"Jadi, saya mendorong pelarangan rangkap jabatan untuk para ketua parpol di kabinet dinormakan dalam RUU tentang Perubahan UU Nomor Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD-3)," katanya ketika dihubungi dari Semarang, Minggu .

Sebelumnya, peneliti senior Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Prof. R. Siti Zuhro, M.A., Ph.D. menegaskan bahwa rangkap jabatan sudah saatnya diakhiri dengan memasukkan ketentuan itu dalam peraturan perundang-undangan agar tidak ada lagi pelanggaran.

Namun, kata Eva K. Sundari, untuk level demokrasi Indonesia yang masih transisi bisa menjadi alasan pembenaran perangkapan jabatan. Akan tetapi, pada saat yang sama, justru karena transisi maka perlu para pemimpin memberikan teladan dan meletakkan fondasi bagi implementasi "good governance".

"Bagaimanapun konflik kepentingan harus dihindarkan karena bisa menjadi sumber kecurangan," kata Eva yang juga anggota Komisi III (Bidang Hukum) DPR RI.

"Situasi makin runyam," kata Eva, "karena jabatan-jabatan kementerian kan mempunyai akses terhadap sumber daya yang bisa digunakan untuk kepentingan partai."
Calon tetap anggota DPR RI periode 2014--2019 dari Daerah Jawa Timur VI itu mengatakan bahwa hal tersebut tidak dapat dicegah oleh DPR yang seharusnya berfungsi pengawas.

Tak pelak, kata Eva, pada level masyarakat masih koruptif, rangkap jabatan rawan korupsi, dan menyebabkan sumber daya tidak efektif dialokasikan.

"Masuk tahun pemilu, kita tengarai belanja sosial melonjak tajam di semua kementerian karena konspirasi kementerian/lembaga (K/L) dan DPR meski BAKN, PPATK, KPK, dan LSM-LSM sudah meminta setop bansos karena tidak akuntabel," ucapnya.

Faktanya, lanjut Eva, menteri dan anggota DPR sama-sama memanfaatkan bansos tersebut. Ini tentu menekan APBN, defisit melonjak, dan penggunaan keuangan tidak akuntabel.

Pewarta : Kliwon
Editor : D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2024