Untuk membuat alat musik gesek yang berkualitas dari bahan bambu, memang tidak mudah karena dibutuhkan bahan bambu khusus dan persiapan yang relatif cukup lama serta ketelitian.
"Proses pembuatan biola dengan bahan bambu memang membutuhkan waktu yang cukup lama," kata pengrajin biola asal Desa Japan, Kecamatan Dawe, Kudus, Ngatmin, di Kudus, Minggu.
Ia mengakui inspirasi awal hingga tercetus untuk membuat biola dari bahan bambu berawal dari tetangganya yang gemar bermain seruling dari bahan bambu.
Setelah berpikir lama dan menghubungkan alat musik lainnya yang juga menggunakan bahan bambu, seperti alat musik angklung, akhirnya bertekad mencoba membuat biola dari bahan bambu.
Apalagi, lanjut dia, bahan bambu relatif cukup mudah didapat serta harga bahan baku tersebut juga cukup murah karena sebatang bambu hanya sekitar Rp25 ribu.
Ide awal membuat biola dari bahan bambu, kata dia, tercetus pada awal tahun 2013.
Dalam memproduksi biola dari bahan bambu, menurut Ngatmin, memang butuh waktu yang lebih lama daripada membuat biola dari bahan kayu.
"Dalam sebulan bisa membuat 10 biola dari bahan kayu, sedangkan membuat satu biola dari bahan bambu justru butuh waktu hingga 1,5 bulan," ujarnya.
Proses awal dalam mempersiapkan bahan bambu, lanjut dia, butuh waktu relatif lama. Setelah mendapatkan bambu jenis bambu wulung, masih dilakukan proses perendaman menggunakan bahan kimia agar bambu lebih tahan lama selama dua pekan.
Selanjutnya, dilanjutkan proses pengeringan dengan sinar matahari dalam waktu lebih dari sepekan agar benar-benar kering.
"Sebatang bambu yang dipakai untuk bahan pembuat biola hanya bagian tengah atau yang memiliki ruas yang lebih panjang serta lebih tebal batangnya," ujarnya.
Waktu yang lama juga dibutuhkan saat proses penyambungan hingga membentuk papan sebelum dibentuk menjadi biola.
Hasil kerja kerasnya membuat biola dari bahan bambu yang mudah didapat di desanya itu berhasil mengantarkan dirinya untuk mendampingi Bupati Kudus Musthofa hadir pada acara "Economic Challenges" yang disiarkan oleh salah satu stasiun televisi swasta di Tanah Air.
Ngatmin yang hanya lulusan sekolah dasar (SD) itu pun bisa tampil dengan biola dari bambu serta mendapat kesempatan memainkan alat musik gesek tersebut selama beberapa menit.
Biola dari bambu tersebut, tidak perlu dibawa pulang ke Kudus karena laku terjual dengan harga sekitar Rp3 jutaan.
Sejak memiliki ide membuat biola dari bahan bambu yang mudah didapat di daerah tempat tinggalnya itu, Ngatmin sudah memproduksi 10 buah biola.
"Dari sisi kualitas suara yang dihasilkan, biola dari bahan bambu memang masih kalah dengan biola dari kayu. Akan tetapi, biola dari bambu memiliki keunikan tersendiri," ujarnya.
Meskipun dari bahan bambu, kata dia, biola hasil ciptaannya itu juga dilengkapi dengan ukiran seperti ular naga serta ukiran lain yang bisa dipesan oleh pembelinya.
Sempat Gagal
Keahlian membuat biola yang dimiliki Ngatmin berawal dari ajakan tetangga pada tahun 2009 yang kebetulan hobi musik dan mengampu ekstrakurikuler di kampus Institut Pertanian Bogor (IPB).
Padahal, Ngatmin sejak 1994 sudah menekuni kerajinan ukir dan mebel di Jepara yang diyakini penghasilannya sudah relatif cukup untuk menghidupi keluarganya.
"Karena ingin melakukan sesuatu yang berbeda, saya bersedia menerima tawaran membuat biola untuk memudahkan mahasiswa baru IPB dalam mendapatkan biola dengan harga terjangkau meskipun saya juga belum bisa memainkannya," ujar Ngatmin.
Dalam membuat biola tersebut, kata dia, memang tidak mudah karena selama setahun belum berhasil membuat alat musik gesek yang suaranya enak didengar dan sesuai dengan standar di pasaran.
Setelah melakukan serangkaian uji coba dengan berbagai bahan kayu, kata dia, akhirnya membuahkan hasil.
"Agar kualitasnya sesuai dengan biola impor, kayu yang seharusnya digunakan meliputi kayu cyprus, mapel, dan eboni yang hidup di empat musim," ujarnya.
Karena mendapatkan kayu yang hidup di empat musim mengalami kesulitan, akhirnya dia mencoba kayu agatis yang diperoleh dari IPB, kemudian dilakukan uji coba dengan menggunakan mangga bacan dan hasilnya memang tidak berbeda jauh dengan produk impor.
Untuk mendapatkan kayu jenis agatis, katanya, cukup sulit sehingga lebih banyak menggunakan kayu mangga bacan.
Setelah merasa mahir membuat biola serta bisa memainkan alat musik gesek tersebut, dia memberanikan diri pulang ke Kudus untuk berkumpul dengan anak dan istrinya pada tahun 2012, kemudian meneruskan usahanya itu di Kudus.
Mulai dikenal masyarakat, lanjut Ngatmin, saat dirinya ikut pameran UMKM di Desa Hadiwarno, kemudian Pemkab Kudus turut membantu pemasarannya dengan mengikutsertakan dirinya dalam setiap event pameran.
"Kini, secara bertahap sudah memiliki pelanggan, termasuk adanya kerja sama dengan sejumlah sekolah di Kudus serta di Semarang yang memiliki kegiatan ekstrakurikuler di bidang musik," ujarnya.
Bahkan, lanjut dia, Pemkab Kudus juga berencana mendorong diadakannya ekstrakurikuler biola di sekolah di Kudus.
Untuk mengembangkan usahanya, Ngatmin mengakui butuh tambahan modal, terutama dalam hal penyediaan alat untuk proses pembuatan biola.
Biola yang dihasilkannya, lanjut dia, dijual antara Rp2 juta dan Rp3 juta untuk setiap unitnya sesuai dengan ukuran.
Harga jual tersebut sudah termasuk tempat penyimpan alat musik biola tersebut yang bermotif batik khas Kudus.