Solo (ANTARA) - Oleh Dr. rer. nat. Abdul Latif Ashadi, M.Sc.
Ahli Geofisika, Dosen Fakultas Geografi – UMS.
Masih segar dalam ingatan kita kabar penolakan terhadap pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) di Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT), yang hingga kini belum menemukan titik terang penyelesaiannya. Penolakan tersebut muncul dengan berbagai alasan, salah satunya kekhawatiran masyarakat terhadap potensi kerusakan lingkungan yang ditimbulkan. Peristiwa ini mendorong penulis untuk mengurai, secara sedehana dan berdasarkandata, pemahaman mengenai energi panas bumi (geothermal), yang sejatinya menyimpan potensi besar dan sangat menjanjikan, khususnya bagi Indonesia.
Potensi Geothermal Indonesia
Berdasarkan berbagai penelitian, Indonesia tercatat sebagai salah satu negara dengan potensi panas bumi (geothermal) terbesar di dunia. Total kapasitasnyadiperkirakan mencapai 23,7 GW atau sekitar 40 persen dari cadangan global, yang tersebar di lebih dari 300 lokasi. Potensi terbesar berada di Pulau Sumatera, disusul Pulau Jawa.
Dalam hal pemanfaatan, sebetulnya Indonesia telah menempati peringkat kedua dunia setelah Amerika Serikat dalam produksi energi panas bumi. Saat ini, Indonesia memiliki sekitar 2,37 GW kapasitas listrik panas bumi terpasang (data 2023); sementara Amerika Serikat memiliki lebih dari 2,6 GW kapasitas panas bumi terpasang, yang merupakan yang terbesar di dunia. Hanya saja, angka ini (2,37 GW) baru merepresentasikan sekitar 10 persen dari total potensi yang tersedia di Indonesia, sehingga pemanfaatannya masih terbilang jauh dari optimal.
Melalui Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), pemerintah menargetkan energi terbarukan menyumbang 23 persen dari pembangkitan listrik pada tahun ini, secara khusus berkomitmen meningkatkan kapasitas terpasang panas bumi menjadi 7,24 GW pada tahun ini dan 9,3 GW pada tahun 2035. Lebih jauh, pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP/ geothermal power plan) menjadi salah satu pilar penting dalam strategi Indonesia menuju Net Zero Emission 2060.
Apa Itu Enegi Geothermal?
Energi panas bumi (geothermal energy) merupakan salah satu sumber energi terbarukan dan berkelanjutan yang memiliki potensi signifikan dalam mendukung transisi energi global. Energi ini berasal dari panas internal bumi dengan cadangan yang sangat besar, dan umumnya terkonsentrasi di wilayah-wilayah tertentu, terutama di zona pertemuan lempeng tektonik yang ditandai oleh aktivitas vulkanik dan seismik, seperti halnya di Indonesia.
Pemanfaatan energi panas bumi menjadi sangat penting dalam upaya mengurangi emisi karbon dioksida yang dihasilkan dari penggunaan minyak, batu bara, dan bahan bakar fosil lainnya—yang selama ini menjadi kontributor utama pemanasan global. Pemanasan global sendiri telah diakui sebagai salah satu ancaman eksistensial paling mendesak bagi umat manusia saat ini.
Para ahli sepakat bahwa penurunan cepat emisi gas rumah kaca mutlak diperlukan untuk mencegah konsekuensi serius akibat perubahan iklim. Untuk mencapai tujuan tersebut, langkah strategis yang harus ditempuh adalah meningkatkan efisiensi energi sekaligus beralih dari penggunaan bahan bakar fosil menuju sumber energi terbarukan dan ramah lingkungan. Dalam konteks ini, energi panas bumi menempati posisi strategis sebagai salah satu geo-resources yang berperan penting dalam pengurangan emisi gas rumah kaca.
Sumber energi ini diproyeksikan memainkan peran yang semakin besar dalam sektor pembangkitan listrik dunia, dengan kontribusi yang diperkirakan dapat mencapai lebih dari 8,3 persen dari total produksi listrik global pada tahun 2050. Tidak mengherankan, International Energy Agency (IEA) memproyeksikan bahwa pemanfaatan energi panas bumi, baik untuk pembangkit listrik maupun pemanas (heating), akan meningkat secara signifikan, setidaknya sepuluh kali lipat dibandingkan kapasitas saat ini pada tahun 2050 mendatang.
Perkembangan Geothermal di Dunia
Di banyak negara, seperti Amerika Serikat dan kawasan Eropa, perhatian terhadap pemanfaatan energi panas bumi menunjukkan peningkatan yang signifikan. Di Amerika Serikat, Geothermal Technologies Office (GTO) pada Departemen Energi (DoE) telah menetapkan target ambisius, yakni pengembangan Enhanced Geothermal Systems (EGS) dan hydrothermal hingga mencapai kapasitas terpasang sebesar 60 GW pada tahun 2050. Sebagai bagian dari upaya tersebut, DoE mengalokasikan dana sebesar US$44 juta untuk mendukung 13 proyek inovasi EGS yang berfokus pada laboratorium FORGE (Frontier Observatory for Research in Geothermal Energy) di Utah.
