Guyup garap stunting di Jateng
Semarang (ANTARA) - Pagi itu sekitar pukul 07.15 WIB, petugas kebersihan masih mengepel seluruh ruangan, karena memang jam operasional Rumah Pelita atau singkatan dari Penanganan Stunting Lintas Sektor bagi Badut/ bayi di bawah dua tahun dimulai pukul 08.00 waktu setempat.
Sekitar 30 menit kemudian dua mahasiswa jurusan psikolog dari perguruan tinggi swasta setempat tiba, disusul Azizah Sri Endahwati yang merupakan satu dari dua pengasuh Rumah Pelita, juga Atika Widiastuti yang bertugas menyiapkan snack dan makanan sehat untuk anak-anak. Mereka pun langsung bersiap-siap menyambut kedatangan anak asuh mereka.
Sebelum pukul 08.00 WIB, sejumlah anak dengan masalah stunting serta berat badan kurang yang berasal dari kawasan Kecamatan Semarang Barat pun mulai berdatangan, ada yang diantarkan bapak, diantar ibunya, dan juga neneknya. Anak-anak yang diantar sudah mandi, tetapi belum sarapan dari rumah.
“Anak saya susah makan, berat badannya kurang. Saya kerja jadi tukang parkir, istri juga kerja berjualan. Jadi ini (Rumah Pelita, red.) sangat bermanfaat dan membantu sekali,” kata Joni Wiyanto (31) yang saat itu masih mengenakan helm seusai mengisi buku absen kehadiran anak di Rumah Pelita.
Usai mengisi absensi, para pengantar langsung berpamitan dengan anak dan pengasuh dan pemandangan anak menangis seusai itu, seolah menjadi hal biasa terjadi dan para pengasuh juga mahasiswa terlihat langsung cekatan menenangkannya dengan cara menggendong, mengajaknya bermain perosotan, bongkar pasang puzzle karpet, atau mengajak bergabung dengan teman lainnya, sampai anak-anak merasa nyaman.
“Jadwalnya, mengawali pagi hari dengan doa bersama sebelum sarapan,” jelas Azizah yang berdua dengan Lana Muthia Taher sebagai pengasuh Rumah Pelita ditemui Jumat (27/10). Keduanya mengedepankan anak-anak mendapatkan asupan makanan yang cukup, selain pendekatan lain seperti latihan motorik.
Permasalahan yang ditangani
Ada beragam permasalahan yang ditangani Rumah Pelita yang beralamat di Jalan Candi Pawon Timur III, Manyaran, Kecamatan Semarang Barat, Kota Semarang, Jawa Tengah ini dan mayoritas karena pola asuh yang kurang tepat seperti anak belum disapih padahal sudah berusia tiga tahun, jarak kelahiran anak yang berdekatan, serta karena pendidikan dan ekonomi keluarga yang rendah.
“Seperti ini, dia usianya 1 tahun 10 bulan yang merupakan anak ketiga dari empat bersaudara yang seluruhnya balita. Dia sudah punya adik yang usianya sekitar tiga mingguan. Anak pertama empat tahun, anak kedua tiga tahun, terus ini satu tahun 10 bulan, dan keempat tiga mingguan. Jadi kan ndak kepegang oleh ibunya yang punya empat balita,” cerita Azizah sembari menyuapi anak asuhnya pada jam sarapan.
Pagi itu, masing-masing anak disiapkan satu piring berisi nasi lengkap dengan lauk dan sayur di setiap meja lipat yang ada di depan mereka. Usai berdoa bersama, pengasuh pun menyuapi anak-anak secara bergantian dan mengusahakan seluruhnya makan habis, meskipun ada dengan cara diajak main perosotan sembari makan, atau sembari bermain dengan teman lainnya.
Sebagai tempat layanan pengasuhan anak atau daycare, Azizah menjelaskan pengasuh Rumah Pelita juga didampingi ahli gizi dan bidan setiap harinya dan pada Selasa dan Jumat ada dokter yang melakukan pengecekan anak, sehingga dalam waktu tiga bulan, ditarget anak sudah ada peningkatan.
