Langgam sinom, barangkali memang sudah menyebut siapa sasaran syair-syair yang kaya petuah itu. Sasarannya, yakni generasi muda agar kelak berpribadi baik dan matang saat menginjak dewasa.

"'Pra taruna kang waspada. Mekaring zaman samangkin. Tumanjaning pasrawungan. Empane kang ngati-ati. Yen nganti kurang titi. Temah bisa kabalusuk. Wit pengaruh lingkungan. Kang kulina minum air. Prayoganing ojo cedhak kebo gupak'," begitu syair lagu Jawa yang ditembangkan Sarindi ketika memulai Festival Seni Tradisi Anak Merapi 2013.

Ia pun kemudian mengartikan syair tembang itu yang kira-kira bahwa kaum muda harus selalu waspada terhadap perkembangan dan kemajuan zaman.

Mereka, kata Sarindi yang ketika itu mengenakan pakaian ala petani Merapi, harus bergaul secara sehat dan hati-hati agar tidak terjerumus kepada tindakan dan sikap yang buruk. Anak muda juga harus bisa mencari kawan yang berpribadi baik dan selalu menghindari berbagai perbuatan tercela.

Lantunan tembang itu seakan menyusup deras dan tertanam dalam benak anak-anak yang mengikuti festival seni tradisi tersebut di Dusun Gumuk, Desa Sumber, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, dengan prakarsa Komunitas Tlatah Bocah Kabupaten Magelang, pimpinan Gunawan Julianto.

Uluran doa untuk kelancaran pergelaran yang diikuti 22 grup kesenian berasal dari berbagai dusun di kawasan Merapi maupun beberapa kelompok lainnya dari luar Magelang, termasuk seniman luar negeri itu pun, dilakukan dalam wujud lantunan tembang Jawa.

Sarindi menembangkan langgam pangkur untuk mendaraskan doa itu.

"'Sumuju nelungken jangga. Ngretepa sih rumengkah ing Sang Hyang Widi. Risang rumeksa mo agung. Mbabar berkah mring pra putra. Mugi tansah sadaya manggih rahayu. Wit purwa madya wasana. Rahajeng widada Amin'," begitu syair tembang Jawa itu yang kira-kira maksudnya sebagai doa agar festival seni dan tradisi untuk anak-anak itu penuh berkah, bermanfaat, dan berjalan lancar.

Puluhan anak-anak, baik putra maupun putri Dusun Gumuk, sebagai tuan rumah pergelaran selama dua hari itu (6--7 Juli 2013) memulai pementasan melalui suguhan tarian reog berpadu dengan jaran kepang.

Arena pementasan yang berupa halaman rumah warga setempat dihias dengan berbagai bahan alam, seperti kelaras, jerami, anyaman bambu, dan perabot rumah tangga, antara lain alu dan lumpang terbuat dari batu.

Tabuhan gamelan bertalu-talu mengiring berbagai pementasan yang disaksikan ratusan warga, terutama dari dusun-dusun sekitar lokasi festival tersebut, sedangkan pagi harinya, masyarakat setempat juga melakukan tradisi ziarah kubur menjelang Ramadan yang disebut sebagai "Nyadran".

Penggagas festival yang juga Koordinator Komunitas Tlatah Bocah Magelang Gunawan Julianto yang menandai mulainya pergelaran itu dengan pemukulan gong mengemukakan agenda budaya itu tidak lepas dari misi penanaman nilai-nilai lokal, terutama semangat gotong royong kepada anak-anak.

Berbagai kesenian tradisional yang dipentaskan, antara lain reog (Dusun Gumuk), dayak grasak (Dusun Sumber), topeng ireng (Dusun Berut), pangkur sagu tumbelo dan yosimpacar (Komunitas Amor, Timika, Papua), jaran debog (Dusun Bebengan), santri mudho (Dusun Suko).

Selain itu, tarian ande-ande lumut (Dusun Tutup Ngisor), teater dimensi dunia anak (Sapu Performance Art, Kota Salatiga), tari gambir anom gaya Surakarta oleh Kaori Okado (Nagoya, Jepang), soreng (Dusun Ngargotontro), padat karya oleh grup Jaka Tarub (Dusun Klakah, Kabupaten Boyolali), jaranan oleh grup Gagak Rimang (Dusun Tarukan, Kabupaten Temanggung), sawunggaling winisuda (Universitas Airlangga Surabaya), tapa aran (Dusun Sambak), dan tarian remaja muda (Dusun Sengi).

Selain itu, tarian satria kawedar (Dusun Bandongan), merapi kawedar (Dusun Gowok Pos), gelap ngampar grup Bangun Jiwo (Dusun Gejiwan), dan tabuhan musik perkusi Qaryah Thayyibah (Desa Kalibening, Kota Salatiga).

Kepala Desa Sumber Maryono mengapresiasi penyelenggaraan festival seni tradisi dengan sasaran secara khusus kalangan anak tersebut.

"Banyak manfaat bisa dipetik dari festival ini. Anak-anak berani tampil di depan umum melalui pementasan keseniannya. Anak tentu bangga dan orang tua juga bangga," katanya.

Ia mengatakan bahwa anak sebagai aset bangsa selain harus mendapatkan pendidikan berupa berbagai pelajaran di sekolah, juga melalui kesenian tradisionalnya.

"Pendidikan bukan hanya menyangkut pelajaran di sekolah, melainkan juga melalui kesenian yang hidup di lingkungannya. Merekalah nantinya yang akan terus melestarikan kesenian dan nilai-nilai kehidupan masyarakat," katanya.

Gunawan mengemukakan bahwa dunia kesenian memiliki peranan penting sebagai sarana menanamkan nilai-nilai budi pekerti dan pembentukan karakter anak-anak.

Nilai-nilai hidup bersama, seperti gotong royong dan semangat kekeluargaan, katanya, masih tetap lestari dalam kehidupan sehari-hari masyarakat kawasan Gunung Merapi.

Berbagai pesan tentang nilai hidup bisa disampaikan kepada anak-anak melalui jalan kesenian.

"Itu adalah bagian dari kekayaan budaya masyarakat Merapi yang patut diwariskan kepada anak-anak sebagai bekal mendasari kehidupan mereka ketika dewasa kelak," katanya.

Dunia kesenian tradisional yang dijangkau anak-anak kawasan Gunung Merapi melalui festival tahunan itu, merengkuh mereka untuk belajar nilai-nilai budi pekerti.

Pewarta : M Hari Atmoko
Editor : Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2025