Purwokerto (ANTARA) - Pelaku usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) tepung mocaf (modified cassava flour) asal Banjarnegara, Jawa Tengah, Riza Azyumarridha Azra mengatakan sudah saatnya kedaulatan pangan lokal Indonesia bangkit seiring dengan lonjakan harga tepung terigu atau gandum.
"Semenjak ada perang di Ukraina, harga terigu melonjak karena mereka (Ukraina, red.) sudah enggak ekspor gandum lagi. Ditambah lagi dengan larangan ekspor gandum oleh India yang juga penyuplai terigu untuk Indonesia," kata pemilik Rumah Mocaf Banjarnegara itu usai menghadiri Pengukuhan Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia (KPw BI) Purwokerto di Kabupaten Banyumas, Rabu.
Ia mengatakan terhentinya pasokan gandum dari dua negara itu memberikan dampak yang cukup signifikan terhadap harga terigu di Indonesia yang terus mengalami peningkatan.
Menurut dia, hal itu merupakan suatu momentum kebangkitan petani singkong dan kebangkitan kedaulatan pangan lokal Indonesia yang merupakan negara pengimpor terbesar di dunia.
"Ini suatu momentum bahwa Indonesia tanpa impor itu bisa. Kita tidak bisa membayangkan ketika terhentinya impor gandum dari dua negara saja sudah berdampak terhadap harga terigu," kata mitra binaan KPw BI Purwokerto itu.
Akan tetapi ketika Pemerintah Indonesia mau menghentikan kebijakan impor gandum, kata dia, ada jutaan petani di Indonesia yang bakal terangkat martabat dan kesejahteraannya.
Dalam hal ini, pihaknya memiliki konsep untuk mengangkat martabat dan kesejahteraan petani singkong melalui pengembangan usaha pembuatan tepung mocaf.
"Jika impor gandum tersebut dihentikan, harga mocaf bisa semakin bersaing hingga akhirnya bisa berkembang dan terus diterima masyarakat secara luas," katanya.
Lebih lanjut, Riza mengakui sejak terjadinya pandemi COVID-19 hingga sekarang, permintaan masyarakat terhadap mocaf terus mengalami peningkatan.
Sebelum pandemi, kata dia, permintaan mocaf yang diproduksi Rumah Mocaf Banjarnegara untuk pasar dalam negeri rata-rata 10 ton per bulan, namun sekarang mencapai 30 ton per bulan.
Menurut dia, permintaan mocaf untuk pasar luar negeri juga meningkat namun pihaknya menganggapnya sebagai bonus karena saat sekarang masih fokus pada pasar dalam negeri.
"Kenapa sejak pandemi mengalami peningkatan? Karena masyarakat semakin menyadari budaya hidup sehat, oh ternyata singkong yang dianggap sebagai makanan marginal, ketika diolah secara serius bisa menjadi mocaf yang premium, yang 'healthy food', yang 'gluten free', yang rendah indeks glikemik, dan memiliki karakteristik hampir sama dengan tepung terigu tetapi lebih sehat," katanya.
Kepala KPw BI Purwokerto Rony Hartawan mengakui dalam konteks geopolitik seperti saat sekarang banyak ketidakpastian, sehingga akan banyak kerja sama dengan pemerintah untuk mengindentifikasi barang-barang yang akan kurang, sehingga bisa disiapkan subtitusinya untuk memastikan agar stabilitas harga terjaga.
Terkait dengan hal itu, dia mengatakan beberapa kegiatan BI khususnya program untuk UMKM, justru membangun bagaimana terciptanya barang-barang subtitusi tadi.
"Jadi seperti bagaimana mengganti tepung terigu dengan singkong atau mocaf, itu baru satu item. Kita akan cari hal-hal lain sehingga ketergantungan impor bisa kita ganti dengan barang-barang subtitusi," katanya.
Dari situ, kata dia, pihaknya akan melihat jika model bisnisnya bagus akan direplikasi ke tempat-tempat lain karena hal itu bicara tentang bagaimana mengubah paradigma masyarakat yang tidak gampang.
"Yang tadinya suka terigu, mengganti dengan singkong. Padahal yang kita buat itu makanan-makanan yang lebih sehat tanpa gluten, tapi ini enggak gampang karena ada kebiasaan-kebiasaan masyarakat, ini yang akan kami coba dengan pemerintah kabupaten," katanya.