Sebagai simbol kampanye penyelamatan satwa di kawasan Candi Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, aneka burung itu dilepaskan dari sangkarnya oleh Direktur Pengembangan Seni Rupa Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Watie Moerany dalam pembukaan pameran seni rupa bertajuk "Dharma", di pintu masuk Limanjawi Art House Desa Wanurejo, Kecamatan Borobudur, Kamis (13/6).

Bermacam-macam burung, seperti merpati, pipit, derkuku, dengkek, dan perkutut pun terbang bebas di lingkungan alam sekitar Candi Borobdur yang dibangun di antara aliran Kali Eko dan Progo pada sekitar abad ke-8 masa Dinasti Syailendra itu.

Sebelumnya, puluhan seniman Sanggar Saujana Keron dari kawasan Gunung Merapi dengan Merbabu di Dusun Keron, Desa Krogowanan, Kecamatan Sawangan, Kabupaten Magelang pimpinan Sujono mengarak sangkar berisi berbagai macam burung dari kompleks Pondok Tingal menuju Limanjawi Art House, sekitar 500 meter timur Candi Borobudur.

Tiga grup kesenian kontemporer dusun, yakni Kukilo Gunung, Jingkrak Sundang, dan Topeng Saujana dengan properti masing-masing yang menunjukkan berbagai satwa gunung, terkesan memperkuat simbol kampanye penyelamatan satwa melalui arak-arakan tersebut. Berbagai tabuhan musik pengiring seperti gamelan memeriahkan prosesi itu.

"Sampai sekarang masih dijumpai orang-orang menangkap burung yang hidup bebas di kawasan Borobudur dengan cara ditembak. Semoga kampanye ini makin menyadarkan siapa saja untuk menjaga satwa agar tetap hidup bebas di alam sekitar candi ini," kata Koordinator Komunitas Seniman Borobudur Indonesia (KSBI) yang juga Ketua Panitia Pameran Seni Rupa "Dharma" Umar Chusaeni.

Ia mengartikan "dharma" sebagai kebaikan, seperti terpancar dari nilai-nilai universal atas karya agung nenek moyang bangsa Indonesia, Candi Borobudur, mengejawantah melalui kampanye tersebut. Upaya menyelamatkan burung-burung agar tetap hidup bebas di alam kawasan Candi Borobudur pun sebagai wujud dari perbuatan "dharma".

Kampanye tersebut rangkaian pembukaan pameran seni rupa dengan melibatkan 58 perupa berasal dari berbagai daerah di Indonesia, khususnya di sekitar Candi Borobudur. Pameran yang berupa lukisan, "drawing", patung, dan instalasi dengan total 90 karya itu menjadi bagian dari Borobudur International Festival pada tanggal 13--17 Juni 2013.

Pameran memanfaatkan tiga lokasi, yakni Limanjawi Art House Desa Wanurejo, Rumah Seni Rupa Tuksongo Visual Arts House Desa Tuksongo, masing-masing selama dua minggu, dan Taman Lumbini, kompleks Taman Wisata Candi Borobudur (13--17 Juni 2013) dengan kurator Mikke Susanto.

Lukisan berjudul "Rebuild Super Hero Series #3" karya Wawan Geni dengan teknik "sundut" (bakar) dan sapuan cat minyak yang dipajang di Taman Lumbini menunjukkan Pandawa besuk Gatotkaca yang jatuh, terluka, dan sakit karena pertempuran.

"Makna kebaikan yang terpancar dari karya ini, betapa pentingnya penghargaan kepada pahlawan yang telah berjasa pada masanya, penghargaan terhadap nyawa dengan cara apa pun," katanya.

Selain itu, kata Wawan yang juga mahasiswa ISI Yogyakarta tersebut, pentingnya upaya membangun jiwa kepahlawanan sebagaimana nenek moyang bangsa Indonesia membaktikan jiwa pengabdian yang tulus sehingga menghasilkan karya agung yang sarat akan nilai universal berupa Candi Borobudur.

