Beban jalan di jalur konvensional dari waktu ke waktu makin berat karena setiap tahun penjualan mobil dan sepeda motor terus bertambah sehingga kemacetan terjadi di mana-mana.
Setiap tahun penjualan mobil mencapai satu juta unit lebih, sementara sepeda motor lebih dari enam juta unit. Tanpa ada pembangunan marga baru, jalan bakal menjadi "neraka" yang memicu beragam persoalan terutama ekonomi biaya tinggi dan tekanan psikologis bagi publik.
Kota-kota besar kini makin kewalahan menyediakan jalan untuk memfasilitasi pertambahan kendaraan bermotor. Pertambahan panjang jalan sama sekali tidak sebanding dengan pertumbuhan kendaraan bermotor.
Sementara itu, angkutan umum yang nyaman, cepat, dan menjangkau semua sudut wilayah belum bisa dipenuhi. Alhasil, masyarakat memilih kendaraan pribadi sebagai pilihan realistis. Penambahan jumlah penerbangan pesawat dan gerbong kereta api, cenderung hanya memberi pilihan bagi kelas menengah atas.
Untuk jalur lintas daerah/kota, pemandangannya tidak jauh berbeda. Jalur Pantura Jawa, yang menjadi salah satu urat nadi penting perekonomian nasional, nyaris kewalahan melayani mobilitas angkutan barang dan manusia.
Dari pagi hingga dini hari konvoi truk melintasi jalur tersebut, sementara lebar jalan dan pembangunan jalur arteri atau alternatif tidak mengalami penambahan berarti. Sedikit saja terjadi insiden atau perbaikan jalan di pantura, misalnya, bakal terjadi kemacetan panjang yang mengintimidasi pengguna jalan.
Jalur Pantura Jawa memang sangat penting karena pergerakan barang dan manusia banyak menumpuk di pulau terpadat di Indonesia ini. Keberadaan beragam industri, jasa, dan perdagangan juga terkonsentrasi di pulau ini.
Oleh karena itu, kebijakan pemerintah menuntaskan jalan Tol Trans-Jawa pada akhir 2018 patut diapresiasi. Sejak 2015 hingga 2018, pemerintah telah menyelesaikan jalan tol sepanjang 616 kilometer. Sebuah pencapaian yang belum pernah diraih rezim sebelumnya.
Dengan tersambungnya tol Trans-Jawa mulai dari Merak sampai Grati Pasuruan, Jawa Timur, jalur ini bakal menggerakkan perekonomian kawasan. Beban ekonomi biaya tinggi yang selama ini sering dikeluhkan pengusaha bisa dikurangi.
Kendati demikian, muncul kekhawatiran selesainya pembangunan Tol Trans-Jawa itu juga membawa dampak bagi usaha mikro dan kecil di jalur konvensional. Usaha mikro dan kecil, semacam warung makan, toko oleh-oleh, bengkel, hingga losmen bakal kena dampak.
Pengakuan seorang pemilik toko oleh-oleh di jalan Semarang-Kendal, Jawa Tengah, bisa menjadi bukti bahwa beroperasinya jalan tol menyebabkan omzet penjualan anjlok.
Sutiyono, pemilik toko itu, menyatakan pada arus mudik dan balik Lebaran 2018 -- ketika tol Pemalang-Semarang difungsikan -- menyebabkan omzet penjualannya terjun bebas. Penurunannya lebih dari 50 persen.
Oleh karena itu, penting kiranya Pemerintah Pusat dan pemerintah daerah menyiapkan kebijakan untuk menyelamatkan usaha mikro dan kecil yang sudah puluhan tahun menjadi penopang hidup mereka.
Konsep Transit Oriented Development (TOD) yang ditawarkan oleh Bupati Batang, Jawa Tengah, Wihaji, bisa menjadi salah satu solusi. Ide Wihaji menekankan pentingnya pintu keluar-masuk tol yang di dalamnya terdapat pusat kegiatan bisnis usaha mikro, kecil, menengah termasuk usaha kreatif serta pariwisata.
Dengan demikian, pengguna jalan tol memiliki akses mudah untuk menjangkau kawasan TOD. Di kawasan TOD itulah pelaku usaha mikro dan kecil diberi tempat berusaha.
Pengelola jalan tol memang sudah menjanjikan tempat rehat (rest area) di beberapa ruas tol. Namun, pengalaman selama ini menunjukkan daya tampungnya sangat terbatas.
Usaha skala mikro dan kecil selama ini memang menjadi penopang sekaligus katup penyelamat perekonomian nasional di tengah terbatasnya peluang kerja di sektor formal.
Jadi, sudah menjadi kewajiban pemerintah untuk memastikan bahwa kue pembangunan bisa dinikmati semua lapisan masyarakat. Jangan sampai ada gerutuan bahwa hasil pembangunan lebih banyak dinikmati kelas menengah atas, sedangkan rakyat kecil hanya sebagai penonton.
Keberadaan jalan tol harus memberi tetesan rezeki setiap warga negara hingga lapis terbawah. ***