Jakarta (ANTARA News) - Jaksa menuntut majelis hakim menjatuhkan hukuman
lima tahun penjara ditambah denda Rp250 juta subsider tiga bulan
kurungan kepada Deputi Informasi, Hukum dan Kerja Sama Badan Keamanan
Laut (Bakamla) Eko Susilo Hadi karena menerima uang dari pengusaha Fahmi
Darmawansyah.
Menurut jaksa, Eko menerima 88.500 dolar AS (Rp1,2
miliar), 10 ribu euro (Rp141,3 juta), dan 100.000 dolar Singapura
(Rp980 juta) atau total Rp2,3 miliar dari Fahmi, Direktur PT Merial Esa
sekaligus pemilik PT Melati Technofo Indonesia.
"Agar majelis
hakim pengadilan tindak pidana korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat memutuskan terdakwa Eko Susilo Hadi telah terbukti secara sah dan
meyakinkan menurut hukum bersalah secara bersama-sama melakukan tindak
pidana korupsi sebagaimana dakwaan primer," kata Ketua Jaksa Penuntut
Umum KPK Kresno Anto Wibowo di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta,
Senin.
Eko dinilai terbukti melakukan pidana berdasarkan pasal 12 huruf B UU
No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP jo
Pasal 64 ayat 1 KUHP.
Hal yang meringankan tuntutan hukuman Eko,
menurut jaksa, antara lain karena dia mengakui kesalahan dan menyesali
perbuatannya, bersikap kooperatif selama proses persidangan dan
mengembalikan uang suap yang dia terima ke penyidik KPK, dan punya
tanggungan keluarga.
Eko telah mengembalikan uang 10 ribu dolar AS dan 10 ribu Euro ke
KPK. Sementara uang 100 ribu dolar Singapura dan 78.500 dolar AS dia
disita KPK saat operasi tangkap tangan.
Terhadap tuntutan jaksa itu, Eko akan mengajukan nota pembelaan (pledoi) pada 17 Juni 2017.
Ihwal perkara
Jaksa Kresno menjelaskan bahwa pada Oktober 2016 Arie Soedewo selaku
Kepala Bakamla menyampaikan kepada Eko mengenai adanya jatah 15 persen
dari nilai kontrak pengadaan satelit monitoring yang dimenangkan oleh PT
Melati Technofo Indonesia dan dari jatah 15 persen tersebut sebesar 7,5
persen akan diberikan kepada Bakamla.
Selanjutnya Eko memanggil
Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) yaitu Bambang Udoyo untuk memanggil PT
Melati Technofo Indonesia selaku pemenang pengadaan monitoring satelit
untuk menghadap.
Pada 9 November 2016, bagian operasional PT Merial Esa sekaligus orang
kepercayaan Fahmi diminta datang ke kantor Bakamla dan Eko menanyakan
bayaran 7,5 persen dari nilai kontrak karena PT Melati Technofo
Indonesia telah dimenangkan dalam pengadaan satelit monitoring. Pegawai
Melati Technofo M Adami Okta lalu mengatakan akan memberikan 2 persen
lebih dulu.
"Terdakwa melaporkan hasil pertemuan teresbut kepada
Ari Soedewo kemudian Ari Soedewo memberikan arahan agar membagikan
kepada Kepala Biro Perencanaan dan Organisasi Nofel Hasan dan PPK
Bambang Udoyo masing-masing sebesar Rp1 miliar sedangkan sebesar Rp2
miliar untuk terdakwa," tambah jaksa.
Pada 11 November 2016, Adami kembali bertemu dengan Eko dan
mengingatkan untuk memberikan dua persen dari total 7,5 persen. Selain
itu Eko meminta uang operasional sebesar 5000 dolar AS dan 5000 euro,
namun Adami menawarkan jumlah lebih besar yaitu 10.000 dolar AS dan
10.000 ribu euro, dan Eko menyetujuinya.
Pada 14 November, Adami datang ke kantor Bakamla untuk menyerahkan
uang sejumlah 10.000 dolar AS dan 10 .000 dolar Euro berikut kertas
catatan kecil mengenai perincian pengeluaran uang sebagai bagian 7,5
persen jatah Bakamla.
Selanjutnya pada 14-20 November 2016 saat Eko meninjau pabrik Rohde
and Schawarz di Jerman bersama Adami dan Hardy Stefanus bekerja sebagai
marketing/operasional PT Merial Esa, Eko mengingatkan bayaran untuk
Bakamla agar diserahkan sepulan dari Jerman yaitu untuk Eko Rp2 miliar
dan untuk Bambang dan Nofel masing-masing Rp1 miliar.
Uang lalu diberikan pada 14 Desember 2016 oleh Adami dan Hardy di kantor Eko.
"Pada pertemuan itu terdakwa menerima penyerahan uang dari Muhammad
Adami Okta dan Hardy Stefanus sebesar 100.000 dolar Singapura dan 78.500
dolar AS dalam amplop cokelat tidak lama, petugas KPK melakukan
penangkapan," ungkap jaksa.
Dalam perkara ini, Adami dan Hardy sudah divonis 1,5 tahun penjara
dan denda Rp100 juta subsider enam bulan kurungan sedangkan Fahmi
divonis dua tahun dan delapan bulan penjara ditambah denda Rp150 juta
subsider tiga kurungan.