Seniman Madura pentaskan "Retorika Kerinduan" di Museum Lima Gunung
Magelang (ANTARA) - Seniman Rumah Seni Lalonget Madura, Kabupaten Sumenep, Jawa Timur, mengusung karya teater berjudul "Retorika Kerinduan" di panggung Museum Lima Gunung Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Kamis (11/7) malam.
Pementasan dengan sutradara A. Hamzah Fansuri Basar dan para pemain, Jufriyanto, Raudhatul Hasana, Agus Wedy, Khalilur Rahman, Dicki Pranata, Ianatus Shaleha, dan Horri Kiswantoro itu, berlangsung selama sekitar satu jam dilanjutkan diskusi dengan para penonton yang terutama kalangan pegiat panggung pertunjukan di Kabupaten dan Kota Magelang.
"Lakon ini tentang kegelisahan terhadap kampung halaman, ada kehangatan yang dulu kita dapatkan, tetapi sekarang tidak ada lagi," ujar Hamzah usai pertunjukan di pusat gerakan kebudayaan seniman petani Komunitas Lima Gunung (Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh) Kabupaten Magelang itu.
Rumah Seni Lalonget Madura menjadikan Magelang sebagai salah satu di antara tiga kota pementasan kelilingnya dengan mengusung lakon tersebut yang disiapkan sejak dua bulan lalu. Sebanyak dua kota lainnya, yakni Kota Solo pada Senin (8/7) malam dan Jepara pada Jumat (12/7) malam.
Baca juga: Museum Lima Gunung koleksi gambus bambu Slamet Gundono
Lakon yang pentaskan dengan menarik dan komunikatif diselipi dialek dan tembang khas Madura serta tabuhan bunyi-bunyian dan properti lainnya itu, bercerita tentang kerinduan terhadap tradisi "Tera Bulan" dalam masyarakat Madura ketika terjadi bulan purnama.
"Ketika bulan purnama terjadi interaksi sosial dan nilai humanisme yang begitu kental, dibumbui dengan nyanyian anak-anak, permainan tradisional, ritual memohon hujan 'ojhung', dongeng, tarian, dan sebagainya," ujar alumnus Jurusan Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa Program Pascasarjana Universitas Gajah Mada Yogyakarta pada 2012 itu.
Ia mengatakan banyak hal menyebabkan orang-orang Madura pergi menginggalkan tanah kampung halamannya dan melupakan tradisi "Tera Bulan", salah satunya motif ekonomi.
Tradisi itu, ujar dia, sekarang cenderung ditinggalkan karena tuntutan kerja dan perkembangan zaman yang menghadirkan lingkungan baru mereka, serta masifnya penggunaan gawai.
Ia menyebut praktik kehidupan sosial masyarakat Madura telah berubah dari humanis ke mekanis.
"Pada kondisi inilah kerinduan diaktifkan sebagai jembatan untuk menghubungkan keadaan 'lalu' dan 'kini'. Jembatan itu bernama pertunjukan," ucapnya.
Pada kesempatan itu, ia menyebut bahwa sebagai kelompok masyarakat, Suku Madura memiliki identitas budaya yang mereka praktikkan dalam kehidupan sehari-hari, antara lain terkait dengan bahasa, ritual, permainan tradisional, nyanyian, tarian, sastra, filsafat, dan sistem ekonomi.
Baca juga: Getaran selalu hadir di Festival Lima Gunung
Akan tetapi, katanya, perkembangan zaman telah melahirkan kerinduan yang kemudian menjadi realitas baru.
"Kerinduan menempatkan posisinya di tengah-tengah antara 'des sollen' (harapan) dan 'des sein' (kenyataan), layaknya sebuah jembatan. Pada saat yang tepat jembatan itu berubah menjadi realitas antara. Bagi seorang seniman, rindu dapat menjelma menjadi puisi, lagu, cerita, lukisan, tarian, teater dan semacamnya. Bahkan bisa sangat transenden, serupa doa. Maka karya seni dan doa adalah realitas antara, sebab ia lahir dari kerinduan," katanya.
Panggung tanah
Pada pertunjukan dengan pimpinan produksi Sayev M. Billah dan penata artistik Mas Bro Dayat itu, mereka memanfaatkan panggung di atas Monumen Lima Gunung dan panggung tanah Studio Mendut yang berdampingan. Dua panggung itu mereka sebut sebagai latar tanah kapur dan tanah logam.
"Untuk menunjukkan adanya konsepsi 'dalam' dan 'luar' Madura. Latar tanah kapur untuk pengadeganan maupun penggambaran peristiwa di 'dalam' Madura dan latar tanah logam untuk di 'luar' Madura," kata dia.
Seniman teater Magelang Tri Setyo "Gepeng" Nugroho menyebut sukses Rumah Seni Lalonget Madura "menaklukkan" panggung Museum Lima Gunung, antara lain karena secara komunikatif menghadirkan pesan-pesan dalam lakon tersebut.
"Tidak mudah menaklukkan ruang (Monumen Lima Gunung dan Studio Mendut Kabupaten Magelang, red.) ini, tetapi grup ini bisa. Secara keseluruhan kami paham maksud, visual per adegan-adegan, bahasa tubuh komunikatif, ungkapan ide gagasan yang dinamis," katanya.
Di sela pidatonya tentang politik kebudayaan sebagai bagian penting membangun eksistensial kesenian, budayawan dan pimpinan tertinggi Komunitas Lima Gunung, Sutanto Mendut, memberikan sejumlah buku tentang Komunitas Lima Gunung kepada Rumah Seni Lalonget Madura.
