Cahaya kepala Buddha Candi Borobudur tak berkesudahan diunduh
Magelang (ANTARA) - Petinggi penting Ikatan Bidan Indonesia (IBI) Jawa Tengah mendatangi seorang anggota organisasi itu di tingkat Kabupaten Magelang, setelah menjalani wisuda kelulusan program pendidikan profesi kebidanan di Politeknik Kesehatan Kemenkes Semarang, bersama sekitar 300 wisudawan lainnya.
Secara resmi banyak pesan penting kepada para wisudawan dari berbagai program studi di perguruan tinggi tersebut, disampaikan oleh Direktur Jenderal Tenaga Kesehatan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Arianti Anaya dalam acara yang berlangsung di salah satu gedung di kompleks markas komando militer, di kawasan Watugong, Kabupaten Semarang, Rabu (10/5).
Berbagai pesan disampaikan dalam pidato wisuda itu, antara lain menyangkut kompetensi dan inovasi tenaga medis, tranformasi layanan kesehatan, penguasaan perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan tentang kesehatan, regulasi tenaga kesehatan, serta daya saing global.
Petinggi IBI Jateng itu, yakni Sujarwo Rina Hati, secara khusus selama ini mengurus para bidan delima di provinsi dengan 35 kabupaten dan kota tersebut. Dia menyampaikan pesan khusus kepada seorang bidan Magelang yang dikenalnya secara dekat dan tak disangka dijumpai di kawasan Watugong itu.
Pesan dia, supaya bidan itu menjadi "cahaya" bagi lainnya dalam melanjutkan panggilan profesi, setelah lulus program pendidikan jenjang profesi kebidanan. Program pendidikan selama setahun itu sebagai lanjutan pendidikan formal kebidanan lain yang telah ditempuh. Lulusan program itu selanjutnya menyandang gelar "Bdn".
Pesan simbolik tentang "cahaya" tersebut, sepertinya dimengerti sebagai pencerahan bagi pelaksanaan tugas-tugas kebidanan yang semakin bermakna dan bermaslahat bagi masyarakat, khususnya menyangkut kesehatan ibu dan anak.
Mungkin juga, ia berkehendak menjadikan salah seorang anggota organisasi itu memberi inspirasi kepada bidan lainnya untuk memperkuat kompetensi melalui keikutsertaan dalam program pendidikan profesi tersebut.
Cahaya dalam pengertian simbolik tampaknya berkaitan dengan pencerahan atas batin manusia, sehingga kehidupan menjadi kepenuhan harapan. Batin yang bermandikan terang mungkin menjadi ruang keilahian memancarkan makna adikodrati. Orang berhadapan dengan terang jiwa, biasanya merasa damai dan bahagia. Orang dirundung perkara, mungkin akan merasa "semeleh" dan bermandikan energi jiwa yang segar tatkala berjumpa dengan pencerahan batin.
Dua hari sebelum pameran tunggal karya-karya lukisan tentang kepala Buddha dibuka akhir pekan lalu di Limanjawi Art House Borobudur, sang pelukisnya, Easting Medi (47), terasa membawa tamu tunggalnya kepada muara pemaknaan mengenai penerangan jiwa. Pameran dia itu mengunggah tema besar, yakni "Light Up The Soul".
Kurator dan pemilik Museum OHD --museum seni rupa di Kota Magelang-- dokter Oei Hong Djien membuka pameran tunggal pelukis yang bernama asli Ismedi itu. Satu kata untuk nama kesenimanan, "Easting", antara lain karena dia tinggal di Dusun Tingal, Desa Wanurejo, Kecamatan Borobudur. Dusun itu berjarak sekitar satu kilometer arah timur Candi Borobudur. Kesamaan namanya dan arah tempat tinggal secara simbolik tampak terkait juga dengan makna cahaya Matahari yang terbit dari timur.
Pelukis autodidak itu sejak kecil tinggal di kawasan Candi Borobudur, Kabupaten Magelang. Penguasaan pemahaman yang baik atas bangunan warisan budaya dunia itu, antara lain karena candi megah peninggalan masa Syailendra, sekitar abad ke-8 Masehi tersebut, sejak kecil menjadi tempat Easting Medi bermain.
Karyanya sebagai seniman lukis yang nyaris semua tentang kepala Buddha terinspirasi dari Candi Borobudur. Ia juga memperoleh dukungan berbagai referensi dan interaksi personal dengan penghuni Wihara Mendut --tak jauh dari Candi Borobudur--, sehingga cahaya para kepala Buddha itu mengantar untuk mengisi kanvas demi kanvasnya.
