Suji, pemimpin kelompok itu dengan pakaian tarian tradisional tersebut memercikkan air kembang sebagai tanda penyiraman terhadap sejumlah bibit pohon gaharu yang secara simbolis ditanam di areal Lor Senowo, Dusun Grogol, Desa Mangunsoko, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.
Peristiwa itu sebagai pembuka performa prosesi "Ruwat Bumi Merapi" oleh komunitas Edukasi Gubug Selo Merapi (E-GSPi) di dusun berjarak sekitar 7 kilometer barat puncak Gunung Merapi.
Masyarakat berkumpul di tempat itu hingga menutup jalan beraspal yang menjadi jalur truk-truk pengangkut material Merapi dari alur Sungai Senowo.
Sejumlah pemuda dengan tubuh berselempang kain warna putih berdiri mengelilingi properti globe raksasa, berdiamer 2 meter, yang diletakkan di atas tumpukan pasir di tepi Dusun Grogol.
Seorang penari perempuan Sri Dwi Wahyuni memainkan gerak performa mengelilingi globe di atas timbunan pasir. Seorang lainnya Triyatmoko, sambil menari juga melantunkan tembang Jawa yang intinya tentang pembebasan dari musibah.
"'Ono kidung rumeksa ing langit. Teguh haywo luput ing lara. Luputa bilahi kabeh. Jim setan datan purun. Paneluhan tan ana wani. Miwah panggawe ala. Gunane wong luput. Geni atemahan tirta. Maling adoh perak tan ora wani. Tuju duduk pan sirna'," demikian syair tembang Jawa langgam dandanggula tersebut.
Kira-kira arti kalimat tersebut, "Suara-suara tembang dari langit menguatkan manusia dalam menghadapi berbagai musibah. Setan, roh jahat, dan perbuatan tercela lainnya tak berani mendekat karena tertahan oleh kesaktian. Api menjadi air dan air menjadi api, pencuri tak berani berulah, serta berbagai bencana sirna".
Seorang seniman dari kawasan Merapi Timur di Kebon Arum, Kabupaten Klaten, Agus Bima Prayitno menimpali dengan sejumlah lantunan tembang Jawa lainnya ketika properti globe raksasa itu diarak sejauh 500 meter oleh masyarakat setempat menuju gedung yang mereka namai "Gubug Selo Merapi".
"'Peyo sami eling marang anak putu. Ngrukti bumi kita. Supaya murih lestari. Bumi rusak beja cilaka manungsa. Njarah srakah ngangkah pongah buru napsu. Tan mikir bebaya. Mberung ngeruk weteng bumi. Lali petung yen ing donya ana swarga'," demikian salah satu tembang langgam pangkur yang ditembangkannya.
Syair tembang itu kira-kira mengingatkan manusia akan pentingnya pewarisan bumi yang lestari kepada generasi mendatang. Bumi yang rusak membuat manusia celaka. Mereka yang menjarah kekayaan bumi tak berpikir tentang dampak bahayanya. Mereka tidak ingat bahwa di hidup dunia juga butuh kedamaian dan ketenteraman bagaikan di surga.
Di separuh jalan prosesi "Ruwat Bumi Merapi" dengan mengusung properti globe dan iringan tabuhan musik tarian di sepanjang jalan beraspal yang rusak akibat lalu lalang truk pengangkut material Merapi itu, dikisahkan bahwa penari "Gangsir Ngentir" (Suji) menyerahkan bumi kepada manusia (Sugiyono dan kawan-kawan) agar dimanfaatkan sebaik mungkin untuk kehidupan bersama.
"'Eh manungsa, iki bumi tampanana. Kang ono isining bumi sak lumahing bumi, sakurbeng langit. Kanggo kamulyaning para kawula. Nanging yen nyimpang saka paugeran yen ono sapu dhendhaning Jawata, padha sanggane dhewe-dhewe'. (Hai manusia, terimalah bumi ini beserta isi dan langitnya, untuk kesejahteraan semua. Akan tetapi, jika pemanfaatannya tidak sesuai dengan semangat pelestarian dan mengakibatkan kerusakan bumi, tanggung sendiri hukuman dari Tuhan, red.)," demikian kalimat bahasa Jawa yang disampaikan oleh penari "Gangsir Ngentir" itu.