Adanya target pencapaian tersebut, Rumah Pelita pun memberikan batas maksimal hanya menerima 10 anak dengan harapan dua pengasuh ditambah mahasiswa praktik bisa menghandle dan mengikuti perkembangan setiap pribadi anak.
“Untuk mempercepat penanganan, kami juga memberikan kelas parenting dua minggu atau satu bulan sekali untuk orang tua, agar mereka juga bisa ikut terlibat. Penyerapan nutrisi masing-masing anak berbeda, makanya kami menargetkan tiga bulan mereka sudah memenuhi standar scoring yang disesuaikan dengan umur, tinggi, dan berat badan,” kata Azizah yang sebelumnya merupakan guru TK ini.
Azizah pun menunjukkan sejumlah foto anak yang dipajang di dinding bangunan Rumah Pelita karena telah lulus dari Rumah Pelita atau telah memenuhi standar yang mengacu dari berat dan tinggi badan anak seperti ada kenaikan 500 gram dalam waktu sebulan. Mereka yang telah lulus tidak lagi dititipkan di Rumah Pelita, namun tetap dalam pemantauan petugas Puskesmas, ahli gizi, bidan, dan kader Posyandu.
Bagi anak yang sudah dinyatakan lulus, tetapi setelah keluar dari Rumah Pelita mengalami penurunan, maka akan diberikan makanan tambahan yang diantar ke rumah agar orang tua yang bersangkutan memberikannya.
“Di sini begitu ada dua yang lulus, langsung ada lagi ya masuk. Jadi sudah ada yang waiting list untuk bisa masuk ke sini. Kami pernah menerima 13 anak, tetapi tidak maksimal dan tidak sesuai target, sehingga akhirnya hanya 10 anak yang kami terima. Kalau di sini, kami sabar agar anak mau makan sayur. Bisa dua jam untuk menyelesaikan makan, ya ndak apa-apa. Mungkin kalau mereka di rumah, anak tidak mau makan dibiarkan dan akhirnya mereka terbiasa perut lapar, tidak ada usaha merayu. Kalau di sini kami telateni (bersabar, red.) ya niatnya untuk ibadah,” cerita Azizah.
Setyorini (30), ibu rumah tangga yang suaminya bekerja sebagai buruh bangunan ini mengaku bersyukur ada Rumah Pelita, karena dirinya bisa menitipkan anak keduanya yang berusia tiga tahun tetapi berat badannya kurang secara gratis.
Inovasi Pemerintah Daerah
Rumah Pelita merupakan terobosan penanganan stunting di Kota Semarang selain program lainnya seperti upaya menurunkan angka stunting dengan melibatkan organisasi kepemudaan, seperti GenRe (Generasi Berencana), Forum Anak, Karang Taruna, dan Forum OSIS yang diberi nama Melon Mas atau singkatan dari Milenial Gotong Royong Atasi Stunting.
Selain Pemerintah Kota Semarang, ada banyak pemerintah kabupaten kota yang lain yang juga memiliki inovasi dalam penanganan stunting seperti Kabupaten Brebes yang memiliki inovasi Gaspol atau Gerakan atasi stunting dan Dahsat atau dapur sehat atasi stunting. Gaspol diaplikasikan dengan cara memberikan telur ke anak-anak stunting berdasarkan data yang ada, sedangkan Dahsat melibatkan kader-kader PKK di desa setempat. Mereka memasak makanan sehat setiap hari dan membagikannya kepada ibu hamil KEK atau anak-anak stunting.
Untuk keberlangsungan menyediakan menu makanan sehat tersebut didukung oleh berbagai stakeholder terkait seperti dana desa, Dinas Kesehatan, sampai dana corporate social responsibillity (CSR) yang seluruhnya terdata.
Rini Pudjiastuti, selaku Sekretaris Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk, dan Keluarga Berencana (DP3KB) Kabupaten Brebes menjelaskan selain dua program tersebut, Pemkab Brebes juga menggerakkan tim pendamping keluarga yang terdiri dari tiga unsur yakni PKK, unsur kesehatan seperti perawat, bidan, serta unsur kader KB. Ketiganya bertugas mengunjungi keluarga yang mempunyai anak stunting, ibu hamil, dan calon pengantin.
