Setop pelecehan seksual di sekolah
Semarang (Antaranews Jateng) - Kasus pelecehan seksual terhadap anak kembali mencoreng dunia pendidikan, terjadi di Kabupaten Cilacap dan Kota Semarang.
Dua kasus tersebut memiliki kesamaan, yakni dilakukan oleh oknum guru sebuah sekolah dasar terhadap siswanya.
Ironis, guru yang seharusnya digugu dan ditiru serta menjaga anak didiknya, malah berbuat amoral yang menghancurkan anak didiknya.
Berulangnya kasus pelecehan ini menunjukkan bahwa anak-anak sangat rentan menjadi korban pelecehan, posisinya lemah untuk melindungi dirinya dari aksi pelecehan seksual.
Terlepas dari penanganan yang sedang berjalan, tentu masalah ini harus menjadi perhatian semua pihak terutama terkait regulasi.
Regulasi harus tegas membuat hukuman yang sangat berat bagi pelaku pelecehan seksual terhadap anak, agar tidak ada yang berani lagi melakukan perbuatan amoral seperti ini.
Apalagi menurut data Komnas Perempuan di tahun 2015 ada 6.499 kasus kekerasan seksual termasuk terhadap anak-anak.
Selain regulasi, sebenarnya ada banyak hal yang perlu menjadi perhatian bersama yakni pentingnya peran orang tua dalam melakukan pengawasan terhadap anak.
Orang tua harus terus memantau anak dimana pun dan kapan pun, sebagai bentuk pengawasan terhadap anak.
Sayangnya pengawasan orang tua juga lemah yang diikuti dengan memudar interaksi di antara orang tua-anak, sehingga fungsi kontrol menjadi kendor bahkan nyaris tidak ada kontrol.
Kendornya interaksi tersebut menjadi tersumbatnya alur aliran transfer nilai-nilai agama dan sosial, sehingga anak jauh dari sifat sosial dan kemanusiaan.
Tidak hanya orang tua dan anak, tetapi stakeholder yang lain juga harus terlibat yakni pihak sekolah, lingkungan tempat tinggal, serta pemerintah agar lebih peka dan empati serta mengetahui sejak dini kemungkinan terjadinya pelecehan seksual terhadap anak.
Upaya pemerintah melakukan pelatihan deteksi dini mengenai pelecehan seksual terhadap anak harus terus menerus dilakukan tidak hanya sekadar tingkat elit, tetapi juga hingga tingkat daerah.
Dua kasus tersebut memiliki kesamaan, yakni dilakukan oleh oknum guru sebuah sekolah dasar terhadap siswanya.
Ironis, guru yang seharusnya digugu dan ditiru serta menjaga anak didiknya, malah berbuat amoral yang menghancurkan anak didiknya.
Berulangnya kasus pelecehan ini menunjukkan bahwa anak-anak sangat rentan menjadi korban pelecehan, posisinya lemah untuk melindungi dirinya dari aksi pelecehan seksual.
Terlepas dari penanganan yang sedang berjalan, tentu masalah ini harus menjadi perhatian semua pihak terutama terkait regulasi.
Regulasi harus tegas membuat hukuman yang sangat berat bagi pelaku pelecehan seksual terhadap anak, agar tidak ada yang berani lagi melakukan perbuatan amoral seperti ini.
Apalagi menurut data Komnas Perempuan di tahun 2015 ada 6.499 kasus kekerasan seksual termasuk terhadap anak-anak.
Selain regulasi, sebenarnya ada banyak hal yang perlu menjadi perhatian bersama yakni pentingnya peran orang tua dalam melakukan pengawasan terhadap anak.
Orang tua harus terus memantau anak dimana pun dan kapan pun, sebagai bentuk pengawasan terhadap anak.
Sayangnya pengawasan orang tua juga lemah yang diikuti dengan memudar interaksi di antara orang tua-anak, sehingga fungsi kontrol menjadi kendor bahkan nyaris tidak ada kontrol.
Kendornya interaksi tersebut menjadi tersumbatnya alur aliran transfer nilai-nilai agama dan sosial, sehingga anak jauh dari sifat sosial dan kemanusiaan.
Tidak hanya orang tua dan anak, tetapi stakeholder yang lain juga harus terlibat yakni pihak sekolah, lingkungan tempat tinggal, serta pemerintah agar lebih peka dan empati serta mengetahui sejak dini kemungkinan terjadinya pelecehan seksual terhadap anak.
Upaya pemerintah melakukan pelatihan deteksi dini mengenai pelecehan seksual terhadap anak harus terus menerus dilakukan tidak hanya sekadar tingkat elit, tetapi juga hingga tingkat daerah.