Karya berjudul "Menanam Pohon Kebaikan" oleh seniman KSBI Arif Sulaiman yang dipajang di Rumah Seni Rupa Tuksongo Visual Arts House, menunjukkan seseorang yang terkesan sedang menanam pohon di antara stupa dan patung Sang Buddha, secara jelas mewartawakan makna kebaikan terhadap alam, sebagaimana kampanye penyelamatan satwa oleh seniman petani Sanggar Saujana Keron tersebut.

Watie menyebut berbagai karya yang disuguhkan kepada publik melalui pameran bertajuk "Dharma" itu menunjukkan kekayaan makna atas Candi Borobudur. Bangunan warisan peradaban dunia tersebut, saat ini dikelilingi oleh para kreator dan seniman dengan berbagai karyanya.

"Candi Borobudur dengan kawasannya sudah memiliki 'roh-roh'," katanya.

Mikke menyebut pameran tersebut menjangkau perspektif yang besar dan bahkan nasional meskipun tidak mudah menerangkan tentang makna "dharma" sebagai tajuk pameran itu.

"Bahwa arti 'dharma' hampir tidak ada ujung pangkalnya, antara lain, menyangkut kebenaran, kebaikan, agama, jiwa, dan tugas. Semua punya 'dharma', seniman, air, batu, alam, semua punya 'dharma'. Kalau persoalan 'dharma' tidak diingat, akan ada anomali, bencana," katanya.

Para perupa yang terlibat dalam pameran itu telah menggali "dharma", terutama yang terpancar dari khazanah nilai-nilai Candi Borobudur.

Ia mengemukakan bahwa "dharma" dalam konteks seni rupa tidak hanya diartikulasikan sebagai semata-mata topik karya seni seorang perupa, tetapi juga sebagai realitas yang menyuguhkan berbagai kisah produktif yang selama ini lahir dari berbagai kebiasaan para senimannya.

Ketika "dharma" dikaitkan dengan perilaku peseninya, katanya, orang akan diajak untuk menelusuri berbagai realitas yang menarik, salah satunya dengan berpegang pada perspektif sosiologis, yakni kehidupan perupa tidak lepas dari masyarakat pendukungnya.

Beberapa karya, seperti "Kolaborasi Kehidupan" (Heri Purwanto), "Kulkas dari Negeri Tembakau" (Agus Purwantoro), dan "Indoneian Character" (Jati Munandar), bersangkut-paut dengan kehidupan sosial budaya masyarakat.

Unsur-unsur simbolis untuk mengapresiasi teks "dharma", antara lain, muncul dalam karya, seperti "Tanami Sirami" (Mulyo Gunarso), "Still Surviving" (Dyan Anggraini), "Satu Yang Tersisa" (Tri Bakdo), "Membaca Diri" (Slamet Suseno), dan "Ilmu Pengetahuan yang Tak Terbatas" (Hatmojo).

Ia mengemukakan bahwa seniman apa pun di kawasan Candi Borobudur memiliki pendalaman yang istimewa akan nilai-nilai yang terkandung dalam warisan budaya dunia itu karena Candi Borobudur tidak ada di tempat lain.

"Kawasan ini kantong budaya yang unik karena terkait dengan dunia Candi Borobudur," kata Mikke yang juga esais dan pengajar di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta itu.

Sejumlah karya yang terpaut dengan eksistensi Candi Borobudur sebagai kitab kehidupan manusia, antara lain, "Festival Borobudur" (Klowor Waldiyono), "Jataka-Avadana" (Aryo Sunaryo), dan "Money is Important, But It's Not Everything #7" (Dedy Paw).

Agaknya, katanya, Candi Borobudur memang tiada pernah habis untuk dikupas hingga hari ini, sedangkan simpul mengenai "dharma" sebagai teks yang terkait dengan seni rupa bukan untuk mengikat berbagai karya secara ketat.

"Simpul ini justru lebih ingin membuka peluang bacaan yang lain, yakni dharma mengembalikan diri kita sebagai manusia," kata Mikke Susanto.

Pewarta : M Hari Atmoko
Editor : Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2025