“Kenapa calon pengantin juga menjadi perhatian kami, karena kami ingin memastikan sebelum menikah mereka benar-benar sehat. Jika ternyata calon pengantin tidak sehat, kami tidak akan menghalangi mereka menikah, tetapi yang bersangkutan harus mengkonsumsi makanan yang bergizi agar bisa melahirkan anak-anak yang sehat. Semuanya terdata secara sistem dengan BKKBN pusat,” kata Rini sembari menunjukkan sejumlah foto menu makanan sehat.
Pemerintah Kabupaten Cilacap juga memiliki inovasi dalam penanganan stunting di antaranya dengan program pemberian makanan tambahan bagi balita stunting, pola asuh yang benar, pemberdayaan masyarakat agar ikut terlibat secara aktif di Posyandu untuk pemantauan tumbuh kembang anak, pemantauan ibu sebelum dan saat hamil agar mendapatkan pelayanan kesehatan secara standar.
“Di Cilacap ada Program Kancing Merah atau pencegahan stunting masa depan cerah dengan sasaran ibu hamil, remaja, dan balita. Dari program tersebut ada beragam upaya yang dilakukan seperti pemberian makanan tambahan (PMT) selama 90 hari dan menunya dari para kader PKK,” kata Leli Musfiroh, perwakilan Kader PKK Kabupaten Cilacap yang juga memastikan seluruh pihak bergerak bersama dalam penanganan stunting di wilayahnya.
Sebelumnya Penjabat (Pj) Ketua TP-PKK Jateng Shinta Nana Sudjana pada acara Executive Meeting Kesatuan Gerak PKK Bangga Kencana Kesehatan Tahun 2023 Provinsi Jawa Tengah juga menyampaikan bahwa PKK memiliki kekuatan sampai dengan tingkat Dasa Wisma dimana dari data terakhir ada 505.349 Dasa Wisma dengan jumlah kader 1.325.651 orang kader umum dan 658.657 orang kader khusus yang menjadi kekuatan bagi PKK dalam membantu penurunan stunting.
"Agar semakin optimal dan berhasil menurunkan stunting menjadi 14 persen di tahun 2024, maka saya nyuwun titip kepada Ketua TP PKK Kabupaten/Kota agar dapat menggerakkan dan mengoptimalkan peran Kader PKK di Dasa Wisma dalam penurunan stunting," katanya.
Shinta menyebutkan sejumlah upaya yang telah gencar dilakukan yakni pemeriksaan kesehatan bagi calon pengantin; mendata keluarga yang sedang hamil, memiliki balita, dan sudah ber-KB apa belum. Harapannya keluarga yang belum ber-KB bisa diedukasi menggunakan kontrasepsi dalam upaya perencanaan keluarga sehat dan menurunkan Unmetneed atau keluarga yang tidak ingin anak lagi atau ingin anak ditunda tetapi belum ber-KB karena ini rawan terjadi kehamilan yang tidak diinginkan yang menjadi penyebab tingginya kasus stunting.
Bagi ibu hamil juga perlu diedukasi untuk pemilihan KB pasca-persalinannya yang bertujuan selain mengatur jarak kehamilan berikutnya juga dalam upaya mengoptimalkan 1000 Hari Pertama Kehidupan Anak yang di kandungannya. Oleh karenanya, kader PKK harus memiliki pengetahuan dan keterampilan dalam pemantauan balita agar dapat ditemukan sedini mungkin apabila ada keterlambatan pertumbuhan maupun perkembangan anak dan salah satu penyebab stunting adalah pola asuh yang salah, sehingga pendidikan tentang pola asuh menjadi hal yang sangat penting untuk disampaikan kepada masyarakat melalui wadah BKB atau Bina Keluarga Balita.
Kepala Perwakilan BKKBN Provinsi Jawa Tengah Eka Sulistia mengakui pentingnya peran aktif tim penggerak (TP) PKK karena memiliki kader sampai tingkat Dasa Wisma, sehingga memiliki peran strategis dalam tim percepatan penurunan stunting di semua tingkatan serta menjadi salah satu unsur penting dalam tim pendamping keluarga.
