Usai divonis 4 tahun bui, Irjen Napoleon Bonaparte: Apa perlu saya goyang "TikTok"
Cukup sudah pelecehan martabat yang saya derita dari Juni tahun lalu sampai hari ini, saya lebih baik mati daripada martabat keluarga saya dilecehkan seperti ini
Jakarta (ANTARA) - Mantan Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri Inspektur Jenderal (Irjen) Napoleon Bonaparte dengan bergurau menawarkan untuk bergoyang "TikTok", seusai divonis selama 4 tahun penjara.
"Sudah ya, sudah ya, apa perlu saya goyang 'TikTok'?" ujar Napoleon kepada pengunjung sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Rabu.
Napoleon mengungkapkan hal tersebut setelah bersalaman dengan para penasihat hukumnya.
Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta menjatuhkan vonis 4 tahun penjara ditambah denda Rp100 juta subsider 6 bulan kurungan kepada Napoleon, karena dinilai terbukti menerima suap 370 ribu dolar AS dan 200 ribu dolar Singapura (sekitar Rp7,23 miliar) dari Djoko Tjandra.
Baca juga: Napoleon Bonaparte merasa dizalimi oleh pernyataan pejabat
Baca juga: Jaksa: Irjen Pol. Napoleon minta uang suap untuk "petinggi kita"
Atas vonis tersebut, Napoleon langsung mengajukan banding.
"Cukup sudah pelecehan martabat yang saya derita dari Juni tahun lalu sampai hari ini, saya lebih baik mati daripada martabat keluarga saya dilecehkan seperti ini. Saya menolak putusan hakim dan mengajukan banding," ujar Napoleon menegaskan, sambil berdiri.
Hakim menilai terdapat sejumlah hal yang memberatkan dalam perbuatan Napoleon.
"Hal-hal yang memberatkan, terdakwa tidak mendukung program pemerintah untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi, perbuatan terdakwa sebagai anggota Polri dapat menurunkan citra, wibawa dan nama baik Polri," kata ketua majelis hakim Muhammad Damis.
Majelis hakim juga menilai Napoleon lempar batu sembunyi tangan.
"Perbuatan terdakwa dapat dikualifiskasi tidak bersikap kesatria, ibarat lempar batu sembunyi tangan, karena berani berbuat tapi tidak berani mengakui perbuatan, terdakwa sama sekali tidak menunjukkan penyesalan dalam perkara ini, padahal perbuatan korupsi di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat grafiknya menunjukkan peningkatan baik dari segi kuantitas maupun kualitas," ujar hakim Damis.
Namun, majelis hakim yang terdiri atas Muhammad Damis, Saifuddin Zuhri, dan Joko Soebagyo juga mempertimbangkan hal-hal yang meringankan dalam perbuatan Napoleon.
"Terdakwa bersikap sopan selama persidangan, terdakwa belum pernah dijatuhi hukuman, terdakwa mengabdi sebagai anggota Polri selama lebih dari 30 tahun, terdakwa punya tanggungan keluarga, terdakwa hadir secara tertib dan tidak pernah bertingkah yang membuat persidangan tidak lancar," kata hakim Damis.
Sedangkan JPU Kejaksaan Agung menyatakan pikir-pikir selama 7 hari.
Baca juga: Dua perwira tinggi Polri didakwa terima suap Rp8,3 miliar dari Djoko Tjandra
"Sudah ya, sudah ya, apa perlu saya goyang 'TikTok'?" ujar Napoleon kepada pengunjung sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Rabu.
Napoleon mengungkapkan hal tersebut setelah bersalaman dengan para penasihat hukumnya.
Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta menjatuhkan vonis 4 tahun penjara ditambah denda Rp100 juta subsider 6 bulan kurungan kepada Napoleon, karena dinilai terbukti menerima suap 370 ribu dolar AS dan 200 ribu dolar Singapura (sekitar Rp7,23 miliar) dari Djoko Tjandra.
Baca juga: Napoleon Bonaparte merasa dizalimi oleh pernyataan pejabat
Baca juga: Jaksa: Irjen Pol. Napoleon minta uang suap untuk "petinggi kita"
Atas vonis tersebut, Napoleon langsung mengajukan banding.
"Cukup sudah pelecehan martabat yang saya derita dari Juni tahun lalu sampai hari ini, saya lebih baik mati daripada martabat keluarga saya dilecehkan seperti ini. Saya menolak putusan hakim dan mengajukan banding," ujar Napoleon menegaskan, sambil berdiri.
Hakim menilai terdapat sejumlah hal yang memberatkan dalam perbuatan Napoleon.
"Hal-hal yang memberatkan, terdakwa tidak mendukung program pemerintah untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi, perbuatan terdakwa sebagai anggota Polri dapat menurunkan citra, wibawa dan nama baik Polri," kata ketua majelis hakim Muhammad Damis.
Majelis hakim juga menilai Napoleon lempar batu sembunyi tangan.
"Perbuatan terdakwa dapat dikualifiskasi tidak bersikap kesatria, ibarat lempar batu sembunyi tangan, karena berani berbuat tapi tidak berani mengakui perbuatan, terdakwa sama sekali tidak menunjukkan penyesalan dalam perkara ini, padahal perbuatan korupsi di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat grafiknya menunjukkan peningkatan baik dari segi kuantitas maupun kualitas," ujar hakim Damis.
Namun, majelis hakim yang terdiri atas Muhammad Damis, Saifuddin Zuhri, dan Joko Soebagyo juga mempertimbangkan hal-hal yang meringankan dalam perbuatan Napoleon.
"Terdakwa bersikap sopan selama persidangan, terdakwa belum pernah dijatuhi hukuman, terdakwa mengabdi sebagai anggota Polri selama lebih dari 30 tahun, terdakwa punya tanggungan keluarga, terdakwa hadir secara tertib dan tidak pernah bertingkah yang membuat persidangan tidak lancar," kata hakim Damis.
Sedangkan JPU Kejaksaan Agung menyatakan pikir-pikir selama 7 hari.
Baca juga: Dua perwira tinggi Polri didakwa terima suap Rp8,3 miliar dari Djoko Tjandra