New York (ANTARA) - Harga minyak jatuh untuk hari kelima berturut-turut pada akhir perdagangan Kamis (Jumat pagi WIB), ke level terendah dalam lebih dari satu tahun, karena laporan baru kasus Virus Corona di luar China memicu kekhawatiran investor bahwa wabah yang menyebar cepat dapat memperlambat ekonomi global.
Minyak mentah berjangka Brent untuk pengiriman April, turun 1,25 dolar AS atau 2,3 persen, menjadi menetap di 52,18 dolar AS per barel. Brent mencapai terendah sesi di 50,97 dolar AS per barel, yang merupakan tingkat terendah sejak Desember 2018.
Baca juga: Harga minyak anjlok di tengah serangan tanker
Sementara itu, minyak mentah berjangka West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman April, merosot 1,64 dolar AS atau 3,4 persen, menjadi ditutup di 47,09 dolar AS per barel, merupakan level terendah sejak Januari 2019. WTI sempat diperdagangkan pada 45,88 dolar AS per barel pada titik terendahnya hari tersebut.
Awal pekan ini, untuk pertama kalinya sejak wabah meletus, jumlah infeksi Virus Corona baru yang dilaporkan di luar China melebihi kasus baru di China.
Pasar-pasar risiko lainnya juga merosot pada Kamis (27/2/2020). S&P 500 mengalami kerugian satu hari terbesar sejak Agustus 2011 dan Dow Jones Industrial Average menandai penurunan poin satu hari terbesarnya, karena investor melarikan diri ke aset yang aman seperti obligasi pemerintah dan emas. Kemerosotan dalam ekuitas global telah menghapus nilai lebih dari tiga triliun dolar AS minggu ini.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada Kamis (27/2/2020) memperingatkan bahwa tidak ada negara yang boleh membuat kesalahan dengan berasumsi bahwa negara tersebut akan terhindar dari virus, karena pemerintah-pemerintah mulai dari Iran hingga Australia berlomba untuk menahan penyebaran epidemi.
Baca juga: Harga Minyak AS Naik di Tengah Penurunan Jumlah Rig
"Minyak dalam terjun bebas karena besarnya upaya karantina global akan memberikan penghancuran permintaan parah untuk beberapa kuartal berikutnya," kata Edward Moya, analis pasar senior di OANDA di New York.
Sekitar satu juta kontrak berjangka minyak mentah AS berpindah tangan pada Kamis (27/2/2020), hari tersibuk perdagangan sejak awal Januari. Harga acuan telah jatuh hampir 14 persen dalam lima hari terakhir perdagangan.
Perdagangan di pasar minyak menunjukkan investor memperkirakan periode kelebihan pasokan yang berkepanjangan, dengan penurunan permintaan karena virus telah menyebar ke ekonomi besar termasuk Korea Selatan, Jepang dan Italia.
Pasar minyak mentah mengamati obat penawar dalam bentuk pemotongan produksi tambahan oleh Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak dan sekutunya termasuk Rusia, yang dijadwalkan bertemu di Wina pada 5-6 Maret. Grup saat ini mengurangi pasokan sekitar 1,2 juta barel per hari untuk mendukung harga.
Consultants Facts Global Energy memperkirakan permintaan minyak akan tumbuh sebesar 60.000 barel per hari pada 2020, tingkat yang disebutnya "praktis nol," karena wabah.
Bensin berjangka AS jatuh sebanyak 5,5 persen menjadi 1,3742 dolar AS per galon, terendah sejak akhir Januari 2019. Minyak pemanas berjangka turun sekitar 0,7 persen menjadi 1,4892 dolar AS per galon, setelah mencapai level terendah sejak Juli 2017.
"Itu membuat saya berpikir bahwa sisi penurunan di sini sekarang bergerak dari minyak mentah ke produk-produk minyak jika virus terus tumbuh di luar China," kata Scott Shelton, pialang energi ICAP di Durham, North Carolina.
Margin untuk memproduksi sulingan - minyak pemanas, bahan bakar diesel dan bahan bakar jet - telah mencapai level terendah sejak 2017 karena kekhawatiran berkurangnya permintaan.
Baik Brent maupun WTI, selisih antara berjangka pada Desember 2020 dan Desember 2021, perdagangan populer yang digunakan sebagai barometer untuk ekspektasi pasokan, turun tajam ke wilayah negatif. Selisih keduanya mencapai level terluas sejak Januari 2019, menandakan bahwa erosi permintaan dapat menyebabkan kelebihan pasokan hingga akhir tahun ini.
Arab Saudi, pengekspor minyak utama dunia, mengurangi pasokan minyak mentah ke China pada Maret setidaknya 500.000 barel per hari karena permintaan kilang yang lebih lambat setelah wabah Virus Corona, dua sumber yang mengetahui masalah itu mengatakan.