Maksudnya bahwa jalur itu tertutup untuk lalu lintas umum sementara waktu, karena umat Katolik setempat sedang menjalani perayaan Natal di gereja di kawasan itu.

Bagian pojok kiri bawah papan itu, tergambar kecil simbol pohon Natal.

Papan itu diletakkan di Dusun Sabrang, Desa Ngargomulyo, Kecamatan Dukun Kabupaten Magelang, sekitar satu kilometer sebelum lokasi misa Natal di Gereja Santo Paulus di Dusun Tangkil, Desa Ngargomulyo.

Tempat itu salah satu dusun terakhir, sekitar enam kilometer barat daya puncak Gunung Merapi, sebagai pusat gereja wilayah yang membawahi 10 lingkungan dengan sekitar 1.000 umat Katolik yang sebagian besar kehidupan sehari-hari mereka sebagai petani sayuran.

Sejumlah pengendara khususnya sepeda motor yang melintasi jalan itu pun hanya sebatas orang-orang yang hendak mengikuti perayaan misa Natal berbasis budaya pertanian di gereja setempat.

Pada misa Natal 2012, mereka mengangkat tema "Banyu Sumber Urip kang Nuwuhake Winihing Iman kang Sejati" (Air sumber hidup yang menumbuhkan benih iman sejati).

Misa Natal petani setempat secara meriah itu dipimpin oleh Romo Yoseph Nugroho Tri Sumartono dengan menggunakan bahasa Jawa. Ibadat tersebut berlangsung sejak sekitar pukul 09.00 hingga 11.00 WIB.

Perayaan iman Kristiani oleh umat lereng Merapi untuk merenungkan peristiwa kelahiran Yesus itu antara lain ditandai dengan pemberkatan air dari bak penampung air di tepi dusun setempat.

Air yang masuk bak penampung itu bersumber dari mata air Sendang Waringin di Dusun Gemer, Desa Ngargomulyo, sekitar satu kilometer dari Dusun Tangkil.

Di tempat itu, seorang pemuka umat, Tarsisius Sutarno, membacakan catatan umat dalam mengemas perayaan Natal berbasis budaya petani sejak 2001 hingga saat ini, yang ditandai dengan pemberkatan berbagai sumber air di kawasan itu, pemberkatan benih dan bibit pertanian, serta berbagai sarana masyarakat setempat mengolah pertaniannya.

Seorang lainnya, Karsin, mendapat daulat untuk melantunkan tembang macapat langgam dandanggula yang inti syairnya tentang penghormatan terhadap air karena menjadi kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat Merapi, khususnya untuk kepentingan pertanian.

"Ana kidung ing berkahan warih. Nyuwun berkah kangge sumber toya. Den udi amrih lestarine. Mili sak laminipun. