Kesadaran bersama itu, mereka tuangkan dalam tema agenda budaya tahunannya, Festival Lima Gunung XII pada 2013, yakni "Mulat Kahanan Sungsang" yang kira-kira artinya merefleksikan keadaan dalam berbagai sendi kehidupan yang tidak normal tersebut.

Festival secara mandiri mereka, berlangsung selama tiga hari terakhir dengan puncaknya pada Minggu (30/6) di kawasan Gunung Andong, Dusun Mantran Wetan, Desa Girirejo, Kecamatan Ngablak, Kabupaten Magelang. Seniman petani Komunitas Lima Gunung meliputi berbagai kelompok kesenian tradisional dan kontemporer desa di kawasan Gunung Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh.

Ribuan orang berasal dari berbagai desa di Kabupaten Magelang yang dikelilingi lima gunung itu, beberapa kota besar, dan sejumlah lainnya dari luar negeri hadir menyaksikan puncak hari festival dengan panggung utamanya terdiri atas tiga "level", berinstalasi bahan-bahan alami, dan berlatar belakang puncak Gunung Andong, yang mereka namai "Panggung Sungsang".

Mereka yang hadir di dusun dengan sekitar 550 jiwa atau 142 kepala keluarga yang hampir semua petani sayuran tersebut, antara lain masyarakat biasa, kalangan seniman, budayawan, pemerhati sosial, akademisi, dan pegiat lembaga swadaya masyarakat.

Di antara mereka, antara lain pemimpin Padepokan Lemah Putih Karanganyar Suprapto Suryodarmo, budayawan Yogyakarta Romo G. Budi Subanar, pengajar Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta Joko Aswoyo, inspirator gerakan kebudayaan Komunitas Lima Gunung Sutanto Mendut, pekerja film dan pengamat budaya Mualim M. Sukethi, pengajar Institut Kesenian Jakarta Johann Mardjono, dan Camat Ngablak Daryoko Umar Singgih.

Berbagai kelompok seniman petani Komunitas Lima Gunung memulai pementasan pada puncak hari festival dengan arak-arakan melewati jalan-jalan kampung setempat di tenggara Gunung Andong. Mereka yang mengenakan kostum kesenian tradisional itu, menjalani prosesi dengan menabuh alat-alat keseniannya.

Empat seniman petani dalam prosesi itu berjalan paling depan dengan mengusung tandu berbentuk properti kursi ukuran raksasa, terbuat dari bambu dengan dibalut jerami yang rupanya oleh Romo Banar ditangkap maknanya sebagai kekuasaan yang tanpa pemangku. Properti itu kemudian diletakkan di salah satu tepi "Panggung Sungsang".

Agaknya pesan simbolis terkait dengan tema festival itu juga terkuak dalam yel-yel berbahasa Jawa pelengkap iringan alat musik kontemporer dusun yang disajikan seniman petani Sanggar Saujana Keron, Desa Krogowanan pimpinan Saujana.

Mereka sajikan tarian Solah Sungsang yang meliputi paduan gerak tiga tari karya kontemporer, masing-masing Topeng Saujana, Kukilo Gunung, dan Jingkrak Sundang. Mereka mengingatkan bahwa semua makhluk hidup butuh makanan secukupnya sehingga tidak boleh ada yang ingin mematikan.

"'Lang walang renea kowe tak tendhang. Tak tendhang merga aku pengin madhang. Sumelang, sumelang merga aku pengin madhang (Belalang kau ke sini aku tendang. Kutendang karena aku ingin makan. Khawatir karena aku ingin makan, red.)'," demikian yel-yel mereka yang kira-kira maksudnya belalang sebagai sesama makhluk hidup harus dibasmi karena dianggap merusak tanaman dan bisa mengurangi jatah pangan manusia.

Seniman Sanggar Wonoseni Dusun Wonolelo, Desa Bandungan pimpinan Pangadi menyuguhkan tarian kontemporer Joget Bosah-Baseh yang merupakan paduan gerak beberapa tarian, seperti Grasak, Topeng Ireng, dan Warok Bocah, serta performa gerak "Manusia Uang".

"Keadaan sedang rusak segala-galanya, kekacauan penyelenggaraan negara berakibat buruk bagi rakyat jelata. Hampir semua bidang dikorupsi. Keadaan menjadi susah, harga bahan bakar minyak naik, harga sembako membuat masyarakat menjerit, pemimpin hadir laksana Sinterklas namun ternyata tidak banyak menolong kesulitan warga, dan konflik antarwarga di banyak tempat, lalu lintas berebut jalan," kata Pangadi yang juga Kepala Dusun Wonolelo itu.

Kelompok Padepokan Wargo Budoyo Merbabu Dusun Gejayan Desa Banyusidi pimpinan Riyadi menyuguhkan secara takjub karya orkestra tarian yang merupakan olahan sejumlah tarian kontemporer desa, seperti Gladiator Gunung, Kipas Mega, Soreng, dan Geculan Bocah.

Penyair Komunitas Lima Gunung Wicahyanti Rejeki juga mengiring pembuka tarian itu melalui pembacaan puisi "Gladiator Gunung" karya penyair Dorothea Rosa Herliany yang juga pegiat komunitas tersebut, sedangkan seniman Studio Mendut Nana Ayom menembang Jawa dan berperforma gerak secara solo untuk mengawali pementasan tersebut.

Riyadi menjelaskan tentang makna karya itu. Gladiator adalah petarung yang dengan kemenangan menjadikannya sebagai idola masyarakat Romawi pada zaman dahulu.

