Jakarta (ANTARA) - Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden akhirnya menandatangani Rancangan Undang-Undang (RUU) Tanggung Jawab Fiskal (Fiscal Responsibility Act) 2023 menjadi undang-undang (UU) pada Sabtu (3/6) sore waktu setempat. Penandatanganan itu sekaligus juga untuk mencegah gagal bayar utang (default) pemerintah yang bersejarah.
UU bipartisan itu menangguhkan batas utang publik hingga 1 Januari 2025, dan meningkatkan batas tersebut ke tingkat utang aktual pada 2 Januari 2025.
Menurut Goldman Sachs, bank investasi global, total utang pemerintah federal AS akan menumpuk, melampaui 35 triliun dolar AS (1 dolar AS = Rp14.969) pada Januari 2025, yang setara dengan lebih dari 100.000 dolar AS untuk setiap warga negara AS.
"Kesepakatan bipartisan ini merupakan kemenangan besar bagi perekonomian kita dan rakyat Amerika," ujar Biden tak lama setelah Senat meloloskan RUU itu pada Kamis (1/6) malam waktu setempat.
AS pada Januari mencapai batas plafon utang sebesar 31,4 triliun dolar AS, atau setara 120 persen lebih dari Produk Domestik Bruto (PDB) tahunan negara itu.
Selama beberapa bulan, saat Gedung Putih dan Kongres mengalami kebuntuan dalam proses negosiasi perihal persyaratan untuk menaikkan plafon utang, Kementerian Keuangan AS telah menerapkan "langkah-langkah luar biasa" untuk mencegah gagal bayar utang.
Menteri Keuangan AS Janet Yellen memperingatkan bahwa negara itu berpotensi kehabisan uang untuk melunasi tagihannya secara tepat waktu jika Kongres gagal mengatasi isu plafon utang tersebut pada 5 Juni 2023.
Plafon utang merupakan batasan jumlah uang yang dapat dipinjam oleh AS untuk mendanai roda pemerintah dan memenuhi kewajiban keuangan negara itu.
Sejak 1945, AS telah menaikkan plafon utangnya sebanyak 103 kali.