Purwokerto (ANTARA) - Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Muhammadiyah Purwokerto Naelati Tubastuvi menilai skema domestic market obligation (DMO) dan domestic price obligation (DPO) masih dapat diterapkan untuk menjaga ketersediaan dan keterjangkauan harga minyak goreng di dalam negeri.
"Kebijakan menutup keran ekspor CPO (Crude Palm Oil) beserta turunannya yang berlaku per tanggal 28 April 2022, hampir sebulan, dampak negatifnya pasti ada. Tapi diharapkan dengan ditutupnya keran ekspor kemarin itu bisa memenuhi kebutuhan minyak goreng di dalam negeri dan saya kira kebijakan penutupan keran ekspor itu ibarat senjata pamungkas setelah pemerintah mengeluarkan berbagai kebijakan mulai dari harga eceran tertinggi dan ternyata tidak mempan juga," katanya di Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Senin.
Dia mengatakan hal itu terkait dengan kebijakan pemerintah yang membuka kembali keran ekspor CPO beserta turunnya sejak 23 Mei 2022.
Menurut dia, penutupan keran ekspor CPO beserta turunannya tersebut berdampak terhadap tercukupinya kebutuhan minyak goreng di dalam negeri meskipun belum melimpah.
Oleh karena adanya tuntutan dari petani kelapa sawit dan produsen CPO yang terhambat ekspornya, kata dia, pemerintah akhirnya mengambil kebijakan untuk membuka kembali keran ekspor dengan mempertimbangkan kebutuhan pasokan minyak goreng dalam negeri yang sudah tercukupi.
Selain itu, pertimbangan lainnya adalah tuntutan petani yang produk kelapa sawitnya tidak bisa terserap di pasar sehingga membusuk ditambah dengan mahalnya harga pupuk untuk tanaman kelapa sawit.
"Saya kira sudah waktunya dibuka karena ditutup terlalu lama banyak beban yang ditanggung oleh produsen-produsen CPO ini," kata Naelati.
Lebih lanjut, Wakil Ketua II Badan Pengurus Harian Masyarakat Ekonomi Syariah (MES) Kabupaten Banyumas itu mengatakan jika melihat hitungan, potensi kerugian dari penutupan keran ekspor tersebut cukup besar karena berdasarkan data mencapai kurang lebih Rp13 triliun dalam sebulan.
Dengan demikian, kata dia, neraca perdagangan devisa otomatis terganggu karena CPO merupakan salah satu komOditas yang memberikan kontribusi untuk devisa
"Jadi di sisi lain juga neracanya menjadi terganggu, sebulan saja ditutup, angkanya, informasinya Rp13 triliun (angka kerugian) dari pendapat cukai pajaknya, belum pendapatan dari produsennya yang masuk ke negara," katanya menegaskan.
Menurut dia, pemerintah juga perlu berhitung dengan cermat dampak ketika keran ekspor CPO ditutup kemudian ketika dibuka, karena penutupan keran ekspor terlalu lama akan merugikan dan risikonya terlalu besar.
Terkait dengan langkah yang perlu dilakukan pemerintah agar kelangkaan minyak goreng tidak terulang kembali, Naelati menilai kebijakan lama yang diambil pemerintah dengan menetapkan DMO dan DPO masih dapat diterapkan.
Dia mengatakan dengan adanya skema DMO dan DPO berarti ada kewajiban dari produsen CPO untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri agar tetap terjaga, sehingga harganya terjangkau oleh masyarakat.
Dalam hal ini, pemerintah telah menetapkan DMO dijaga pada jumlah 10 juta ton minyak goreng yang terdiri dari 8 juta ton minyak goreng pasokan dan sebagai cadangan sebesar 2 juta ton.
"Saya kira kebijakan atau skema DMO dan DPO itu masih bisa dilanjutkan," katanya menegaskan.
Kendati demikian, dia mengatakan pemerintah perlu mengantisipasi kemungkinan adanya produsen yang menaikkan harga minyak goreng sebagai upaya menutup kerugian yang dialami selama penutupan keran ekspor CPO beserta turunannya meskipun ada DPO.
Disinggung mengenai kebijakan pemerintah yang menerapkan sistem pembelian minyak goreng curah dengan menggunakan kartu tanda penduduk (KTP), Naelati menilai penggunaan KTP sebenarnya sebagai alat untuk menjamin bahwa tidak ada pembelian minyak goreng yang melebihi kebutuhan.
Baca juga: Harga minyak goreng kemasan di Solo Raya masih tinggi
Baca juga: Stok minyak goreng berlimpah di Kudus