Perkembangan ini turut mendorong pertumbuhan investasi di sektor geothermal Amerika Utara. Pada kuartal pertama 2025, tercatat investasi sebesar US$1,7 miliar, atau setara dengan 85 persen dari total alokasi tahunan 2024, sebuah lonjakan yang mencerminkan semakin besarnya keyakinan terhadap potensi sektor ini.
Sementara itu, di Eropa, Dewan Uni Eropa (Council of the EU) pada Desember 2024 mengeluarkan keputusan untuk mempercepat pengembangan energi panas bumi. Langkah ini meliputi kemudahan akses pembiayaan, penguatan kapasitas tenaga kerja di sektor geothermal, serta dukungan riset dan inovasi. Sejumlah negara, seperti Jerman, Belanda, Prancis, Polandia, Hungaria, Italia, dan Kroasia, bahkan telah menyusun roadmap nasional geothermal guna menarik investasi dan mempercepat pencapaian target pengembangan.
Tidak hanya di Barat, perhatian terhadap geothermal juga semakin meluas di kawasan Timur Tengah. Kerajaan Arab Saudi, yang selama ini dikenal sebagai pemimpin global industri minyak dan gas, kini mulai mengarahkan perhatiannya pada pemanfaatan sumber daya panas bumi sebagai bagian dari Vision 2030. Inisiatif ini bertujuan untuk mendiversifikasi perekonomian nasional, mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil, serta mendukung target Net Zero Emission pada tahun 2060.
Dengan tren global yang demikian positif, tidak mengherankan jika International Energy Agency (IEA) memproyeksikan bahwa investasi global dalam sektor geothermal dapat mencapai US$1 triliun pada 2035, dan meningkat hingga US$2,5 triliun pada 2050.
Keunggulan PLTP Dibanding Pembangkit Listrik Lain
Dari uraian di atas, jelas bahwa pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) merupakan salah satu solusi strategis dalam mengatasi kerusakan lingkungan, polusi udara, serta ancaman pemanasan global yang semakin mengkhawatirkan. Tidak mengherankan jika banyak negara telah mengalokasikan investasi besar untuk mengembangkan energi ini. Akan tetapi, perlu ditegaskan bahwa PLTP bukan berarti sepenuhnya bebas emisi. Berdasarkan data IEA (2022), rata-rata emisi PLTP hanya sekitar 45 g COeq/kWh, jauh lebih rendah dibandingkan dengan pembangkit listrik tenaga batu bara (820 g COeq/kWh) maupun gas alam (490 g COeq/kWh).
Selain rendah emisi, PLTP juga tidak menghasilkan limbah padat seperti abu batu bara atau menimbulkan risiko kecelakaan serius sebagaimana pembangkit listrik tenaga nuklir. Hal ini menegaskan posisi PLTP sebagai salah satu sumber energi dekarbonisasi yang penting dalam transisi menuju energi bersih. Dengan memperluas pengembangan PLTP, negara dapat secara signifikan mengurangi ketergantungan pada energi fosil sekaligus menekan emisi karbon. Tanpa transisi energi dan jika skenario Business as Usual (BAU) berlanjut, emisi global diproyeksikan akan meningkat hingga 36 Gt CO pada 2050, suatu kondisi yang jelas membahayakan kelangsungan hidup manusia.
Jika dibandingkan dengan energi terbarukan lain, seperti PLTS (tenaga surya) dan PLTB (tenaga bayu/angin), PLTP memiliki keunggulan utama berupa kemampuan menghasilkan listrik secara kontinu selama 24 jam penuh. Hal ini berbeda dengan PLTS yang hanya dapat beroperasi pada siang hari dan PLTB yang bergantung pada kondisi kecepatan angin.
Lebih jauh, pemanfaatan energi panas bumi (geothermal) tidak terbatas pada pembangkitan listrik saja. Energi ini juga dapat digunakan untuk berbagai keperluan lain, seperti pemanasan rumah kaca di sektor pertanian, pemrosesan industri (misalnya pengeringan hasil bumi dan pasteurisasi), pariwisata (pemandian air panas), hingga ekstraksi mineral berharga dari brine, seperti lithium. Dengan cakupan pemanfaatan yang begitu luas, panas bumi memegang peran vital dalam mendukung transisi menuju energi bersih, terutama di Indonesia yang dianugerahi potensi geothermal sangat melimpah.
Pemerintah pun telah menegaskan komitmennya melalui Peraturan Menteri ESDM Nomor 10 Tahun 2025 yang memandatkan percepatan transisi energi baru terbarukan, termasuk geothermal, di berbagai daerah, salah satunya di Flores.
Akhirnya, kita kembali pada pertanyaan awal tulisan ini: logiskah menolak pembangunan PLTP dengan alasan merusak lingkungan? Setelah menimbang data, fakta, serta manfaat yang diuraikan, para pembaca tentu sudah dapat menjawabnya dengan tegas dan lugas.

