Diam-diam, para sahabatnya di Komunitas Lima Gunung (Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh) Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, malam itu membikin perayaan sederhana untuk hari ulang tahun dia.

Kedatangan bersama istrinya yang orang Jepang, Mami Kato, dan satu di antara tiga anaknya, Shuko Sastro Gendhing, ke Padepokan Wargo Budoyo Gejayan, Desa Banyusidi, Kecamatan Pakis, di kawasan barat Gunung Merbabu malam itu, sama sekali tak diketahui Tanto bahwa agenda sesungguhnya untuk perayaan ulang tahun.

Ihwal yang diketahui adalah memenuhi undangan pemimpin padepokan, Riyadi, untuk melihat latihan perdana karya tarian baru yang dibuat kawan-kawan generasi muda komunitas dan juga berembuk tentang desain makam cikal bakal dusun setempat.

Tanto yang menyadari bukan penari tapi pemikir kebudayaan dalam perspektif multidimensi, terkesan penuh gereget saat memberikan berbagai masukan tentang gerak tarian baru belum bernama yang dalam latihan itu diiringi tabuhan gamelan secara "live" oleh anggota padepokan.

Seperti biasa, kawan-kawannya di komunitas dengan gojek merespons Tanto yang juga pengajar program pascasarjana Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta itu, kalau sedang bicara sebagai "ndelewer-ndelewer" yang maksudnya, antara lain materi berbicara selalu olahan atas bermacam fakta, opini, dan fenomena, ucapan kalimat tidak runtut atau terkesan meloncat-loncat dari satu hal ke ihwal yang lain, sarat kritik terutama terhadap penguasa, namun selalu membela desa.

Gaya berbicara Tanto itu, mungkin sulit dimengerti orang kebanyakan, akan tetapi sudah menjadi mudah dipahami oleh komunitasnya yang sejak 2002 hingga saat ini, secara mandiri menggelar ajang tahunan, Festival Lima Gunung.

Riyadi pun dengan nada sopan, menghentikan gereget Tanto berbicara soal karya tarian baru. Sejumlah penabuh gamelan beranjak dari tempat bersila, lalu pergi ke dapur rumah itu. Tak berapa lama, mereka membawa beberapa baki, antara lain berisi tumpeng nasi kuning, ingkung ayam kampung, sayuran belut, kering tempe, dan urap, lalu diletakkan di atas karpet yang sudah tergelar.

Mami Kato dan Tanto Mendut, masing-masing bergantian memotong tumpeng untuk kemudian saling mereka berikan. Tepuk tangan memenuhi ruang tamu rumah berlantai tanah milik Riyadi yang juga mantan Kepala Desa Banyusidi itu.

Seorang remaja korban banjir lahar Gunung Merapi pada 2011 dari Desa Sirahan, Kecamatan Salam, Atika (16), membacakan puisinya bertajuk "Elang Jawa". Isinya puja-puji, kasih sayang, dan ungkapan terima kasihnya terhadap Tanto yang telah menjadi bapak angkat dan membiayai sekolahnya saat ini di salah satu SMA di Kota Mungkid, Ibu Kota Kabupaten Magelang.

"'Beliau tahu aku rindu siapa. Selamat ulang tahun bapakku. Rajawaliku... Elang Jawaku. Menjadi anakmu tidaklah mudah. Namun bahagia dengan caraku. Itu sederhana. Sehat selalu bapakku, itu inginku. Dan sungkem ini tanda hormatku'," demikian beberapa bait puisi itu.

Sejak kecil, Atika ditinggal bapak kandungnya, sedangkan ibunya yang tinggal di desanya, di tepi alur Kali Putih yang aliran airnya berhulu di Gunung Merapi, saat ini menjadi pekerja di rumah pembuatan camilan, oleh-oleh daerah setempat.

Tanto Mendut terlihat dengan saksama menyimak kalimat demi kalimat puisi itu, dan kemudian membenarkan bahwa remaja itu sebagai anak angkat yang menyimpan talenta berharga untuk masa depannya.

"Terima kasih puisimu Atika, tapi aku bukan rajawali, aku hanya 'manuk emprit' (burung pipit, red.)," katanya disambut tertawa hadirin.

