Keputusan pemerintah itu langsung disambut dua merek terkemuka di Indonesia, Toyota dan Daihatsu, yang melansir Agya dan Ayla.
Dengan rentang harga sekitar Rp70 juta hingga sedikit di atas Rp100 juta, inilah mobil baru paling murah yang diproduksi Toyota dan Daihatsu di Indonesia saat ini. Oleh karena itu, begitu Agya dan Ayla secara resmi diluncurkan pada September 2013, ribuan calon pembeli rela "indent" berbulan-bulan.
Namun, di balik laris manisnya Agya dan Ayla, kebijakan mobil murah ramah lingkungan ini juga panen kritik. Sejumlah orang Jabodetabek dan kota-kota besar berteriak bahwa jalan bakal mengalami kemacetan lebih parah setelah lahir LCGC. Jakarta tanpa mobil murah saja setiap jam sudah macet.
Akan tetapi, siapa yang bisa menjamin bahwa tanpa kehadiran mobil murah sekarang ini kota-kota besar, termasuk Semarang, misalnya, kelak tidak dilanda kemacetan. Persoalannya lebih pada bagamaian pemerintah daerah mampu menciptakan angkutan umum yang aman, nyaman, dan terjangkau.
Sepanjang pemerintah daerah mampu menciptakan transportasi publik yang diidamkan, orang akan memilih naik angkutan umum, seperi bus dan kereta penglaju (commuter).
Mobil murah, yang sasaran pasarnya adalah orang yang mau naik kelas dari mengendarai sepeda motor ke menyetir mobil, jelas tawaran yang menggoda. Bukan saja ceruk pasarnya yang amat dalam bagi agen tunggal pemegang merek (ATPM), melainkan juga bagi jutaan orang yang mengidamkan dapat mobil baru berharga di bawah Rp100 juta. Jalanan bakal dibanjiri mobil.
Itulah bayangan bagi banyak orang. Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo. memang tidak setuju kebijakan mobil murah. Pendek kata, niat untuk lebih membiasakan rakyat Jakarta naik angkutan umum bakal terganggu. Artinya, kemacetan lebih parah bakal terjadi.
Argumen Jokowi sebagian betul, namun tidak seluruhnya benar. Kebijakan mobil murah memang bakal menambah padat jumlah mobil di jalanan. Selama ini sekitar 50 persen penjualan mobil baru diserap pasar Jabodetabek.
Akan tetapi, Indonesia bukan hanya Jakarta. Bukan pula hanya Jabodetabek. Tidak sepantasnya hanya berpikir sempit . Secara makro, kebijakan mobil murah tersebut tepat karena dengan demikian pemerintah memberi kesempatan lebih besar kepada masyarakat menengah bawah untuk memiliki mobil, yang secara fungsional lebih aman dan nyaman ketimbang sepeda motor.
Penduduk berpenghasilan Rp4-5 juta ke bawah yang kebanyakan bermukim di daerah punya kesempatan besar naik kelas mengendarai mobil baru setelah bertahun-tahun mengendarai sepeda motor. Dengan uang muka sekitar Rp20 juta - Rp25 juta, misalnya, mereka bisa kredit mobil murah tenor tiga tahun, dengan angsuran sekitar dua jutaan rupiah per bulan.
Sebagian besar segmen ini sudah lama menunggu pemerintah memangkas pajak barang mewah jenis kendaraan roda empat ini.
Kalau Jabodetabek macet, tanpa ada mobil murah pun kemacetan tetap akan ada, bahkan bertambah parah bila angkutan publik gagal memberi rasa aman dan nyaman bagi warganya. Kalau tranportasi publik aman dan nyaman, naik angkutan umum lebih murah dibanding menggunakan mobil.
Namun, wajah angkutan umum hampir di semua kota besar mengidap "koreng". Meski sepertiga bodinya dimakan karat dan remnya tidak pakem, pemilik angkutan tetap mengoperasikan armadanya. Sudah berapa banyak angkutan umum mencederai penumpang akibat tidak laik jalan atau sopirnya ugal-ugalan kejar setoran.
Karena angkutan umum tidak aman dan nyaman, bahkan mahal, selama enam tahun terakhir ini segmen kelas menengah bawah memilih sepeda motor sebagai sarana mobilitasnya. Lincah, efisien, dan praktis. Yang jadi persoalan, tingkat keamanannya tidak sebaik mobil atau angkutan umum yang dikelola secara profesional.
Alasan lain mengapa mobil murah itu perlu karena kita tidak ingin Indonesia dibanjiri produk serupa dari negara lain, meskipun mereknya sama. Apalagi mulai 2014 diterapkan pasar bebas ASEAN.
Kalau industri mobil murah kelak tumbuh, tetesannya bakal merembes ke bawah. Karena, lebih dari 60 persen komponennya sudah diproduksi di dalam negeri. Ini akan menimbulkan efek bisnis berantai yang panjang sehingga memacu roda perekonomian lebih cepat.
Keharusan mobil murah ini mengonsumsi BBM nonsubsidi juga akan menjadi media pembiasaan yang tepat bagi pemiliknya, agar mereka segera menyudahi kebiasaan menenggak premium bersubsidi yang merupakan hak rakyat miskin itu.
Betapa bermartabat memiliki mobil sendiri dengan mengonsumsi BBM nonsubsidi.