Semarang (ANTARA) - Pemerintah akhirnya memutuskan untuk tidak memulangkan Warga Negara Indonesia (WNI) yang terlibat terorisme di luar negeri, termasuk jaringan ISIS.
Keputusan pemerintah yang disampaikan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD tersebut sangat tepat karena pemerintah ingin memberi rasa aman kepada 267 juta rakyat Indonesia di Tanah Air dari ancaman tindak terorisme.
Berdasarkan data, terdapat 689 WNI yang merupakan teroris lintas batas atau foreign terrorist fighter/FTF yang jika dipulangkan ke Tanah Air bisa menjadi virus baru yang membuat rakyat Indonesia merasa tidak aman.
Kita juga patut mengapresiasi kebijakan pemerintah terhadap anak-anak dengan usia di bawah 10 tahun yang termasuk teroris lintas batas itu yang akan mempertimbangkan dari sisi kemanusiaan untuk memulangkannya, khususnya yang sudah tidak ada orang tuanya.
Wacana pemerintah memulangkan ratusan orang asal Indonesia, bekas anggota Negara Islam Irak dan Syam (ISIS) ke Tanah Air sebelumnya, menuai reaksi keras di dalam negeri. Mereka dianggap bukan lagi warga negara Indonesia dan bisa berbahaya jika kembali ke Indonesia.
Sebut saja Ganjar Pranowo, Gubernur Jawa Tengah, dengan tegas menolak pemulangan WNI eks-ISIS ke Tanah Air.
Ganjar bahkan tidak takut disebut melanggar hak asasi manusia (HAM) karena penolakannya itu.
Mereka justru dianggap pelanggar HAM supersadis. Pemulangan eks-ISIS ke Indonesia justru menimbulkan kontradiksi karena yang bersangkutan sudah tidak mengaku sebagai WNI.
Begitu juga Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menolak tegas wacana pemulangan ke Tanah Air warga negara Indonesia yang pernah bergabung dengan kelompok ISIS.
Ketua Umum PBNU Prof. Dr. K.H. Said Aqil Siroj usai melakukan pertemuan dengan Menteri Luar Negeri Retno Marsudi di Gedung PBNU, Jakarta, Selasa (11/2), mengatakan bahwa WNI yang bergabung dengan kelompok radikal tersebut tidak hanya mengancam akan membunuh beberapa tokoh negara. Mereka juga mengancam Banser dalam sebuah video.
Catatan menunjukkan hampir 90 persen terduga teroris yang ditangkap di sejumlah daerah di Indonesia berbaiat kepada ISIS secara dalam jaringan.
Indonesia bukan hanya sasaran teroris untuk beraksi. Pelakunya juga berasal dari dalam negeri dan sangat sedikit dari luar. Awalnya memang mendapat pelatihan militer di luar negeri, dan tahap selanjutnya banyak dilatih di Tanah Air.
Terpidana kasus terorisme banyak yang tetap menyebarkan pahamnya di dalam penjara. Itu sebenarnya yang menjadi kekhawatiran apabila ratusan WNI eks-ISIS dan keluarganya kembali ke Indonesia. Mereka akan berbaur ke masyarakat dan dikhawatirkan akan menyebarkan paham-paham garis kerasnya.
Ratusan eks-anggota ISIS sebelumnya memang WNI yang punya kewajiban dan hak yang sama dengan 267 juta penduduk Indonesia lainnya. Kini mereka sudah berbeda. Tak cuma terang-terangan menegasikan negara ini, mereka bahkan telah menjadi bagian dari jaringan teroris internasional, musuh semua negara.
Memulangkan bekas anggota ISIS asal Indonesia sama saja membukakan pintu lebar-lebar bagi para teroris untuk menebar teror di negeri ini dari dalam.
Sebagian dari mereka mungkin masih bisa disadarkan lewat program deradikalisasi. Namun, itu tidak gampang, perlu waktu panjang dan yang pasti akan menguras energi bangsa.
Untuk itu, keputusan pemerintah yang menolak memulangkan eks-ISIS ke Indonesia menjadi keputusan yang tepat, karena keselamatan negara menjadi sangat penting dan tak dapat ditawar-tawar lagi.
Baca juga: Pegiat: Perempuan dan anak eks-ISIS harus dapat perlindungan khusus
Baca juga: Pemerintah harus arif terkait dengan bekas pengikut ISIS
Baca juga: Ansor-Banser Tidak Takut Ancaman ISIS