Semarang (ANTARA) - Menjadi peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang iurannya dibayarkan pemerintah daerah, Ali Musyafak (55), warga Kecamatan Tembalang, Kota Semarang, kini dapat menjalani cuci darah dengan tenang dan nyaman.
Pria yang akrab dipanggil Ali, kini tak memiliki penghasilan tetap. Ia sempat merasa pasrah akan takdir yang menghampirinya. Semangat berjuangnya melawan rasa sakit sempat runtuh saat pengobatan demi pengobatan ia jalani dan membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Padahal, keluarganya tak memiliki daya untuk membiayai pengobatannya, Jumat (16/8).
Membagi kisahnya, Ali yang kini rutin menjalani cuci darah menyebut dirinya memiliki kebiasaan pola hidup yang kurang baik. Meski telah berhenti, masa mudanya lekat dengan berbatang-batang rokok yang dibarengi dengan mengonsumsi minuman berenergi untuk mendongkrak staminanya saat bekerja.
“Sebelum vonis cuci darah, saya rasakan ada pembengkakan di tubuh saya terutama bagian perut, dikiranya sakit lambung, makin lama bengkaknya rata di seluruh tubuh, bahkan perut saya semakin membengkak sampai sebesar wajan. Rasanya tidak karuan, saya langsung ke IGD dan dokter melakukan pemeriksaan hingga akhirnya harus rawat inap untuk mengeluarkan cairan berlebih di tubuh,” ucapnya.
Ali mengaku dirinya saat itu belum terdaftar sebagai peserta JKN. Ketiadaan biaya menjadi salah satu faktor yang melingkupi keluarganya. Meski demikian, pengobatan demi pengobatan ia jalani mengandalkan biaya pribadi meski tak sanggup.
Pemeriksaan demi pemeriksaan, menunjukkan kenyataan yang cukup pahit bagi Ali sekeluarga. Riwayat hipertensi dan penyakit gula darah Alif yang tidak tertangani dengan baik, kini mengganggu fungsi ginjalnya. Kreatinin pada tubuh Alif telah mencapai angka dua, dimana mana seharusnya nilai kreatinin normal pada tubuh seseorang hanya pada rentang 0,6 hingga 1,2. Tak ayal, dirinya diharuskan cuci darah.
“Sesaat setelah vonis harus cuci darah, saya datang ke puskesmas. Eh, malah sama petugas disana justru saya dibantu biar dapat jaminan kesehatan yg iurannya dibayarkan pemerintah Kota Semarang. Ya, saya jelas merasa sangat terbantu,” ucapnya penuh haru.
Terhitung sudah total 16 kali dalam dua bulan terakhir ini Ali rutin melakukan cuci darah di Rumah Sakit K.R.M.T Wongsonegoro. Meski ia hanya peserta JKN kelas tiga yang di daftarkan oleh pemerintah, Ali tidak merasakan kesulitan bahkan perbedaan antara pasien umum maupun peserta JKN
“Obat-obatan yang diberikan sama. Jadi, anggapan adanya perbedaan dengan peserta lainnya, saya sendiri sebagai peserta yang mengalami sama sekali tidak merasa adanya pembedaan. Saya bisa bilang begitu karena dulunya saya juga sebagai pasien umum,” tambahnya.
Menurutnya, selain keluarga, dokter maupun perawat di rumah sakit juga selalu memberikan dukungan yang membuatnya senang dan lebih semangat dalam menjalani terapi hemodialisis.
Tak hanya pelayanan kesehatan, proses administrasi terasa mudah dan tidak berbelit-belit karena sekarang cukup menggunakan Nomor Induk Kependudukan (NIK) pada Kartu Tanda Penduduk (KTP) masing-masing peserta.
Terlalu banyak suka dan duka yang dilewati Ali selama melakukan cuci darah, di satu sisi ia merasa sedih karena harus menjalani terapi rutin cuci darah. Namun, di sisi lain ia bersyukur pemerintah daerah masih peduli terhadap masyarakat seperti dirinya.
Hadirnya Program JKN, rasanya lebih dari cukup. Namun pemerintah ternyata telah memperhatikan masyarakatnya lebih jauh. Pemerintah pusat maupun pemerintah daerah turut membayarkan iuran program JKN bagi dirinya khususnya dan masyarakat lainnya yang
“Seandainya tidak ada program JKN ini, rasanya sangat berat sekali. Pikiran pun pasti memikirkan hal-hal lainnya jadi malah tidak fokus dengan penyembuhan, namun ada program JKN ini rasanya tenang. saya sudah merasa terjamin dan tidak memikirkan hal seperti biaya atau yang lainnya” ujarnya. ***