Baca juga: Festival Lima Gunung 2019 digarap milenial desa
Pementasan dengan sutradara A. Hamzah Fansuri Basar dan para pemain, Jufriyanto, Raudhatul Hasana, Agus Wedy, Khalilur Rahman, Dicki Pranata, Ianatus Shaleha, dan Horri Kiswantoro itu, berlangsung selama sekitar satu jam dilanjutkan diskusi dengan para penonton yang terutama kalangan pegiat panggung pertunjukan di Kabupaten dan Kota Magelang.
"Lakon ini tentang kegelisahan terhadap kampung halaman, ada kehangatan yang dulu kita dapatkan, tetapi sekarang tidak ada lagi," ujar Hamzah usai pertunjukan di pusat gerakan kebudayaan seniman petani Komunitas Lima Gunung (Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh) Kabupaten Magelang itu.
Rumah Seni Lalonget Madura menjadikan Magelang sebagai salah satu di antara tiga kota pementasan kelilingnya dengan mengusung lakon tersebut yang disiapkan sejak dua bulan lalu. Sebanyak dua kota lainnya, yakni Kota Solo pada Senin (8/7) malam dan Jepara pada Jumat (12/7) malam.
Baca juga: Museum Lima Gunung koleksi gambus bambu Slamet Gundono
Lakon yang pentaskan dengan menarik dan komunikatif diselipi dialek dan tembang khas Madura serta tabuhan bunyi-bunyian dan properti lainnya itu, bercerita tentang kerinduan terhadap tradisi "Tera Bulan" dalam masyarakat Madura ketika terjadi bulan purnama.
"Ketika bulan purnama terjadi interaksi sosial dan nilai humanisme yang begitu kental, dibumbui dengan nyanyian anak-anak, permainan tradisional, ritual memohon hujan 'ojhung', dongeng, tarian, dan sebagainya," ujar alumnus Jurusan Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa Program Pascasarjana Universitas Gajah Mada Yogyakarta pada 2012 itu.
Ia mengatakan banyak hal menyebabkan orang-orang Madura pergi menginggalkan tanah kampung halamannya dan melupakan tradisi "Tera Bulan", salah satunya motif ekonomi.
Tradisi itu, ujar dia, sekarang cenderung ditinggalkan karena tuntutan kerja dan perkembangan zaman yang menghadirkan lingkungan baru mereka, serta masifnya penggunaan gawai.
Ia menyebut praktik kehidupan sosial masyarakat Madura telah berubah dari humanis ke mekanis.
"Pada kondisi inilah kerinduan diaktifkan sebagai jembatan untuk menghubungkan keadaan 'lalu' dan 'kini'. Jembatan itu bernama pertunjukan," ucapnya.
Pada kesempatan itu, ia menyebut bahwa sebagai kelompok masyarakat, Suku Madura memiliki identitas budaya yang mereka praktikkan dalam kehidupan sehari-hari, antara lain terkait dengan bahasa, ritual, permainan tradisional, nyanyian, tarian, sastra, filsafat, dan sistem ekonomi.
Baca juga: Getaran selalu hadir di Festival Lima Gunung
Akan tetapi, katanya, perkembangan zaman telah melahirkan kerinduan yang kemudian menjadi realitas baru.
"Kerinduan menempatkan posisinya di tengah-tengah antara 'des sollen' (harapan) dan 'des sein' (kenyataan), layaknya sebuah jembatan. Pada saat yang tepat jembatan itu berubah menjadi realitas antara. Bagi seorang seniman, rindu dapat menjelma menjadi puisi, lagu, cerita, lukisan, tarian, teater dan semacamnya. Bahkan bisa sangat transenden, serupa doa. Maka karya seni dan doa adalah realitas antara, sebab ia lahir dari kerinduan," katanya.
Panggung tanah
Pada pertunjukan dengan pimpinan produksi Sayev M. Billah dan penata artistik Mas Bro Dayat itu, mereka memanfaatkan panggung di atas Monumen Lima Gunung dan panggung tanah Studio Mendut yang berdampingan. Dua panggung itu mereka sebut sebagai latar tanah kapur dan tanah logam.
"Untuk menunjukkan adanya konsepsi 'dalam' dan 'luar' Madura. Latar tanah kapur untuk pengadeganan maupun penggambaran peristiwa di 'dalam' Madura dan latar tanah logam untuk di 'luar' Madura," kata dia.
Seniman teater Magelang Tri Setyo "Gepeng" Nugroho menyebut sukses Rumah Seni Lalonget Madura "menaklukkan" panggung Museum Lima Gunung, antara lain karena secara komunikatif menghadirkan pesan-pesan dalam lakon tersebut.
"Tidak mudah menaklukkan ruang (Monumen Lima Gunung dan Studio Mendut Kabupaten Magelang, red.) ini, tetapi grup ini bisa. Secara keseluruhan kami paham maksud, visual per adegan-adegan, bahasa tubuh komunikatif, ungkapan ide gagasan yang dinamis," katanya.
Di sela pidatonya tentang politik kebudayaan sebagai bagian penting membangun eksistensial kesenian, budayawan dan pimpinan tertinggi Komunitas Lima Gunung, Sutanto Mendut, memberikan sejumlah buku tentang Komunitas Lima Gunung kepada Rumah Seni Lalonget Madura.
Baca juga: Festival Lima Gunung 2019 digarap milenial desa