"Namun petarung yang menang zaman ini, dengan harapan bisa memperjuangkan kepentingan rakyat, tetapi justru sebaliknya mempertontonkan petarung yang mementingkan diri sendiri," kata mantan Kepala Desa Banyusidi, Kecamatan Pakis itu.

Pesta demokrasi pada 2014, katanya, bagaikan ajang para gladiator bertarung di gelanggang politik. Masyarakat diharapkan mampu memilih para petarung yang sungguh-sungguh berjuang untuk kepentingan dan kesejahteraan masyarakat luas.

Berbagai kesenian tradisional lainnya yang disuguhkan untuk memeriahkan festival, seperti Jaran Kepang Papat, Singo Barong, Kuda Lumping (Mantran Wetan), Topeng Ireng Salsa (ISI Surakarta), Topeng Ehek (Sanggar Warangan Merbabu, Kecamatan Pakis), Joget Sekar Gunung (Studio Mendut), performa Sanggar Merah Merdeka Surabaya, Butho Edan (Ngipik Candimulyo), dan Lengger Gunung (Sanggar Cahyo Budoyo Sumbing, (Dusun Krandegan, Desa Sukomakmur).

Sejumlah petinggi Komunitas Lima Gunung, antara lain Supadi Haryanto yang juga Ketua Komunitas Lima Gunung, Riyadi, Pangadi, Sumarno, dan Sujono, memulai pementasan kesenian pada puncak hari festival melalui pemukulan Gong Gunung, sedangkan Romo Banar melepas belasan burung merpati sebagai lambang bahwa seniman petani cinta perdamaian.

Buku Kumpulan Tulisan
Pada kesempatan itu juga diluncurkan buku kumpulan tulisan para pegiat Komunitas Lima Gunung dan jejaringnya di berbagai kota dengan judul "Sendang Sungsang".

Sutanto Mendut yang juga budayawan Magelang itu menyebut para seniman petani komunitas tersebut tak cukup disebut sebagai kalangan pelestari kesenian tradisional yang bernilai luhur di desa masing-masing.

"Tetapi mereka bertani dan berkesenian sebagai sama-sama kekuatan hidup sehari-hari di dusun, merespons keadaan yang serba sungsang dan memprihatinkan melalui perspektif kearifan lokal , menjalar dalam gerakan kebudayaan secara intensif," katanya.

Ia membandingkan banyak pidato pejabat terkait dengan aktivitas kesenian dan kebudayaan selalu bertumpu pada masalah pentingnya pelestarian nilai tradisi masyarakat, meskipun relatif tak pernah menanggap kelompok kesenian untuk berpentas atau memiliki gamelan, misalnya.

Akan tetapi, katanya, para petinggi Komunitas Lima Gunung setidaknya memiliki gamelan, pekerja keras dan disiplin sebagai petani, dan menjalani tradisi dusunnya dengan taat, dan menyikapi keadaan alam gunung masing-masing secara bijaksana berbasiskan kearifan lokal.

"Maka yang penting sekarang jangan lagi diperalat oleh penguasa, tetapi rakyat berbudaya yang memperalat penguasa," katanya.

Romo Banar yang juga pengajar program pascasarjana Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma Yogyakarta itu mengemukakan bahwa melalui festival tahunan itu, para seniman petani tak sekadar mengungkapkan kegembiraan secara bersama-sama, supaya menebar kepada masyarakat luas.

Mereka juga sedang mengungkapkan keprihatinan atas keadaan kehidupan yang serba sungsang atau tidak normal melalui jalan kesenian, bukan dengan cara demonstrasi atau bicara keras.

"Tema festival itu sebagai sasmita, bahasa sandi, bahasa seni. Tembang tarian Jaran Kepang Papat itu 'Ayo mangkat (berangkat, red.) para punakawan'. Berangkat kemana? Itu ungkapan mereka yang tidak bisa bicara, tidak kelihatan, tapi membaca keadaan," katanya.

Kehidupan Lebih Baik
Festival Lima Gunung XII bukan sekadar ungkapan keprihatinan melalui jalan kesenian dan kebudayaan, akan tetapi juga harapan bahwa kehidupan pada masa mendatang akan lebih baik.

Hal itu, katanya, setidaknya terungkap dalam pentas wayang kulit dengan dalang yang juga pegiat komunitas tersebut, Sih Agung, pada Sabtu (29/6) malam, yang menceritakan tentang lahirnya Parikesit dalam rangkaian agenda festival tersebut.

Kemandirian komunitas itu dalam menyelenggarakan festival tahunan, juga sebagai nilai kekuatan masyarakat dusun. Mereka berfestival tahunan tanpa meminta bantuan dana baik kepada pemerintah maupun mengajukan proposal kepada sponsor atau pengusaha.

"Melalui festival ini, mereka tak hanya menyampaikan kritik kepada pemerintah, mengungkapkan keprihatinan atas situasi sungsang, tetapi komunitas ini juga memperlihatkan kemandirian dan menguatkan pengharapan," katanya.

Melalui puisi karyanya berjudul "Mantra", penyair remaja yang juga anggota Komunitas Lima Gunung, Atika, seakan ingin mengungkapkan pengharapan kepada kembalinya keadaan dari sungsang menjadi normal.

"Ini mantraku. Jadilah seindah gunung penghias jagat sahabat langit. Jadilah sekuning padi, sehijau daun, sesejuk angin, sejernih air, dan semarah bunga duri. Ini mantraku. Jadilah, jadilah gunung pengikat budaya. Berlahar keinginan, bermuara kejayaan," demikian dua bait terakhir puisi itu yang dibacakannya saat puncak hari festival mereka.

Pewarta : M Hari Atmoko
Editor : Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2025