Jakarta (ANTARA) - Tidak seorang pun ingin terpapar, apalagi terinfeksi virus corona penyebab COVID-19.
Para tenaga kesehatan yang setiap hari harus berinteraksi dengan pasien punya risiko tertular karena mereka tidak selalu tahu apakah pasien terinfeksi COVID-19 atau tidak.
Tak terkecuali dr. Sriyanto, Sp.B., seorang dokter bedah di sebuah rumah sakit di Wonogiri, Jawa Tengah, yang dinyatakan positif dan harus menjalani 12 masa isolasi bersama anak laki-laki semata wayangnya.
Sriyanto dan anaknya dinyatakan positif COVID-19 melalui tes usap pada tanggal 18 November 2020. Untuk menjalani perawatan isolasi, Sriyanto dan anaknya harus ke Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Moewardi Surakarta.
Mengapa Sriyanto dan anaknya sampai harus menjalani perawatan isolasi?
"Saya dan anak saya mengalami demam dan batuk. Sepanjang perjalanan dari Wonogiri ke Solo, tubuh terus menggigil," kata Sriyanto.
Kondisi itu diperparah karena keluarga besarnya sedang mendapat musibah, yaitu ayah mertua yang juga seorang dokter bedah sedang berada ruang perawatan intensif Rumah Sakit Umum Pusat Dokter Kariadi Semarang karena positif COVID-19.
"Usianya yang sudah 78 tahun menjadikannya rapuh menghadapi serang virus ini. Total sudah ada delapan orang dari keluarga kami yang positif COVID-19," tuturnya.
Di ruang perawatan isolasi di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Moewardi, kondisi Sriyanto makin parah dengan demam yang sangat tinggi hingga setiap hari menggigil kedinginan. Enam jam sekali dia harus mengonsumsi paracetamol untuk menurunkan demamnya dan tidak menggigil akut.
Hari keempat isolasi, Sriyanto mulai batuk dan badan terasa sakit. Setiap bergerak, misalnya dari rukuk ke sujud saat salat, Sriyanto pasti terbatuk. Dia merasa tersiksa karena untuk bernapas juga sulit.
Kondisi Sriyanto makin parah pada hari keenam. Indra penciumannya tidak berfungsi dan dia tidak bisa mengunyah dengan baik. Nasi dari rumah sakit terasa sangat keras, sampai dia muntahkan kembali.
"Saya sampai protes ke bagian gizi rumah sakit. Saya marah karena merasa mereka tidak memasak nasi dengan benar. Betapa kagetnya ketika mendapat penjelasan bahwa nasi itu lunak seperti biasa," kisahnya.
Sriyanto akhirnya menyadari bahwa hal itu karena virus yang menjangkitinya sehingga menggangu fungsi mulut dan tenggorokan. Cairan kelenjar di mulut tidak keluar sehingga fungsi syaraf menelan menjadi terganggu.
Saat sedang menjalani perawatan isolasi tersebut, Sriyanto mendapatkan kabar duka. Ayah mertuanya tidak tertolong dan meninggal dunia. Semua kesedihan terasa bertumpuk menjadi satu.
"Beliau tidak bisa bertahan, meninggal pada tanggal 21 November 2020, dan dimakamkan sesuai dengan protokol COVID-19," tuturnya.
Hari ketujuh menjadi puncak penderitaan Sriyanto. Batuk makin parah, apalagi ditambah komorbid diabetes sehingga harus rutin suntik insulin.
"Saya hampir menyerah. Beberapa sahabat juga berpikir demikian karena risiko orang dengan diabetes bila terkena COVID-19 biasanya berujung kematian," ucapnya.
Namun, Tuhan menjawab keputusasaan Sriyanto. Pesanan dua kantong plasma dari Jakarta tiba. Dengan meyakini plasma dan obat radang sendi adalah obat ampuh untuk mengobati COVID-19, dia pun mendapatkan suntikan satu kantong plasma.
Sriyanto lebih mengutamakan pengobatan medis daripada berbagai saran pengobatan alternatif yang tidak jelas. Pada saat kondisi kritis, dia berusaha berpikir logis dengan tetap menjalani pengobatan medis yang sudah teruji.
"Saya berusaha tegar dan tidak menyerah. Saya tanamkann kuat dalam hati, masih ingin hidup untuk menambah amal saleh karena merasa bekal belum cukup untuk pulang ke negeri keabadian," tuturnya.
Suntikan obat sendi terasa khasiatnya. Hanya 6 jam sejak disuntik, dia sudah bisa makan pisang. Padahal, sebelumnya dia masih kesulitan untuk menelan karena semua makanan terasa keras.
Pada hari kedelapan, setelah disuntik plasma yang kedua, dia tertidur pulas selama 12 jam dengan alat pengukur dan perekam aktivitas listrik jantung, oksigen 5 liter, dan infus dua jalur terpasang.
"Begitu terbangun, badan terasa lebih ringan dan segar. Batuk suda berkurang banyak dan demam perlahan menurun," katanya.
Hari kesembilan, demam sudah menghilang, batuk berkurang 75 persen, badan lebih ringan, dan hati bahagia karena masa kritis antara hidup dan mati sudah terlewati. Nasi yang dimakan pun terasa lebih empuk.
Pada tanggal 30 November 2020, Sriyanto selesai menjalani perawatan isolasi. Dia sudah kembali ke Wonogiri bersama anaknya, dan sudah bisa bersepeda di sekitar rumah.
Dukungan dari kerabat dan sahabat yang tidak kunjung henti melalui WhatsApp, telepon, dan media sosial juga menambah kekuatan Sriyanto.
"Betapa doa pada saat kritis membuat saya sangat bahagia, apalagi melihat kiriman video santri-santri dari berbagai daerah yang mengirimkan doa hingga beberapa hari. Mereka meminta saya tetap semangat agar bisa bertemu kembali," katanya.
Saat-saat dinyatakan positif COVID-19, menjalani perawatan isolasi, melewati masa-masa kritis, dan mendapatkan dukungan serta doa dari keluarga dan sahabat akan menjadi pengalaman tak terlupakan bagi Sriyanto.
Kepada orang lain yang dinyatakan positif COVID-19, Sriyanto berpesan untuk tetap percaya pada pengobatan medis yang sudah teruji daripada pengobatan alternatif yang masih coba-coba.
Doa juga menjadi sumber kekuatan untuk sembuh. Doa tulus dan perhatian dari orang sekeliling sangat membantu mempercepat pengobatan. Oleh karena itu, dia meminta kepada masyarakat untuk tidak lelah memberikan perhatian dan doa kepada mereka yang sedang sakit.
Jaga kesehatan dan terapkan protokol di mana pun berada. Selalu gunakan masker, cuci tangan dengan sabun dan air mengalir, serta menjaga jarak aman dengan orang lain