Cerahnya perekonomian nasional inilah yang mendorong konsumen dan pelaku bisnis di negeri ini juga sangat optimistis memandang kondisi ekonomi dalam beberapa bulan ke depan. Survei Badan Pusat Statistik menyebutkan pada Triwulan II 2012, indeks tendensi pelaku bisnis tercatat 104,22, sedangkan tendensi konsumen naik menjadi 108,77 pada triwulan II 2012 dari 106,54 pada triwulan I.
Indonesia dalam empat tahun terakhir ini tidak saja bisa berkelit dari badai krisis finansial global, tetapi mampu berlari dengan mencatat pertumbunan positif yang mencengangkan, di atas enam persen.
Hiruk pikuk politik ditingkahi dengan penangkapan besar-besaran pejabat tinggi yang terjerat kasus korupsi sama sekali tidak mengganggu stabilitas keamanan. Keriuhan politik itu sama sekali tidak mengganggu sektor bisnis yang menjadi penggerak perekonomian.
Lembaga pemeringkat Nielsen sebelumnya menyatakan indeks keyakinan konsumen Indonesia sepanjang triwulan II 2012 tercatat 120 atau naik dua poin dari triwulan I. Indonesia juga tercatat sebagai negara paling percaya diri di Asia Pasifik dengan mencatat indeks 30 atau teratas di kawasan ini.
Bagi kalangan skeptis, capaian tersebut dianggap berjalan begitu saja tanpa campur tangan pemerintah dalam bentuk kebijakan. Kalangan sinis menyebutnya sebagai negara "autopilot" yang beruntung. Benarkah begitu?
Hanya dengan menggunakan tiga indikator, yakni relatif stabilnya nilai tukar rupiah dalam kisaran Rp9.400-Rp9.500 per dolar AS, inflasi yang terkendali, serta melesatnya indeks harga saham gabungan hingga di atas level 4.000, tudingan kalangan skeptis tersebut tidak benar.
Positifnya tiga indikator itu tentu merupakan buah dari kebijakan yang terencana dan terukur. Memang masih banyak pekerjaan rumah yang mesti diselesaikan pemerintah, seperti ketergantungan impor pangan dan luar biasa besarnya nilai subsidi untuk energi.
Masih adanya angka merah tersebut tidak lantas kita menilai prestasi tersebut merupakan sesuatu yang "given" atau dari "sononya". Prestasi itu sungguh buah dari hasil kerja.