Di Candi Borobudur terdapat sekitar 500 arca Buddha. Pameran "Light Up The Soul" selama sebulan, mulai 5 Mei lalu, menghadirkan 50-an karya Easting Medi. Karya yang dipajang di galeri itu hasil kurasi tim Limanjawi Art House Borobudur dikelola Umar Chusaeni terhadap sekitar 80 karya sang pelukis selama sekitar dua dasawarsa terakhir.
Melalui tulisan, pengajar Fakultas Seni Rupa Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta Mikke Susanto, mengupas karya-karya yang dipamerkan dalam tema "Light Up The Soul" itu, hendak mengajak para penyimaknya untuk terus-menerus menghidupi jiwa dan hidup selalu penuh harapan.
Disebut oleh Easting Medi yang hingga saat ini juga tetap gemar memandang langit malam kawasan Candi Borobudur dengan tebaran bintang dan ragam fase rupa rembulan, bahwa setiap kepala Buddha di Borobudur dengan berbagai detail perbawanya memancarkan cahaya spiritual yang kaya makna.
Pelukis itu rupanya telah melampaui jangkauan pandangan fisik atas arca Buddha di candi tersebut, sehingga bisa mengemukakan bahwa cahaya sebagai pancaran jiwa memberikan aura positif berupa harapan bagi manusia mencapai kebaikan, kedamaian, dan kebahagiaan dalam kehidupan di alam semesta.
Setiap kali berkarya lukis kepala Buddha, Easting Medi yang bukan penganut Buddha itu, bagaikan mengunduh cahaya spiritual secara tidak berkesudahan. Karya-karyanya pun memancarkan pesan cinta kasih dan perdamaian kepada sesama makhluk, alam, dan semesta.
Memandang dengan saksama lukisan-lukisan "Light Up The Soul" bagaikan duduk bersila dengan sikap anjali, mengunduh aneka pancaran ajaran-ajaran universal tentang pentingnya manusia memperhatikan kehidupan jiwa sebagai kekuatan dahsyat mencapai harapan kehidupan lebih bermakna bagi masa mendatang.
Tentu saja ihwal demikian, barangkali semakin tak mudah bagi manusia-manusia era teknologi informatika yang serba aplikatif dan dimudahkan memanfaatkan pekerjaan hidup melalui tawaran berbagai platform digital.
Kecuali untuk siapa saja mereka yang memang berfondasi kesadaran kuat bahwa produk teknologi informatika itu bagian dari pendaran cahaya jiwa yang bisa diunduh untuk menjangkau makna-makna kehidupan manusia zaman global ini guna mencapai harapan pascaglobal.
Secara resmi banyak pesan penting kepada para wisudawan dari berbagai program studi di perguruan tinggi tersebut, disampaikan oleh Direktur Jenderal Tenaga Kesehatan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Arianti Anaya dalam acara yang berlangsung di salah satu gedung di kompleks markas komando militer, di kawasan Watugong, Kabupaten Semarang, Rabu (10/5).
Berbagai pesan disampaikan dalam pidato wisuda itu, antara lain menyangkut kompetensi dan inovasi tenaga medis, tranformasi layanan kesehatan, penguasaan perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan tentang kesehatan, regulasi tenaga kesehatan, serta daya saing global.
Petinggi IBI Jateng itu, yakni Sujarwo Rina Hati, secara khusus selama ini mengurus para bidan delima di provinsi dengan 35 kabupaten dan kota tersebut. Dia menyampaikan pesan khusus kepada seorang bidan Magelang yang dikenalnya secara dekat dan tak disangka dijumpai di kawasan Watugong itu.
Pesan dia, supaya bidan itu menjadi "cahaya" bagi lainnya dalam melanjutkan panggilan profesi, setelah lulus program pendidikan jenjang profesi kebidanan. Program pendidikan selama setahun itu sebagai lanjutan pendidikan formal kebidanan lain yang telah ditempuh. Lulusan program itu selanjutnya menyandang gelar "Bdn".
Pesan simbolik tentang "cahaya" tersebut, sepertinya dimengerti sebagai pencerahan bagi pelaksanaan tugas-tugas kebidanan yang semakin bermakna dan bermaslahat bagi masyarakat, khususnya menyangkut kesehatan ibu dan anak.
Mungkin juga, ia berkehendak menjadikan salah seorang anggota organisasi itu memberi inspirasi kepada bidan lainnya untuk memperkuat kompetensi melalui keikutsertaan dalam program pendidikan profesi tersebut.
