Ini karakteristik konsumen Indonesia, iseng lihat berujung belanja
Jakarta (ANTARA) - Fitur pencarian sangat penting untuk label yang ingin menggaet lebih banyak pembeli, sebab berdasarkan studi terbaru Facebook dan Bain & Company, sebagian besar responden belum tahu persis apa yang ingin dibeli ketika belanja daring.
Sebanyak 64 persen responden terdorong untuk belanja bukan karena sudah punya keinginan apa yang ingin dibeli, tapi setelah mengubek fitur pencarian.
"Discovery generation, dari lihat-lihat lalu ingin beli," ujar Kepala Pemasaran untuk Facebook di Indonesia Hilda Kitti di Jakarta, Rabu.
Baca juga: Pakar: Perlu aturan "marketplace" cegah monopoli dalam perdagangan daring
"Discovery generation" biasanya menemukan produk-produk baru dari inspirasi dan pengaruh di dunia maya. Apa yang menarik saat sedang mencari-cari dapat berakhir di keranjang belanja.
Keputusan mereka bisa dipengaruhi oleh apa yang muncul di media sosial. Berdasarkan studi, 57 persen responden baru tahu tentang produk dan merek baru lewat media sosial.
Karakteristik konsumen Indonesia yang lain adalah membandingkan produk di tempat-tempat berbeda sebelum memutuskan untuk membeli alias omnichannel. Ketika sudah berniat membeli sesuatu, konsumen akan membandingkan di toko daring lain serta toko luring.
Baca juga: Diretas, Bukalapak pastikan tidak ada data bocor
Saat berbelanja di e-commerce, biasanya orang Indonesia melihat-lihat di 3,8 platform sebelum membuat keputusan dalam membeli. Hilda mengatakan ini menunjukkan potensi besar untuk membangun loyalitas dan pertumbuhan merek, sebab belum ada pemain dominan di pasar e-commerce Asia Tenggara.
Selain itu, konsumen juga tidak terpaku hanya membeli dari merek lama yang sudah dikenal. 66 persen responden mengatakan mereka terbuka untuk mencoba merek baru saat belanja daring.
Bukan cuma responden Indonesia yang terbuka saat belanja daring, tetapi juga responden dari negara Asia Tenggara lain seperti Singapura dan Malaysia.
Studi "Riding the Digital Wave: Southeast Asia's Discovery Generation" melibatkan 12.965 responden di Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand dan Vietnam. Studi ini menguak tentang perilaku dan preferensi kelas menengah dalam membentuk tren belanja di e-commerce.
Diprediksi pada 2025 kelas menengah Asia Tenggara bakal mendominasi 70-80 persen pertumbuhan konsumen digital. Pada 2015, ada 90 juta konsumen digital di Asia Tenggara yang naik 2,8 kali lipat menjadi 250 juta konsumen digital pada 2018. Angka ini diproyeksi meningkat jadi 310 juta konsumen digital pada 2025.
Sementara di Indonesia, pertumbuhan konsumen digital juga positif dari waktu ke waktu. Pada 2017, sebanyak 34 persen dari total populasi Indonesia sudah menjadi konsumen digital, yakni 64 juta orang. Setahun kemudian, persentasenya naik jadi 53 persen populasi, yakni 102 juta.
Pertumbuhan belanja daring juga diperkirakan tumbuh 3,7 kali dari 13,1 miliar dolar AS pada 2017 menjadi 48,3 miliar dolar AS pada 2025.
Sebanyak 64 persen responden terdorong untuk belanja bukan karena sudah punya keinginan apa yang ingin dibeli, tapi setelah mengubek fitur pencarian.
"Discovery generation, dari lihat-lihat lalu ingin beli," ujar Kepala Pemasaran untuk Facebook di Indonesia Hilda Kitti di Jakarta, Rabu.
Baca juga: Pakar: Perlu aturan "marketplace" cegah monopoli dalam perdagangan daring
"Discovery generation" biasanya menemukan produk-produk baru dari inspirasi dan pengaruh di dunia maya. Apa yang menarik saat sedang mencari-cari dapat berakhir di keranjang belanja.
Keputusan mereka bisa dipengaruhi oleh apa yang muncul di media sosial. Berdasarkan studi, 57 persen responden baru tahu tentang produk dan merek baru lewat media sosial.
Karakteristik konsumen Indonesia yang lain adalah membandingkan produk di tempat-tempat berbeda sebelum memutuskan untuk membeli alias omnichannel. Ketika sudah berniat membeli sesuatu, konsumen akan membandingkan di toko daring lain serta toko luring.
Baca juga: Diretas, Bukalapak pastikan tidak ada data bocor
Saat berbelanja di e-commerce, biasanya orang Indonesia melihat-lihat di 3,8 platform sebelum membuat keputusan dalam membeli. Hilda mengatakan ini menunjukkan potensi besar untuk membangun loyalitas dan pertumbuhan merek, sebab belum ada pemain dominan di pasar e-commerce Asia Tenggara.
Selain itu, konsumen juga tidak terpaku hanya membeli dari merek lama yang sudah dikenal. 66 persen responden mengatakan mereka terbuka untuk mencoba merek baru saat belanja daring.
Bukan cuma responden Indonesia yang terbuka saat belanja daring, tetapi juga responden dari negara Asia Tenggara lain seperti Singapura dan Malaysia.
Studi "Riding the Digital Wave: Southeast Asia's Discovery Generation" melibatkan 12.965 responden di Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand dan Vietnam. Studi ini menguak tentang perilaku dan preferensi kelas menengah dalam membentuk tren belanja di e-commerce.
Diprediksi pada 2025 kelas menengah Asia Tenggara bakal mendominasi 70-80 persen pertumbuhan konsumen digital. Pada 2015, ada 90 juta konsumen digital di Asia Tenggara yang naik 2,8 kali lipat menjadi 250 juta konsumen digital pada 2018. Angka ini diproyeksi meningkat jadi 310 juta konsumen digital pada 2025.
Sementara di Indonesia, pertumbuhan konsumen digital juga positif dari waktu ke waktu. Pada 2017, sebanyak 34 persen dari total populasi Indonesia sudah menjadi konsumen digital, yakni 64 juta orang. Setahun kemudian, persentasenya naik jadi 53 persen populasi, yakni 102 juta.
Pertumbuhan belanja daring juga diperkirakan tumbuh 3,7 kali dari 13,1 miliar dolar AS pada 2017 menjadi 48,3 miliar dolar AS pada 2025.