Serah terima bumi tersebut juga ditandai pemakaian properti tarian tersebut yang berupa mahkota bertanduk kerbau oleh Sugiyono dan properti mulut cakil (satu tokoh dunia pewayangan) oleh Harko.
Mereka kemudian melanjutkan mengusung properti globe tersebut dengan mengisahkan bahwa dalam perjalanan tersebut, bumi menjadi rusak. Para pengusung properti globe dengan kerangka dari rajutan bambu itu, memolesi properti dengan aneka cat dan menggelindingkannya hingga membahayakan manusia lainnya.
Mereka agaknya ingin menunjukkan simbol bahwa bumi menjadi rusak akibat ulah rakus manusia, hingga mengakibatkan musibah.
Saat di tengah jalan di depan bangunan GSPi, ratusan orang berkumpul dan gamelan terdengar mengalun dengan syair berbahasa Jawa diserukan oleh seorang penabuhnya, Supratik. Inti syair itu berupa seruan bahwa bumi harus dimanfaatkan sebaik mungkin oleh manusia dengan tetap menjaga kelestarian.
Empat imam Katolik, yakni Romo Aloysius Martoyoto Wiyono, Yoseph Nugroho Tri Sumartono, Petrus Kanisius Budi Raharjo, dan Vincentius Kirdjito, masing-masing mengambil air dengan "siwur" dari tempayan, untuk kemudian menyiram properti globe itu, sebagai simbol pemulihan bumi dari kerusakan yang dilakukan manusia.
Sejumlah orang mengusung properti itu untuk diletakkan di pojok depan bangunan terbuka GSPi. Mereka kemudian melanjutkan dengan misa kudus di tempat itu yang sekaligus sebagai perayaan atas pelindung rohani kekatolikan wilayah setempat, Santo Petrus Kanisius.
Prosesi Ruwat Bumi Merapi juga ditandai dengan "Pesta Bubur", berupa santap bersama aneka macam jenang, yakni jenang "kacang ijo", "ketan ireng", "baning", "gendol", "sagu", "wiji salak", "abang", dan "putih". Selain itu, pentas kesenian tradisional "Srontol" (Kebon Arum, Klaten) dan dialog budaya.
Romo Nugroho mengemukakan sejak beberapa tahun terakhir umat bersama masyarakat setempat melakukan gerakan bersama antara lain untuk membangun sikap budaya dan arif terhadap kekayaan bumi Gunung Merapi.
"Secara bersama-sama selama ini, kita telah menjala masyarakat luas melalui program 'live in', edukasi, kegiatan budaya, agar cinta terhadap air, alam, pertanian, dan kebudayaan Merapi," katanya dalam khotbah misa berbahasa Jawa dengan lagu-lagu rohani diiringi tabuhan gamelan "palaran" itu.
Cukup banyak kelompok masyarakat, terutama pelajar dan mahasiswa berasal dari berbagai kota besar, menjalani program "live in" secara berkelanjutan di kawasan Gunung Merapi yang dikelola oleh komunitas E-GSPi selama ini.
Romo Kirdjito yang pernah memimpin umat setempat selama sekitar 10 tahun itu mengemukakan betapa banyak kalangan memberikan solidaritas kepada masyarakat Gunung Merapi, khususnya semasa erupsi dahsyat gunung berapi itu pada tahun 2010, disusul dengan banjir lahar bertubi-tubi yang masih mengancam hingga saat ini.
Solidaritas berbagai kalangan itu, kata dia, bukti bahwa makin banyak orang yang cinta terhadap bumi Merapi.
"Merapi bukan musuh manusia, melainkan bagian kehidupan masyarakat. Kalau Merapi sedang bekerja (erupsi, red.), kita berdoa. Kalau masyarakat mengungsi, hatinya tetap di Merapi. Mereka merawat terus-menerus Merapi. Letusan dan banjir lahar Merapi adalah nyanyian alam, untuk disyukuri," katanya.