Semarang (ANTARA) - Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Khoirunnisa Nur Agustyati memandang perlu Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) tentang Kampanye Pemilihan Kepala Daerah lebih progresif, termasuk mengatur pula soal buzzer.
"Jadi, tidak cukup mengatur jumlah akun medsosnya. Namun, yang penting untuk diatur sebetulnya adalah transparansi dan kontennya," kata Direktur Eksekutif Perludem Khoirunnisa Nur Agustyati menjawab pertanyaan ANTARA di Semarang melalui percakapan WhatsApp, Senin.
Alumnus Universitas Indonesia ini mengemuka hal itu ketika menjawab boleh tidak peserta pemilihan kepala daerah memanfaatkan buzzer untuk kampanye di medsos untuk meraih dukungan pada pilkada, 9 Desember 2020.
Baca juga: Awal Keterlibatan Buzzer dalam Peristiwa Politik Saat Pemilihan Gubernur DKI 2012
Khoirunnisa menegaskan tidak ada pengaturan soal buzzer di dalam PKPU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Perubahan atas PKPU No. 4/2017 tentang Kampanye Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan/atau Wali Kota/Wakil Wali Kota (PKPU Kampanye Pilkada).
"Yang diatur dalam PKPU itu hanya jumlah akun yang didaftarkan ke KPU," kata Khoirunnisa.
Peneliti Perludem Mahaddhika menambahkan bahwa partai politik atau gabungan partai politik, pasangan calon dan/atau tim kampanye dapat membuat akun resmi di medsos untuk keperluan kampanye selama masa kampanye. Hal ini diatur dalam PKPU Kampanye Pilkada Pasal 47 Ayat (2).
Ditegaskan pula bahwa kampanye media sosial dilakukan oleh partai politik atau gabungan partai politik, pasangan calon, dan/atau tim sukses.
Buzzer Berkampanye
Dalam konteks politik, kata peneliti Communication and Information System Security Research Center (CISSReC) Ibnu Dwi Cahyo, buzzer (orang yang mempromosikan, mengampanyekan, atau mendengungkan sesuatu) sangat identik dengan akun-akun anonim media sosial, padahal sebenarnya buzzer tidak hanya itu.
"Kembali pada tugas buzzer sebenarnya membantu kegiatan marketing maupun demarketing dengan berbagai tools dan berbagai bentuk. Jadi, tidak hanya digunakan oleh aktor politik dalam kontestasi pilkada sekarang ini," kata Ibnu.
Pada pemilu atau pilkada, menurut dia, buzzer punya tugas untuk mendengungkan isu ataupun profil klien agar lebih dikenal publik. Bahkan, strateginya juga gradual, tidak terburu-buru.
Baca juga: KPU larang rapat umum hingga pentas dangdut dalam kampanye Pilkada 2020
Dalam kegiatan marketing, lanjut Ibnu, buzzer bisa menggunakan akun anonim maupun akun asli. Bagi seseorang yang sudah mempunyai nama besar di media sosial, kegiatan mereka sebagai buzzer bisa tersamarkan. Misalnya, dengan konten review maupun podcast (wawancara).
Ia mencontohkan buzzer anonim lebih dikenal masyarakat saat ramai akun Twitter @triomacan2000 yang mengabarkan lewat twit-nya berbagai pujian dan juga tuduhan serius kepada banyak pihak.
"Kliennya bisa tidak satu pihak, kecuali mereka mendapatkan kontrak multiyears," kata Ibnu.