Soal mahasiswi PPDS Undip, Dokter forensik: penetapan bunuh diri harus dari penyidik
Semarang (ANTARA) - Dokter forensik Rumah Sakit (RS) Bhayangkara Bandarlampung Dokter C Andryani mengingatkan bahwa penentuan kasus sebagai tindakan bunuh diri harus ditetapkan oleh penyidik kepolisian yang melalui proses panjang dan didukung bukti.
"Penentuan bunuh diri bukan oleh wartawan atau desas desus, tapi oleh penyidik Polri setelah dilakukan proses sidik-lidik sesuai peraturan perundangan," katanya.
Hal tersebut disampaikannya menanggapi meninggalnya mahasiswi Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Fakultas Kedokteran Undip, Dokter Aulia Risma Lestari.
Menurut dia, suatu kematian disebut dengan bunuh diri harus didukung dengan bukti dan harus melalui proses, serta tindakan kepolisian.
"Perlu juga dicari adanya niat untuk bunuh diri," katanya, saat diskusi daring bertajuk "Benarkah Kasus PPDS FK Undip Didekati Secara Subjektif dan Unprofessional", Minggu.
Ketua Komite Pusat Solidaritas Penyelamat Citra Profesi (KPSPCP) dr. Daeng Mohammad Faqih mengatakan bahwa peristiwa meninggalnya Dokter Aulia harus direspons secara serius dan hati-hati.
Sebagai usaha menjaga citra profesi kedokteran, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) diminta untuk dapat bersikap tegas dalam menyikapi kasus tersebut.
Daeng menegaskan bahwa peristiwa yang menyebabkan wafatnya mahasiswi PPDS Anestesi FK Undip ini menjadi kasus yang serius.
Namun, diingatkannya, dalam merespons dalam bentuk pernyataan, keputusan maupun tindakan harus disampaikan secara hati-hati dan jangan sampai melebihi dari ranah hukum yang bukan menjadi areal profesi sebagai dokter.
"Bagi keluarga korban pasti ini menimbulkan kesedihan mendalam dan kemarahan. Bagi masyarakat secara umum, pasti akan menimbulkan kemarahan dan kutukan kepada siapa saja yang menyebabkan hilangnya nyawa," katanya.
Untuk itu, Ketua Umum Pengurus Besar (PB) IDI periode 2018-2021 itu mengatakan persoalan tersebut harus ditangani secara serius dan hati-hati, serta jangan sampai direspons melebihi ranah kedokteran.
Sementara itu Guru Besar Universitas Airlangga Prof. Dr. Dokter Djohansjah Marzoeki, Sp.B., Sp.BP-RE(K), menggambarkan kasus yang dialami di FK Undip sebagai bentuk premanisme birokrasi.
Penutupan program studi PPDS anestesi di Jateng, menurut dia, sebagai keputusan keliru yang diambil oleh pihak Kementerian Kesehatan.
Sebab, kata pakar bedah plastik itu, yang memiliki prodi tersebut adalah Undip, tapi yang menutup pihak Kemenkes.
"Mungkin itu salah bahasa, tapi kenyataan tertulisnya kan demikian," katanya, merujuk pada surat yang diterbitkan Direktorat Jenderal Pelayanan Kesehatan (Ditjen Yankes) perihal penutupan prodi anestesi.
Sebagai pemandu diskusi, Ketua Asosiasi Dosen Hukum Kesehatan Indonesia Dokter M Nasser menampilkan surat yang diterbitkan Direktorat Jenderal Pelayanan Kesehatan Kemenkes Nomor TK.02.02/D/44137/2024 tentang Penghentian Sementara Program Studi Anestesi Undip Semarang di RS Kariadi Semarang
Dalam surat tersebut dijelaskan alasan penghentian sementara Prodi Anestesi Undip karena adanya dugaan perundungan yang memicu bunuh diri dari Dokter Aulia.
"Penentuan bunuh diri bukan oleh wartawan atau desas desus, tapi oleh penyidik Polri setelah dilakukan proses sidik-lidik sesuai peraturan perundangan," katanya.
Hal tersebut disampaikannya menanggapi meninggalnya mahasiswi Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Fakultas Kedokteran Undip, Dokter Aulia Risma Lestari.
Menurut dia, suatu kematian disebut dengan bunuh diri harus didukung dengan bukti dan harus melalui proses, serta tindakan kepolisian.
"Perlu juga dicari adanya niat untuk bunuh diri," katanya, saat diskusi daring bertajuk "Benarkah Kasus PPDS FK Undip Didekati Secara Subjektif dan Unprofessional", Minggu.
Ketua Komite Pusat Solidaritas Penyelamat Citra Profesi (KPSPCP) dr. Daeng Mohammad Faqih mengatakan bahwa peristiwa meninggalnya Dokter Aulia harus direspons secara serius dan hati-hati.
Sebagai usaha menjaga citra profesi kedokteran, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) diminta untuk dapat bersikap tegas dalam menyikapi kasus tersebut.
Daeng menegaskan bahwa peristiwa yang menyebabkan wafatnya mahasiswi PPDS Anestesi FK Undip ini menjadi kasus yang serius.
Namun, diingatkannya, dalam merespons dalam bentuk pernyataan, keputusan maupun tindakan harus disampaikan secara hati-hati dan jangan sampai melebihi dari ranah hukum yang bukan menjadi areal profesi sebagai dokter.
"Bagi keluarga korban pasti ini menimbulkan kesedihan mendalam dan kemarahan. Bagi masyarakat secara umum, pasti akan menimbulkan kemarahan dan kutukan kepada siapa saja yang menyebabkan hilangnya nyawa," katanya.
Untuk itu, Ketua Umum Pengurus Besar (PB) IDI periode 2018-2021 itu mengatakan persoalan tersebut harus ditangani secara serius dan hati-hati, serta jangan sampai direspons melebihi ranah kedokteran.
Sementara itu Guru Besar Universitas Airlangga Prof. Dr. Dokter Djohansjah Marzoeki, Sp.B., Sp.BP-RE(K), menggambarkan kasus yang dialami di FK Undip sebagai bentuk premanisme birokrasi.
Penutupan program studi PPDS anestesi di Jateng, menurut dia, sebagai keputusan keliru yang diambil oleh pihak Kementerian Kesehatan.
Sebab, kata pakar bedah plastik itu, yang memiliki prodi tersebut adalah Undip, tapi yang menutup pihak Kemenkes.
"Mungkin itu salah bahasa, tapi kenyataan tertulisnya kan demikian," katanya, merujuk pada surat yang diterbitkan Direktorat Jenderal Pelayanan Kesehatan (Ditjen Yankes) perihal penutupan prodi anestesi.
Sebagai pemandu diskusi, Ketua Asosiasi Dosen Hukum Kesehatan Indonesia Dokter M Nasser menampilkan surat yang diterbitkan Direktorat Jenderal Pelayanan Kesehatan Kemenkes Nomor TK.02.02/D/44137/2024 tentang Penghentian Sementara Program Studi Anestesi Undip Semarang di RS Kariadi Semarang
Dalam surat tersebut dijelaskan alasan penghentian sementara Prodi Anestesi Undip karena adanya dugaan perundungan yang memicu bunuh diri dari Dokter Aulia.