Bersama bidan dan kader KB, lanjut Eka, kader PKK memiliki tugas melaksanakan pendampingan melalui serangkaian kegiatan yang meliputi penyuluhan, fasilitasi layanan rujukan, fasilitasi bantuan sosial, dan pengawasan untuk mendeteksi dini faktor risiko stunting.
Penyempurna 5eNg
Tidak hanya peran pemerintah daerah yang didukung dengan program CSR perusahan, penanganan stunting juga digarap oleh Tanoto Foundation dengan Rumah SIGAP atau Siapkan Generasi Anak Berprestasi yang menitikberatkan pada penanganan prastunting atau anak-anak dengan risiko stunting yang memberikan pelayanan penanganan mental, motorik, edukasi, kegiatan konsultasi kepada anak dan orang tuanya, termasuk stimulasi untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan otak anak-anak.
Provincial Program Manager Program Percepatan Penurunan Stunting ECED Tanoto Foundation Jawa Tengah Ady Sarwanto menjelaskan Rumah Anak SIGAP ditujukan untuk memastikan bahwa setiap anak usia 0-3 tahun berkembang sesuai dengan usia mereka dan siap bersekolah, untuk memastikan setiap anak dapat berkembang sesuai dengan usia, penting memberikan edukasi kepada orang tua mengenai praktik pengasuhan yang tepat.
Terdapat empat Rumah Anak SIGAP yang menjadi kolaborasi Tanoto Foundation bersama Pemerintah Kabupaten/Kota di Jawa Tengah yaitu di Kota Semarang (tiga lokasi), Kabupaten Banyumas (10 wilayah), Kabupaten Brebes (dua wilayah), dan Kabupaten Tegal (dua wilayah).
Jawa Tengah menjadi salah satu provinsi besar dan penyangga utama nasional dalam berbagai program tidak terkecuali percepatan penurunan stunting, sehingga dibutuhkan kecepatan dalam melaksanakan berbagai program kerja serta perlunya program intervensi untuk penanganan stunting dari hulu ke hilir.
Seluruh program penanganan stunting di setiap kabupaten kota dan stakeholder terkait tersebut merupakan salah satu bentuk kebersamaan atau guyub yang menjadi penyempurna Program Pemerintah Provinsi Jawa Tenah 5eNG atau Jateng Gayeng Nginceng Wong Meteng untuk mencapai target angka stunting 14 persen di tahun 2024.
Sekitar 30 menit kemudian dua mahasiswa jurusan psikolog dari perguruan tinggi swasta setempat tiba, disusul Azizah Sri Endahwati yang merupakan satu dari dua pengasuh Rumah Pelita, juga Atika Widiastuti yang bertugas menyiapkan snack dan makanan sehat untuk anak-anak. Mereka pun langsung bersiap-siap menyambut kedatangan anak asuh mereka.
Sebelum pukul 08.00 WIB, sejumlah anak dengan masalah stunting serta berat badan kurang yang berasal dari kawasan Kecamatan Semarang Barat pun mulai berdatangan, ada yang diantarkan bapak, diantar ibunya, dan juga neneknya. Anak-anak yang diantar sudah mandi, tetapi belum sarapan dari rumah.
“Anak saya susah makan, berat badannya kurang. Saya kerja jadi tukang parkir, istri juga kerja berjualan. Jadi ini (Rumah Pelita, red.) sangat bermanfaat dan membantu sekali,” kata Joni Wiyanto (31) yang saat itu masih mengenakan helm seusai mengisi buku absen kehadiran anak di Rumah Pelita.
Usai mengisi absensi, para pengantar langsung berpamitan dengan anak dan pengasuh dan pemandangan anak menangis seusai itu, seolah menjadi hal biasa terjadi dan para pengasuh juga mahasiswa terlihat langsung cekatan menenangkannya dengan cara menggendong, mengajaknya bermain perosotan, bongkar pasang puzzle karpet, atau mengajak bergabung dengan teman lainnya, sampai anak-anak merasa nyaman.
“Jadwalnya, mengawali pagi hari dengan doa bersama sebelum sarapan,” jelas Azizah yang berdua dengan Lana Muthia Taher sebagai pengasuh Rumah Pelita ditemui Jumat (27/10). Keduanya mengedepankan anak-anak mendapatkan asupan makanan yang cukup, selain pendekatan lain seperti latihan motorik.
