"Jumlah penyimpangan anggaran di Kabupaten Kendal mencapai Rp204 miliar dengan 94 kasus," katanya saat merilis catatan akhir tahun 2013 di Semarang, Minggu.
Berdasarkan data yang diperoleh dari FITRA Jateng, urutan kedua daerah yang terbanyak melakukan penyimpangan anggaran adalah Kota Pekalongan sebesar Rp60,9 miliar dengan 84 kasus dan urutan ketiga adalah Kabupaten Boyolali dengan 81 kasus serta penyimpangan senilai Rp36,7 miliar.
Urutan selanjutnya terkait penyimpangan anggaran adalah Kabupaten Sragen Rp31,9 miliar dengan 100 kasus, Kabupaten Kudus Rp27,4 miliar dengan 86 kasus, Kota Salatiga Rp24,6 miliar dengan 94 kasus.
Kemudian, Kabupaten Klaten Rp23,8 miliar dengan 107 kasus, Kabupaten Pemalang Rp23,8 miliar dengan 120 kasus, Kabupaten Grobogan Rp22,4 miliar dengan 100 kasus, dan Kabupaten Magelang Rp22,1 miliar dengan 117 kasus.
"Secara keseluruhan, dari hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan semester pertama 2013 di Jateng ditemukan penyimpangan anggaran sebesar Rp800,6 miliar dengan 4.070 kasus penyimpangan anggaran," ujarnya didampingi Koordinator FITRA Jateng Mayadina.
Temuan penyimpangan anggaran di level provinsi, kata dia, sebesar Rp49,3 miliar dengan 382 kasus, sedangkan pada level kabupaten/kota ditemukan penyimpangan anggaran sebesar Rp751,2 miliar dengan 3.688 kasus.
Menurut dia, banyaknya penyimpangan anggaran tersebut karena tidak ditindaklanjuti oleh aparat penegak hukum dan pemerintah daerah di semua tingkatan serta tidak ada niat untuk menindaklanjuti temuan hasil auditor negara sehingga kasusnya semakin bertambah tiap tahun.
"Dari data-data yang ada, terdapat 11 kabupaten/kota di Jateng yang belum mempertanggungjawabkan dana hibah sebesar Rp123,1 miliar dan dana bantuan sosial sebesar Rp30,2 miliar di tujuh kabupaten/kota," katanya.
Ia menjelaskan, 35 kabupaten/kota di Jateng pada 2013 mendapat alokasi dana hibah sebesar Rp1,3 triliun dan dana bansos sebesar Rp319,8 miliar.
Uchok menilai bahwa potensi kebocoran dana hibah dari Pemprov Jateng akan terus meningkat tiap tahun, terutama menjelang pelaksanaan Pemilihan Umum 2014.
"Hal itu menunjukkan semakin lemahnya kontrok dan pengendalian satuan kerja perangkat daerah, bahkan berdasarkan data penyaluran ada dana hibah yang disalurkan dua kali untuk satu penerima," ujarnya.
Dengan tidak adanya laporan pertanggungjawaban penerima dana hibah, katanya, akan memberikan peluang kepada oknum tertentu untuk menyalahgunakan dana hibah yang seharusnya dimanfaatkan masyarakat luas.
Terkait dengan kondisi tersebut, FITRA Jateng meminta pemerintah memperbaiki dan memperketat sistem pengendalian internal di masing-masing SKPD, pelaksanaan anggaran harus sesuai tata perundangan yang berlaku, revitalisasi distribusi dana hibah agar lebih tepat sasaran serta akuntabel, dan membuka akses informasi anggaran kepada publik agar masyarakat dapat ikut serta melakukan pengawasan.