Sikap egoistis seperti itu terus terulang dan terulang. Pada arus mudik dan balik setiap Lebaran tetap saja menunjukkan realitas itu.

Pemandangan tersebut juga terlihat dalam arus mudik dan balik Semarang-Solo pada Lebaran 2015. Volume kendaraan bermotor yang melintas di jalan memang meningkat tajam. Akan tetapi, seharusnya kendaraan bermotor masih bisa melaju, meski lambat, tidak malah terhenti berjam-jam.

Perjalanan Solo-Semarang pada waktu normal hanya 2,5 jam, namun pada arus balik 20 Juli 2015 melambat hingga 6 jam. Pengamatan di lokasi menunjukkan tak ada penyebab serius kemacetan. Biang tersendatnya arus lalu lintas ketidakpatuhan pengemudi terhadap rambu dan petugas.

Kendati ada polisi mengatur, sebagian pengemudi tetap nekat melawan arahan petugas. Jalur Boyolali-Salatiga yang terbagi masing-masing dua lajur (2:2), oleh para penerabas dipaksa menjadi 3:1. Akhirnya, terjadi kemacetan karena kendaraan dari arah berlawan hanya punya satu lajur, padahal volume kendaraan bermotor sama banyaknya dengan yang dari arah berlawanan.

Perilaku mau cepat sampai dengan menempuh cara salah sebenarnya bukan hanya terjadi di jalan-jalan. Dalam banyak segi kehidupan, mudah ditemui orang-orang yang tidak mau bersusah-susah, tidak menghargai proses, namun ingin hasil secepatnya. Perilaku semacam ini jelas tercermin dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme yang hingga detik ini masih merajalela.

Antropolog Prof. Koentjaraningrat menyatakan mental menerabas merupakan salah satu peradaban atau sebagai hasil dari kebudayaan. Mental menerabas inilah yang menyebabkan bangsa ini tidak kunjung maju karena masyarakatnya tidak menghargai proses, malas berhemat, lebih menghargai relasi kekerabatan dibandingkan dengan hubungan fungsional, kurang menghargai kejujuran.

Padahal tak ada satu pun bangsa yang saat ini mengalami kemajuan pesat yang tidak menghargai proses. Jepang, Korea Selatan, dan belakangan ini China, bangsanya menghargai proses. Boleh jadi sebentar bangsa Vietnam menyalip kita karena mereka punya mental menang dalam setiap pertarungan.

Tertib dalam mengantre merupakan contoh nyata bagaimana masyarakat memelihara tatanan sosial sebagai modal meraih kemajuan peradaban.

Akan tetapi, ketika kasus suap masih saja melanda dalam penerimaan pegawai, siswa baru sekolah, memenangi lelang, hingga memenangi perkara di pengadilan, itu menunjukkan bangsa ini tidak mengalami perubahan karakter. Mental menerabas masih terus hidup dan dipelihara. Jadi, benar adanya pernyataan Koentjaraningrat bahwa mental menerabas hasil dari kebudayaan!

Acap melanggar rambu, memotong jalan, melanggar marka, hingga menganggap biasa memberikan salam tempel kepada petugas ketika dirinya melanggar, itu merupakan turunan dari "peradaban" menerabas.

Andai benar bahwa menerabas sudah menjadi bagian dari peradaban maka sungguh akan makan waktu sangat lama untuk mengubahnya. Peradaban pada dasarnya lahir dari proses dialektika sosial yang kemudian diterima sebagai nilai oleh sebagian besar masyarakatnya.

Tanpa rekayasa sosial atau pemaksaan melalui instrumen hukum beserta aparatnya, pemusnahan perilaku menerabas bakal berhenti di tataran wacana. '

Pemerintah bukannya tidak menyadari masih kuatnya mental menerabas di kalangan masyarakat, termasuk kaum terdidik dan pejabatnya. Oleh karen itu kita patut apresiasi bila hingga hari ini penegak hukum, terutama KPK, terus memburu pada orang-orang yang tidak sabar untuk menjadi kaya.

Bila jumlah koruptor di penjara bertambah banyak, boleh jadi itu bukan hanya sebagai indikator KPK sukses menangkap tersangka pencuri uang negara. Boleh jadi, itu menandakan tidak meredanya mental menerabas di masyarakat kita. ***



Pewarta : Achmad Zaenal M
Editor : Zaenal A.
Copyright © ANTARA 2024