Magelang (Antaranews Jateng) - Terpaan bencana alam di Lombok, Provinsi Nusa Tenggara Barat dan Palu, Donggala, serta Sigi di Provinsi Sulawesi Tengah selain membawa nestapa kesedihan seluruh negeri juga harus menjadi pelecut tentang pentingnya kesadaran membumikan peringatan dini atas bencana.
Tidak pernah diketahui kapan, di mana, dan bakal seperti apa wujud bencana alam. Namun kesadaran atas posisi Indonesia sebagai negeri kepulauan di sekitar garis katulistiwa, di antara pertemuan sejumlah lempeng aktif dunia, dan dengan tebaran gunung berapi aktif menjadikan kawasan itu rawan segala wujud bencana alam.
Begitu pula Provinsi Jawa Tengah dengan 35 kabupaten dan kota yang disebut Gubernur Ganjar Pranowo sebagai "supermarket" bencana alam, harus menjadikan masyarakatnya membumikan kewaspadaan atas bencana alam.
Nyaris setiap tahun dengan tak pandang musim, bencana alam hadir di Jateng. Saat pancaroba terpaan puting beliung, ketika musim kemarau terjadi krisis air bersih, kebakaran kawasan hutan dan padang ilalang di gunung-gunung, sedangkan saat musim hujan terjadi banjir, banjir bandang, tanah bergerak, dan tanah longsor.
Belum lagi erupsi Gunung Merapi yang disusul banjir lahar hujan menjadi hal yang harus diwaspadai hingga saat ini, setelah letusan dahsyat 2010 dan banjir lahar hujan hingga 2011. Kini, di kawah puncak Merapi sedang membentuk kubah lava baru. Itu juga peristiwa alam yang menunggu waktu untuk terjadinya bencana jika tidak selalu diwaspadai tanda-tandanya.
Mereka yang tinggal di daerah-daerah pantai di Jawa Tengah, terutama kawasan selatan pun, juga tak luput setiap saat dari ancaman tsunami yang menyertai gempa bumi.
Kesadaran tinggal di daerah rawan bencana bukan berarti berhenti pada sikap selalu cemas, meratap, atau merasa berada dalam ketidakpastian hidup dengan alam dan lingkungan.
Namun, kesadaran itu mesti menjadi penggerak pemerintah dan masyarakat untuk selalu berpikir dan secara cerdas bersiasat supaya memahami kehendak alam, termasuk akrab dengan lingkungan melalui penempatan perangkat teknologi serta kearifan lokal.
Segala perangkat teknologi untuk memantau keadaan alam sebagai sistem peringatan dini bencana telah ditempatkan di berbagai daerah rawan. Namun, kalau tidak dirawat dan dijaga secara baik dan berkala, hanya mubazir mampu meminimalkan jatuhnya korban ketika datang bencana.
Simulasi penanggulangan bencana alam oleh seluruh kalangan masyarakat, bahkan sejak usia anak-anak hingga lansia, harus dilakukan secara terus menerus dan menjadi kebiasaan. Simulasi penanggulangan bencana tak kalah dahsyat kehebatannya atau bahkan langkah yang wajib untuk ditempuh untuk mencegah jatuhnya korban.
Upaya pelestarian lingkungan alam selain menjadi pencegah jatuhnya korban kalau terjadi bencana, juga pencegah bencana itu sendiri. Alam dengan lingkungan yang tetap lestari juga memperkuat daya lantip masyarakat dalam membaca tanda-tanda alam.
Peristiwa alam kalau mengakibatkan jatuh korban baik material maupun jiwa maka akan menjadi bencana alam. Namun jika tidak mengakibatkan korban, akan sebagai peristiwa alam itu sendiri yang menarik untuk dikagumi dan bahkan mempertemukan spiritualitas manusia atas keberadaan di alam, mempertemukan dengan ketakjuban atas kuasa adikodrati. Jatuhnya korban karena bencana alam pun juga mempertemukan manusia kepada keilahian, namun perjumpaan itu dalam lantunan ratapan duka.
Sudah saatnya alokasi anggaran yang maksimal pemerintah untuk membumikan usaha-usaha mewaspadai bencana alam sebagai kebutuhan utama. Butuh kemauan politik yang kuat pula untuk menghadirkan anggaran besar untuk itu. Bukankah mencegah kerusakan dan jatuhnya korban lebih sukses ketimbang penanganan karena telah terjadi bencana alam.
Berbagai kegiatan pembangunan infrastruktur, sarana dan prasarana umum, serta ketaatan kepada tata ruang wilayah untuk memenuhi kemakmuran masyarakat, harus diperhitungkan dengan cermat. Jangan sampai pembangunan menjadi terasa pilu atau sia-sia karena perencanaannya mengelak dari peringatan dini bencana alam.
Alam tidak pernah meminta, ia hanya memberi. Manusialah yang selalu tak mampu menerima pemberian alam karena ngawur berdialog dengannya. Alam tidak bisa disalahkan. Ia hanya melakukan peristiwanya. Manusia diajak menerima peristiwa itu dengan berpikir dan menghayati keberadaannya. Menghayati keberadaan alam, salah satunya dengan membumikan peringatan dini bencana.
Biarlah alam menghidupi peristiwanya dan manusia yang tinggal di alam menyaksikan dengan takjub dan bahkan membuat naluri keindahan berbicara, bukan dengan nestapa karena menjadi korban, karena abai terhadap alam.