Ritual mudik juga menjadi semacam media redistribusi uang/modal. Puluhan triliun rupiah dibawa pemudik, lalu berputar di daerah-daerah sebelum akhirnya nanti kembali tersedot di kota-kota besar yang menjadi mesin perputaran ekonomi nasional.
Meskipun merepotkan, berbiaya besar, dan berisiko, jutaan perantau atau warga kota yang masih punya akar di desa dan daerah biasanya memiliki dorongan besar untuk mengunjungi keluarganya yang ada di udik.
Tradisi mudik nyaris menjadi kebutuhan kultural yang tidak tergantikan untuk waktu yang lain. Rasanya tidak afdol bila tak kumpul keluarga pada saat Lebaran. Pulang kampung memang tak sekadar silaturahim. Ada nuansa unjuk diri kisah sukses pemudik di tanah rantau. Itu sah saja dan menjadi penyemangat sukses bagi perantau.
Oleh karena itu, meskipun di jalanan bertaruh nyawa, jutaan orang rela pulang kampung. Bahkan, ratusan ribu orang nekat mengendarai sepeda motor untuk mudik yang jaraknya bisa mencapai ratusan kilometer.
Hingga H-4 pada arus mudik Lebaran 2013 saja, misalnya, sekitar 50 nyawa pemudik melayang, puluhan orang luka berat, dan ratusan orang luka ringan akibat mengalami kecelakaan ketika hendak bersilaturahmi dengan keluarga dan kerabatnya di daerah.
Jika tidak ada perubahan perilaku pemakai jalan, jumlah korban jiwa di jalan raya kemungkinan bertambah karena masa mudik hingga saat arus balik masih lama.
Tradisi mudik dengan kendaraan bermotor pribadi, baik roda empat maupun roda dua, kian menguat bersamaan dengan membaiknya kesejahteraan warga. Namun, di balik itu ancamannya sungguh serius. Pada arus mudik dan balik Lebaran 2012, tercatat 908 orang meninggal, 1.505 orang luka berat, dan 5.000 pemudik luka ringan.
Sungguh jumlah kehilangan nyawa yang sangat banyak. Jauh lebih banyak dibandingkan ketika Gunung Merapi meletus pada awal 2010.
Permasalahan mudik memang kompleks, misalnya, tidak seimbangnya pertambahan jalan dengan jumlah kendaraan, kualitas infrastruktur termasuk rambu, dan rendahnya disiplin berlalu lalu lintas. Hampir semua kecelakaan lalu lintas diawali dengan pelanggaran aturan lalu lintas.
Beragam upaya dilakukan untuk meredam angka kecelakaan, misalnya, dengan program mudik gratis menggunakan bus atau kereta api yang dilakukan oleh perusahaan swasta, BUMN, atau pemerintah daerah. Ini memang langkah mulia, namun dibandingkan dengan jumlah pemudik yang menggunakan kendaraan bermotor pribadi, tampaknya hal itu tidak terlalu banyak mengurangi potensi kecelakaan di jalan.
Jumlah korban jiwa yang terus bertambah dari tahun ke tahun pada arus mudik Lebaran seharusnya kian menyadarkan pemerintah untuk lebih serius mencari cara agar rakyatnya tidak mati sia-sia di jalan ketika mau bertemu dengan keluarga dan kerabatnya.
Misalnya, menegakkan aturan larangan sepeda motor dinaiki lebih dari dua orang. Karena perjalanan panjang dengan sepeda motor sangat berisiko,
wajibkan setiap pemudik sepeda motor mengecek kesehatannya setelah berjalan 100 kilometer, misalnya. Kalau memang tidak fit, pemudik wajib naik angkutan umum dan kendaraanya dititipkan di kantor polisi, misalnya.
Proyek rel kereta ganda yang dijadwalkan tuntas akhir tahun ini diharapkan bisa menambah pilihan moda transportasi bagi pemudik Lebaran 2014. Pengoperasian rel ganda tentu saja akan memangkas waktu tempuh di kota-kota strategis Pulau Jawa. Selain itu, dari sisi keamanan, seharusnya juga lebih baik sehingga kian banyak orang tertarirk naik kereta ketika mudik.
Dari sisi budaya, tradisi mudik Lebaran tidak mungkin dilenyapkan. Kemajuan pesat teknologi kemajuan teknologi informasi yang ditandai setiap orang bisa berkomunikasi tanpa kendala jarak, ternyata sama sekali tidak menyurutkan fitrah manusia yang selalu ingin bertatap muka dan merasakan kehangatan telapak tangan ketika bersalaman.
Selamat Idulfitri. ***