Permasalahan yang ditangani
Ada beragam permasalahan yang ditangani Rumah Pelita yang beralamat di Jalan Candi Pawon Timur III, Manyaran, Kecamatan Semarang Barat, Kota Semarang, Jawa Tengah ini dan mayoritas karena pola asuh yang kurang tepat seperti anak belum disapih padahal sudah berusia tiga tahun, jarak kelahiran anak yang berdekatan, serta karena pendidikan dan ekonomi keluarga yang rendah.
“Seperti ini, dia usianya 1 tahun 10 bulan yang merupakan anak ketiga dari empat bersaudara yang seluruhnya balita. Dia sudah punya adik yang usianya sekitar tiga mingguan. Anak pertama empat tahun, anak kedua tiga tahun, terus ini satu tahun 10 bulan, dan keempat tiga mingguan. Jadi kan ndak kepegang oleh ibunya yang punya empat balita,” cerita Azizah sembari menyuapi anak asuhnya pada jam sarapan.
Pagi itu, masing-masing anak disiapkan satu piring berisi nasi lengkap dengan lauk dan sayur di setiap meja lipat yang ada di depan mereka. Usai berdoa bersama, pengasuh pun menyuapi anak-anak secara bergantian dan mengusahakan seluruhnya makan habis, meskipun ada dengan cara diajak main perosotan sembari makan, atau sembari bermain dengan teman lainnya.
Sebagai tempat layanan pengasuhan anak atau daycare, Azizah menjelaskan pengasuh Rumah Pelita juga didampingi ahli gizi dan bidan setiap harinya dan pada Selasa dan Jumat ada dokter yang melakukan pengecekan anak, sehingga dalam waktu tiga bulan, ditarget anak sudah ada peningkatan.
Adanya target pencapaian tersebut, Rumah Pelita pun memberikan batas maksimal hanya menerima 10 anak dengan harapan dua pengasuh ditambah mahasiswa praktik bisa menghandle dan mengikuti perkembangan setiap pribadi anak.
“Untuk mempercepat penanganan, kami juga memberikan kelas parenting dua minggu atau satu bulan sekali untuk orang tua, agar mereka juga bisa ikut terlibat. Penyerapan nutrisi masing-masing anak berbeda, makanya kami menargetkan tiga bulan mereka sudah memenuhi standar scoring yang disesuaikan dengan umur, tinggi, dan berat badan,” kata Azizah yang sebelumnya merupakan guru TK ini.
Azizah pun menunjukkan sejumlah foto anak yang dipajang di dinding bangunan Rumah Pelita karena telah lulus dari Rumah Pelita atau telah memenuhi standar yang mengacu dari berat dan tinggi badan anak seperti ada kenaikan 500 gram dalam waktu sebulan. Mereka yang telah lulus tidak lagi dititipkan di Rumah Pelita, namun tetap dalam pemantauan petugas Puskesmas, ahli gizi, bidan, dan kader Posyandu.
Bagi anak yang sudah dinyatakan lulus, tetapi setelah keluar dari Rumah Pelita mengalami penurunan, maka akan diberikan makanan tambahan yang diantar ke rumah agar orang tua yang bersangkutan memberikannya.
“Di sini begitu ada dua yang lulus, langsung ada lagi ya masuk. Jadi sudah ada yang waiting list untuk bisa masuk ke sini. Kami pernah menerima 13 anak, tetapi tidak maksimal dan tidak sesuai target, sehingga akhirnya hanya 10 anak yang kami terima. Kalau di sini, kami sabar agar anak mau makan sayur. Bisa dua jam untuk menyelesaikan makan, ya ndak apa-apa. Mungkin kalau mereka di rumah, anak tidak mau makan dibiarkan dan akhirnya mereka terbiasa perut lapar, tidak ada usaha merayu. Kalau di sini kami telateni (bersabar, red.) ya niatnya untuk ibadah,” cerita Azizah.
Setyorini (30), ibu rumah tangga yang suaminya bekerja sebagai buruh bangunan ini mengaku bersyukur ada Rumah Pelita, karena dirinya bisa menitipkan anak keduanya yang berusia tiga tahun tetapi berat badannya kurang secara gratis.
