Harga terus meninggi. Bahkan kenaikan harga daging sapi di DKI Jakarta malah memicu aksi mogok para pedagang.
Harga daging sapi di DKI Jakarta dan sekitarnya menembus Rp130.000-Rp150.000/kg, jauh di atas harga sebelumnya Rp100.000-Rp110.000/kg. Belum reda gejolak melonjaknya harga daging sapi, harga daging ayam serta telur juga kian melambung.
Harga daging ayam potong saat ini menembus Rp38.000/kg, jauh di atas harga sebelumnya Rp33.000. Harga telur ayam buras juga melenting hingga Rp21.000/kg, padahal sebelumnya dalam kisaran Rp18.000/kg.
Harga cabai rawit merah malah bikin pusing ibu rumah tangga dan pedagang makanan. Sayuran berasa pedas ini sekarang menembus Rp80.000 padahal sebelumnya masih bisa dibeli dengan harga Rp40.000/kg.
Harga sembako juga naik. Cobalah ke pasar-pasar. Nyaris tidak ada satu komoditas pun yang steril dari kenaikan harga. Gula pasir curah sekarang Rp12.500, minyak goreng Rp20.000/liter, beras mutu sedang Rp10.000/kg, dan masih banyak lagi.
Kekeringan yang berimbas menurunnya produksi dituding sebagai biang melambungnya harga sembako. Alasan ini sebagian mungkin benar, namun selebihnya perlu dipertanyakan. Pemerintah jauh hari seharusnya bisa mengantisipasi dampak kekeringan tahun ini dengan menambah stok sembako sehingga tidak memicu kenaikan harga.
Memang ada kemungkinan kartel yang bermain, misalnya, dengan menahan keluarnya barang dari gudang. Namun, Bulog sebagai salah satu penyangga pangan nasional, seharusnya bisa menambah pasokan di pasar sehingga tidak sampai terjadi lonjakan harga.
Kejadian lonjakan harga secara tiba-tiba sudah sering terjadi, tapi sebanyak itu pula kita terlambat mengantisipasinya. Yang menanggung beban dari keterlambatan tersebut pasti rakyat banyak.
Penggantian sejumlah menteri oleh Presiden beberapa hari lalu kita harapkan bisa memperbaiki kinerja pemerintah secara keseluruhan, terutama mampu mengatasi masalah krusial dalam jangka pendek. Kalau memang dipandang perlu mengimpor sejumlah komoditas, demi menciptakan harga yang terjangkau oleh rakyat banyak, itulah yang harus ditempuh pemerintah. Kendati demikian, harus dibarengi dengan menyusun kebijakan swasembada komoditas strategis dalam jangka menengah panjang.
Berulang-ulang disampaikan bahwa negeri ini akan swasembada sapi, jagung, kedelai, bawang putih, misalnya, namun menguap begitu saja. Bahkan, sebagai negeri agraris, negeri ini masih sering mengimpor beras.
Impor komoditas stretegis bukan sesuatu yang haram ketika stok domestik memang mengalami kekurangan. Meski demikian, negeri dengan luas daratan yang begitu luas, harus memiliki cetak biru swasembada pangan yang disusun secara realistis yang diuwujudkan dengan mengalokasikan anggaran yang memadai.
Di tengah kenaikan harga kebutuhan pokok, ancaman depresisasi rupiah terhadap dolar AS juga kian serius. Hari ini nilai tukar rupiah terhadap dolar AS mencapai Rp13.800. Ketika banyak komponen dan bahan baku harus diimpor, pengusaha dipaksa merogoh rupiah lebih dalam untuk belanja impor.
Jika produk mereka hanya dipasarkan di dalam negeri, pilihan pengusaha adalah menaikkan harga. Akhirnya, rakyat pula yang menanggung kenaikan harga tersebut.
Kita percaya Presiden Joko Widodo bakal menempuh langkah-langkah yang meringankan beban rakyat. Kita juga berharap tidak ada lagi kelompok yang ingin mengeruk keuntungan dengan mencegah munculnya kebijakan-kebijakan yang bersifat populis.
Apa pun yang dilakukan pemerintah seharusnya memang hanya mengabdi satu pihak: rakyat banyak. ***