Cahaya dalam pengertian simbolik tampaknya berkaitan dengan pencerahan atas batin manusia, sehingga kehidupan menjadi kepenuhan harapan. Batin yang bermandikan terang mungkin menjadi ruang keilahian memancarkan makna adikodrati. Orang berhadapan dengan terang jiwa, biasanya merasa damai dan bahagia. Orang dirundung perkara, mungkin akan merasa "semeleh" dan bermandikan energi jiwa yang segar tatkala berjumpa dengan pencerahan batin.
Dua hari sebelum pameran tunggal karya-karya lukisan tentang kepala Buddha dibuka akhir pekan lalu di Limanjawi Art House Borobudur, sang pelukisnya, Easting Medi (47), terasa membawa tamu tunggalnya kepada muara pemaknaan mengenai penerangan jiwa. Pameran dia itu mengunggah tema besar, yakni "Light Up The Soul".
Kurator dan pemilik Museum OHD --museum seni rupa di Kota Magelang-- dokter Oei Hong Djien membuka pameran tunggal pelukis yang bernama asli Ismedi itu. Satu kata untuk nama kesenimanan, "Easting", antara lain karena dia tinggal di Dusun Tingal, Desa Wanurejo, Kecamatan Borobudur. Dusun itu berjarak sekitar satu kilometer arah timur Candi Borobudur. Kesamaan namanya dan arah tempat tinggal secara simbolik tampak terkait juga dengan makna cahaya Matahari yang terbit dari timur.
Pelukis autodidak itu sejak kecil tinggal di kawasan Candi Borobudur, Kabupaten Magelang. Penguasaan pemahaman yang baik atas bangunan warisan budaya dunia itu, antara lain karena candi megah peninggalan masa Syailendra, sekitar abad ke-8 Masehi tersebut, sejak kecil menjadi tempat Easting Medi bermain.
Karyanya sebagai seniman lukis yang nyaris semua tentang kepala Buddha terinspirasi dari Candi Borobudur. Ia juga memperoleh dukungan berbagai referensi dan interaksi personal dengan penghuni Wihara Mendut --tak jauh dari Candi Borobudur--, sehingga cahaya para kepala Buddha itu mengantar untuk mengisi kanvas demi kanvasnya.
Di Candi Borobudur terdapat sekitar 500 arca Buddha. Pameran "Light Up The Soul" selama sebulan, mulai 5 Mei lalu, menghadirkan 50-an karya Easting Medi. Karya yang dipajang di galeri itu hasil kurasi tim Limanjawi Art House Borobudur dikelola Umar Chusaeni terhadap sekitar 80 karya sang pelukis selama sekitar dua dasawarsa terakhir.
Melalui tulisan, pengajar Fakultas Seni Rupa Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta Mikke Susanto, mengupas karya-karya yang dipamerkan dalam tema "Light Up The Soul" itu, hendak mengajak para penyimaknya untuk terus-menerus menghidupi jiwa dan hidup selalu penuh harapan.
Disebut oleh Easting Medi yang hingga saat ini juga tetap gemar memandang langit malam kawasan Candi Borobudur dengan tebaran bintang dan ragam fase rupa rembulan, bahwa setiap kepala Buddha di Borobudur dengan berbagai detail perbawanya memancarkan cahaya spiritual yang kaya makna.
Pelukis itu rupanya telah melampaui jangkauan pandangan fisik atas arca Buddha di candi tersebut, sehingga bisa mengemukakan bahwa cahaya sebagai pancaran jiwa memberikan aura positif berupa harapan bagi manusia mencapai kebaikan, kedamaian, dan kebahagiaan dalam kehidupan di alam semesta.
Setiap kali berkarya lukis kepala Buddha, Easting Medi yang bukan penganut Buddha itu, bagaikan mengunduh cahaya spiritual secara tidak berkesudahan. Karya-karyanya pun memancarkan pesan cinta kasih dan perdamaian kepada sesama makhluk, alam, dan semesta.
Memandang dengan saksama lukisan-lukisan "Light Up The Soul" bagaikan duduk bersila dengan sikap anjali, mengunduh aneka pancaran ajaran-ajaran universal tentang pentingnya manusia memperhatikan kehidupan jiwa sebagai kekuatan dahsyat mencapai harapan kehidupan lebih bermakna bagi masa mendatang.
Tentu saja ihwal demikian, barangkali semakin tak mudah bagi manusia-manusia era teknologi informatika yang serba aplikatif dan dimudahkan memanfaatkan pekerjaan hidup melalui tawaran berbagai platform digital.
Kecuali untuk siapa saja mereka yang memang berfondasi kesadaran kuat bahwa produk teknologi informatika itu bagian dari pendaran cahaya jiwa yang bisa diunduh untuk menjangkau makna-makna kehidupan manusia zaman global ini guna mencapai harapan pascaglobal.