Inovasi Pemerintah Daerah
Rumah Pelita merupakan terobosan penanganan stunting di Kota Semarang selain program lainnya seperti upaya menurunkan angka stunting dengan melibatkan organisasi kepemudaan, seperti GenRe (Generasi Berencana), Forum Anak, Karang Taruna, dan Forum OSIS yang diberi nama Melon Mas atau singkatan dari Milenial Gotong Royong Atasi Stunting.
Selain Pemerintah Kota Semarang, ada banyak pemerintah kabupaten kota yang lain yang juga memiliki inovasi dalam penanganan stunting seperti Kabupaten Brebes yang memiliki inovasi Gaspol atau Gerakan atasi stunting dan Dahsat atau dapur sehat atasi stunting. Gaspol diaplikasikan dengan cara memberikan telur ke anak-anak stunting berdasarkan data yang ada, sedangkan Dahsat melibatkan kader-kader PKK di desa setempat. Mereka memasak makanan sehat setiap hari dan membagikannya kepada ibu hamil KEK atau anak-anak stunting.
Untuk keberlangsungan menyediakan menu makanan sehat tersebut didukung oleh berbagai stakeholder terkait seperti dana desa, Dinas Kesehatan, sampai dana corporate social responsibillity (CSR) yang seluruhnya terdata.
Rini Pudjiastuti, selaku Sekretaris Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk, dan Keluarga Berencana (DP3KB) Kabupaten Brebes menjelaskan selain dua program tersebut, Pemkab Brebes juga menggerakkan tim pendamping keluarga yang terdiri dari tiga unsur yakni PKK, unsur kesehatan seperti perawat, bidan, serta unsur kader KB. Ketiganya bertugas mengunjungi keluarga yang mempunyai anak stunting, ibu hamil, dan calon pengantin.
“Kenapa calon pengantin juga menjadi perhatian kami, karena kami ingin memastikan sebelum menikah mereka benar-benar sehat. Jika ternyata calon pengantin tidak sehat, kami tidak akan menghalangi mereka menikah, tetapi yang bersangkutan harus mengkonsumsi makanan yang bergizi agar bisa melahirkan anak-anak yang sehat. Semuanya terdata secara sistem dengan BKKBN pusat,” kata Rini sembari menunjukkan sejumlah foto menu makanan sehat.
Pemerintah Kabupaten Cilacap juga memiliki inovasi dalam penanganan stunting di antaranya dengan program pemberian makanan tambahan bagi balita stunting, pola asuh yang benar, pemberdayaan masyarakat agar ikut terlibat secara aktif di Posyandu untuk pemantauan tumbuh kembang anak, pemantauan ibu sebelum dan saat hamil agar mendapatkan pelayanan kesehatan secara standar.
“Di Cilacap ada Program Kancing Merah atau pencegahan stunting masa depan cerah dengan sasaran ibu hamil, remaja, dan balita. Dari program tersebut ada beragam upaya yang dilakukan seperti pemberian makanan tambahan (PMT) selama 90 hari dan menunya dari para kader PKK,” kata Leli Musfiroh, perwakilan Kader PKK Kabupaten Cilacap yang juga memastikan seluruh pihak bergerak bersama dalam penanganan stunting di wilayahnya.
Sebelumnya Penjabat (Pj) Ketua TP-PKK Jateng Shinta Nana Sudjana pada acara Executive Meeting Kesatuan Gerak PKK Bangga Kencana Kesehatan Tahun 2023 Provinsi Jawa Tengah juga menyampaikan bahwa PKK memiliki kekuatan sampai dengan tingkat Dasa Wisma dimana dari data terakhir ada 505.349 Dasa Wisma dengan jumlah kader 1.325.651 orang kader umum dan 658.657 orang kader khusus yang menjadi kekuatan bagi PKK dalam membantu penurunan stunting.
"Agar semakin optimal dan berhasil menurunkan stunting menjadi 14 persen di tahun 2024, maka saya nyuwun titip kepada Ketua TP PKK Kabupaten/Kota agar dapat menggerakkan dan mengoptimalkan peran Kader PKK di Dasa Wisma dalam penurunan stunting," katanya.