Ihwal itu dikatakan Tanto sebagai sambungan atas pidato sebelumnya, bahwa saat ini dia memahami keharusannya untuk berlatih menjadi diri yang tidak penting secara sosial.

Nama Tanto Mendut telah dikenal luas dengan jejaringnya, khususnya kalangan seniman dan budayawan baik lokal, nasional, maupun internasional karena kedekatannya dengan komunitas desa dan gunung. Itulah yang kemudian melahirkan Komunitas Lima Gunung sekitar 15 tahun lalu dengan ikon kemandirian Festival Lima Gunung hingga saat ini.

"Saya harus terus melatih diri, melihat diri sendiri itu untuk menjadi tidak penting secara sosial karena saya khawatir, kalau berlebihan, tidak hati-hati, saya menjadi banyak kegiatan yang saya pamerkan, termasuk di 'facebook'," katanya.

Ia kemudian bertutur tentang analisa sejarah perjalanan kemanusiaan nenek moyang bangsa yang kemudian melahirkan Candi Borobudur, ikon Indonesia dan tentunya Magelang.

"Saya kemarin melakukan perjalanan ke Candi Dieng, melewati perkebunan teh Tambi, melewati Ngadirejo Temanggung yang ada Candi Pringapus, melewati kawasan kaki Gunung Sindoro, kemudian ke Gunung Prahu, sampai Sukorejo Kendal, kemudian ke Sumowono Semarang. Banyak candi-candi. Lalu saya merenung, Borobudur itu 'gawean' (buatan, red.) manusia, maka yang penting itu Borobudurnya atau yang di luar Borobudur," katanya.

Ia memastikan bahwa Candi Borobudur terjadi karena manusia sebelumnya bertekun dalam pergulatan menjalani kehidupannya.

Kecenderungan umum, katanya, seakan mencontohkan hal lainnya, seperti tentang wisuda sarjana, Pancasila, persoalan Mahkamah Konstitusi, presiden, wali kota, dan gubernur, serta pemilu. Juga tentang perspektif budaya Tanto atas berbagai bencana alam, seperti banjir, tanah longsor, letusan gunung yang melanda berbagai daerah di Tanah Air saat ini.

"Hal-hal yang superioritas itu, yang ikon, yang merek, yang kaya, yang terlihat mata dan terdengar telinga, yang hebat, yang sukses, yang terkenal. Pokoknya itu menjadi penting," katanya.

Begitu juga dengan Festival Lima Gunung yang menjadi ikon Komunitas Lima Gunung dan menjadi daya pikat masyarakat hingga luar negeri.

"Yang penting itu festival yang setiap tahun berlangsung beberapa hari atau orang-orang desa yang macul, menjalani kehidupannya dari 1 Januari hingga 31 Desember. Mereka adalah kolektor kebahagiaan, tapi juga kolektor problem-problem banyak orang, termasuk susahnya diri sendiri," katanya.

Perayaan ulang tahunnya yang dirancang diam-diam dan sederhana oleh Komunitas Lima Gunung malam itu, menjadi momentum Tanto Mendut mengajak siapa saja untuk menghargai apa yang ada dan terjadi di balik yang tampak sebagai ikon dan kehebatan lainnya itu.

Seakan bernada protes, Tanto pun tak mau perayaan hari ulang tahun ke-60 dikemas dengan rekayasa undangan agar dia hadir untuk membicarakan rencana pembuatan kuburan.

"Aku ulang tahun e, kon nggawe (disuruh membuat, red.) desain kuburan. Ndongakke (mendoakan, red.) aku mati ngono po? Kalimatnya itu tidak kreatif. Tapi saya hargai, itu tanda cinta kawan-kawan. Cinta yang gagal membikin SMS (layanan pesan singkat). Tapi punya perhatian seperti ini, saya kira itu saling perhatian di antara kita yang sudah lama," katanya disambut tertawa mereka yang hadir malam itu.

Pada usia 60 tahun itu pun, Tanto meminta izin kawan-kawan Komunitas Lima Gunung untuk mengubah gaya hidup, melatih diri sendiri untuk menjadi tidak penting.

"Demi raga, spirit, dan pikiran saya," kata Tanto Mendut mengutip pandangan tentang manusia dari budayawan yang juga sahabatnya, Bre Redana.

Pewarta : M Hari Atmoko
Editor : M Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2024