Semarang (ANTARA) - Calon gubernur Jawa Tengah Ahmad Luthfi akan menghapus Kartu Tani karena menilai sistem distribusi pupuk terhadap para petani yang selama ini kurang sempurna.
"Ada beberapa hal yang perlu saya sampaikan, pupuk di Jawa Tengah cukup, bukan kurang. Di Indonesia Kementerian telah menyiapkan 40 juta ton, ditambah 40 juta ton cukup," katanya.
Hal tersebut disampaikannya dalam debat kedua Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Jateng 2024 di Majapahit Convention (MAC), Semarang, Minggu malam.
Debat kedua Pilgub Jateng mengangkat tema "Membangun Infrastruktur dan Ketahanan Pangan Jawa Tengah dalam Menghadapi Perubahan Iklim dan Meningkatkan Kualitas Hidup Masyarakat".
Menurut dia, persoalan pupuk yang dihadapi petani selama ini sebenarnya karena sistem pendistribusiannya yang tidak berjalan baik.
"Yang tidak cukup adalah pendistribusiannya kurang tepat sasaran. Dari mulai proses distribusi kemudian ke PKL baru ke petani, apa yang salah?" katanya.
Karena itu, Luthfi mengaku apabila terpilih dalam Pilgub Jateng pada 27 November 2024 maka akan menghapuskan program Kartu Tani.
"Ke depan, apabila saya dan Gus Yasin menjadi gubernur (dan wakil gubernur, red.) Kartu Tani akan saya hapuskan," katanya.
Ia mengatakan bahwa penghapusan Kartu Tani di Provinsi Jateng penting untuk meningkatkan produktivitas petani.
"Untuk apa (dihapuskan)? Untuk (memperbaiki) tata kelola pupuk yang sekarang carut-marut bukan tepat sasaran," katanya.
Dengan mekanisme di Kartu Tani yang kurang tepat, kata dia, justru membuat petani sulit mendapatkan pupuk, misalnya dalam kartu tani itu seorang petani hanya bisa mengambil pupuk di satu lokasi dan ternyata persediaan pupuk habis, tetapi tidak bisa mengambil di tempat lain.
"Akhirnya Pak Tani bilang pupuknya di sana habis padahal PKL-nya tidak di sini. Ini yang perlu dibetulin mekanisme pendistribusian pupuk di wilayah Jawa Tengah," kata mantan Kapolda Jateng itu.
Sebagaimana diketahui, untuk mendapatkan Kartu Tani, di antara syaratnya adalah petani harus memiliki luas usaha maksimal 2 hektare untuk tanaman pangan, hortikultura, dan perkebunan.
"Masalahnya, mayoritas petani di Jawa Tengah adalah petani penggarap yang tidak memiliki lahan," katanya.