Hari pemilihan kepala daerah tiba pada Rabu Pon, 27 Juni 2018. Di Jawa Tengah, secara serentak berlangsung pemilihan untuk pasangan gubernur dan wakil gubernur serta kepala daerah di enam kabupaten dan satu kota.
Sebanyak tujuh daerah yang melangsungkan pemilihan kepala daerah itu, adalah Kabupaten Banyumas, Temanggung, Magelang, Karanganyar, Tegal, Kudus, dan Kota Tegal.
Saatnya warga yang berhak memberikan suara, mengambil keputusan menentukan pembangunan kemajuan daerah lima tahun ke depan, melalui pilihan mereka terhadap calon kepala daerah masing-masing, tentunya termasuk memilih pasangan gubernur dan wakil gubernur yang bakal memimpin Provinsi Jateng.
Segala persiapan sejak sekitar pertengahan tahun lalu, meliputi segala tahapan pilkada telah dilalui. Berbagai persiapan itu, antara lain sosialisasi kepada berbagai kalangan masyarakat, kesiapan logistik dengan distribusinya, tempat pemungutan suara, operasi pengamanan, masa kampanye dan masa tenang menjelang hari pemilihan, telah dilakukan baik oleh pihak independen penyelenggara pesta demokrasi, jajaran keamanan gabungan, pemerintah daerah, partai politik, para pasangan calon, maupun tim sukses masing-masing.
Hal-hal krusial tentu saja sudah harus diantisipasi, supaya pemungutan suara pada hari pemilihan terlaksana secara aman, lancar, tertib, dan mewujudkan pilkada yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, adil, dan bermartabat, serta membanggakan bagi perkembangan iklim demokrasi di daerah.
Warga pemilih dengan beragam latar belakang, tingkatan usia, karakter domisili sosial-geografis, dan level pemahaman masing-masing tentang demokrasi, dianggap telah mengenal dan paham dengan sebaik-baiknya terhadap para calon kepala daerah masing masing, setelah berbagai tahapan pilkada itu berlangsung berbulan-bulan selama ini.
Pada hari pemilihan, setiap pemilih berkesempatan beberapa menit di bilik suara masing-masing untuk memberikan keputusan pilihannya secara tertutup. Ketika alat coblos menembus surat suara dengan sah, saat itulah terjadi keputusan warga negara, di mana ia mempertaruhkan kesucian hak politiknya.
Yang dipilih warga memang sosok kepala daerah. Akan tetapi, di balik keputusan pencoblosannya itu, ia telah menentukan harapan masa lima tahun ke depan atas wajah kemajuan daerahnya.
Siapa pun tentu tak ingin wajah daerahnya menjadi buruk, mengalami kemunduran, atau menjadi tertinggal dengan kemajuan daerah-daerah lainnya, hanya karena kepala daerah yang terpilih, ternyata gagal atau tak mampu diandalkan mengerahkan segala daya kepemimpinan terbaik untuk memajukan pembangunan dan meningkatkan kemakmuran warganya. Nalar waras mengantarkan setiap warga ingin memilih kepala daerah secara tidak salah.
Harapan kuatnya, tentu saja warga memberikan suara pilkada berdasarkan pertimbangan yang cerdas, kedewasaan berpolitik, dan rasional. Sudah seharusnya warga memberikan suara sesuai dengan keputusan hati nurani sebagai suara kesucian. Pilihannya menjadi perwujudan mulia atas tanggung jawab politiknya sebagai warga negara yang baik. Suara yang ia berikan demi kemajuan daerah dan kemaslahatan seluruh bangsa yang kebinekaannya tetapi tetap satu, tak terbantahkan.
Kalau berbagai persiapan dan tahapan menuju hari pesta demokrasi sebagai penggiring pemilih mencapai kesadaran akan pentingnya datang ke tempat pemungutan suara, masuk bilik suara, dan memberikan suaranya, maka suara nurani setiap pemilih menggiringnya untuk memutuskan siapa calon kepala daerah yang dinilai paling tepat dipilih memimpin pembangunan daerah.
Bahkan, kalau para kandidat yang ada, dianggap semuanya buruk pun, warga harus tetap menentukan pilihan berdasarkan prinsip "minus malum". Pilihlah calon yang keburukannya lebih sedikit dari realitas bahwa semua sama-sama buruk. Alias, jangan golongan putih! Memutuskan diri golput menikam hati nurani.