertagama karya Empu Prapanca yang selama tiga bulan, September--Desember 1359, mengikuti perjalanan sejauh 700 kilometer Raja Hayam Wuruk dari pusat pemerintahan Kerajaan Majapahit di Trowulan ke arah timur di Blambangan. Negarakertagama mencatat sekitar 200 nama tempat di Gunung Penanggungan yang tingginya 1.653 meter dari permukaan air laut tersebut, yang saat ini meliputi Kabupaten Mojokerto dan Pasuruhan, Jawa Timur.

Sekitar 80 persen peninggalan kepurbakalaan telah ditemukan Hadi Sidomulyo, antara lain nama dan posisi desa-desa kuno di kawasan tersebut. Beberapa desa yang telah berubah nama pun ditemukan kembali. Jejak-jejak Raja Hayam Wuruk berupa tempat-tempat, termasuk sumber air dan danau, serta sejarah migrasi masyarakat diteliti dengan tekun.

Selain membuka referensi lainnya untuk mendukung penelitian, dia juga mewawancarai para tokoh masyarakat desa-desa. Dengan alat penentu posisi global, dia juga mencatat detail koordinat situs-situs dan nama tempat purbakala tersebut. Masyarakat setempat juga berperan penting membantunya menemukan jejak-jejak kepurbakalaan Gunung Penanggungan.

Setelah penerimaan penghargaan Sang Hyang Kamahayikan, kepada Antara dia bercerita tentang kebakaran hebat Gunung Penanggungan selama tiga kali sejak Agustus 2015. Pohon-pohon besar dan ilalang yang tinggi tumbuh hingga puncak gunung tersebut ludes.

"Setiap tahun Gunung Penanggungan terbakar, tetapi tahun ini dahsyat sampai tiga kali, diduga kuat karena ulah pendaki," katanya.

Namun, kebakaran tersebut kemudian dipandangnya sebagai pembuka tabir kepurbakalaan Gunung Penanggungan. Dia bersama timnya dengan didukung "drone" (pesawat kecil tak berawak yang dilengkapi kamera dan pengontrol jarak jauh) intensif melanjutkan penelitian dan sampai pada kesimpulan temuan infrastruktur masa lampau yang pernah dibangun di gunung tersebut.

Infrastruktur yang disebutnya canggih pada masanya itu, antara lain jalan selebar 3 meter berbentuk melingkari gunung yang memungkinkan kereta kuda bisa melaju dari kaki hingga puncak Penanggungan.

Selain itu, bangunan yang diduga tembok dengan jalan setapak yang menghubungkan candi-candi di lereng gunung dan talut penahan setiap candi dari risiko longsor. Catatan terakhir berupa 102 temuan kepurbakalaan sebelum kebakaran Gunung Penanggungan mulai Agustus 2015, bertambah menjadi 127 temuan setelah bencana tersebut.

"Gunung Penanggungan seperti membuka tabir. Pandangan arkeolog dan sejarawan selama ini lereng Penanggungan ada candi-candi yang tersebar, ternyata candi-candi itu tersambung oleh tembok panjang, ada jalan setapak, ada tanggul. Itu kejutan," katanya.

Penelitiannya masih berlanjut meskipun akan terjadi perlambatan karena musim hujan tahun ini segera tiba.

"Musim kemarau tahun ini, kami masih memiliki waktu antara dua dan tiga minggu untuk melanjutkan penelitian lapangan. Akan tetapi, kalau sudah musim hujan, biasanya terjadi perlambatan," ucapnya.

Budayawan Romo Mudji Sutrisno mengemukakan tentang kelayakan Hadi Sidomulyo menerima penghargaan Sang Hyang Kamahayanikan karena kepribadiannya yang tekun dalam memuliakan gunung melalui penelitian selama ini untuk kepentingan kemuliaan kehidupan.

"Gunung Penanggungan terbuka lagi, diteliti lagi, dan membuka pada kita," ucap Romo Mudji yang malam itu didaulat Yayasan Samana untuk menyampaikan pidato tentang rekomendasi peserta BWCF 2015 kepada pemerintah pusat dan UNESCO agar Gunung Penanggungan menjadi "universal archeological landscape", kategori dari warisan budaya dunia.

Meskipun mengakui Sang Hyang Kamahayanikan menjadi mahkota kehormatan atas jerih payah penelitiannya selama ini bersama tim, Hadi Sidomulyo tidak serta-merta mendaku penghargaan tersebut untuk dirinya sendiri.

Ia menyebut penghargaan Sang Hyang Kamahayanikan mewakili suatu semangat perjalanan manusia zaman sekarang dalam membuka tabir kepurbakalaan. Semangat itu, memancar dari masyarakat kawasan Penanggungan yang secara turun-temurun menyimpan narasi gunungnya.

"Temuan saya mewakili temuan masyarakat. Saya dedikasikan Sang Hyang Kamahayanikan untuk suatu semangat. Gunung Penanggungan seolah mau membuka diri. Kita belakangan ini kalau ada situs-situs purbakala, mendapat cerita sedih. Semoga temuan Gunung Penanggungan ini menjadi cerita menggembirakan, akan betul-betul 'happy ending', bisa dilestarikan," kata Hadi Sidomulyo sebelum malam itu menjalani "Ritus Penanggungan" di kawasan Candi Borobudur.

Pewarta : M Hari Atmoko
Editor : Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2024