Shinta menyebutkan sejumlah upaya yang telah gencar dilakukan yakni pemeriksaan kesehatan bagi calon pengantin; mendata keluarga yang sedang hamil, memiliki balita, dan sudah ber-KB apa belum. Harapannya keluarga yang belum ber-KB bisa diedukasi menggunakan kontrasepsi dalam upaya perencanaan keluarga sehat dan menurunkan Unmetneed atau keluarga yang tidak ingin anak lagi atau ingin anak ditunda tetapi belum ber-KB karena ini rawan terjadi kehamilan yang tidak diinginkan yang menjadi penyebab tingginya kasus stunting.
Bagi ibu hamil juga perlu diedukasi untuk pemilihan KB pasca-persalinannya yang bertujuan selain mengatur jarak kehamilan berikutnya juga dalam upaya mengoptimalkan 1000 Hari Pertama Kehidupan Anak yang di kandungannya. Oleh karenanya, kader PKK harus memiliki pengetahuan dan keterampilan dalam pemantauan balita agar dapat ditemukan sedini mungkin apabila ada keterlambatan pertumbuhan maupun perkembangan anak dan salah satu penyebab stunting adalah pola asuh yang salah, sehingga pendidikan tentang pola asuh menjadi hal yang sangat penting untuk disampaikan kepada masyarakat melalui wadah BKB atau Bina Keluarga Balita.
Kepala Perwakilan BKKBN Provinsi Jawa Tengah Eka Sulistia mengakui pentingnya peran aktif tim penggerak (TP) PKK karena memiliki kader sampai tingkat Dasa Wisma, sehingga memiliki peran strategis dalam tim percepatan penurunan stunting di semua tingkatan serta menjadi salah satu unsur penting dalam tim pendamping keluarga.
Bersama bidan dan kader KB, lanjut Eka, kader PKK memiliki tugas melaksanakan pendampingan melalui serangkaian kegiatan yang meliputi penyuluhan, fasilitasi layanan rujukan, fasilitasi bantuan sosial, dan pengawasan untuk mendeteksi dini faktor risiko stunting.
Penyempurna 5eNg
Tidak hanya peran pemerintah daerah yang didukung dengan program CSR perusahan, penanganan stunting juga digarap oleh Tanoto Foundation dengan Rumah SIGAP atau Siapkan Generasi Anak Berprestasi yang menitikberatkan pada penanganan prastunting atau anak-anak dengan risiko stunting yang memberikan pelayanan penanganan mental, motorik, edukasi, kegiatan konsultasi kepada anak dan orang tuanya, termasuk stimulasi untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan otak anak-anak.
Provincial Program Manager Program Percepatan Penurunan Stunting ECED Tanoto Foundation Jawa Tengah Ady Sarwanto menjelaskan Rumah Anak SIGAP ditujukan untuk memastikan bahwa setiap anak usia 0-3 tahun berkembang sesuai dengan usia mereka dan siap bersekolah, untuk memastikan setiap anak dapat berkembang sesuai dengan usia, penting memberikan edukasi kepada orang tua mengenai praktik pengasuhan yang tepat.
Terdapat empat Rumah Anak SIGAP yang menjadi kolaborasi Tanoto Foundation bersama Pemerintah Kabupaten/Kota di Jawa Tengah yaitu di Kota Semarang (tiga lokasi), Kabupaten Banyumas (10 wilayah), Kabupaten Brebes (dua wilayah), dan Kabupaten Tegal (dua wilayah).
Jawa Tengah menjadi salah satu provinsi besar dan penyangga utama nasional dalam berbagai program tidak terkecuali percepatan penurunan stunting, sehingga dibutuhkan kecepatan dalam melaksanakan berbagai program kerja serta perlunya program intervensi untuk penanganan stunting dari hulu ke hilir.
Seluruh program penanganan stunting di setiap kabupaten kota dan stakeholder terkait tersebut merupakan salah satu bentuk kebersamaan atau guyub yang menjadi penyempurna Program Pemerintah Provinsi Jawa Tenah 5eNG atau Jateng Gayeng Nginceng Wong Meteng untuk mencapai target angka stunting 14 persen di tahun 2024.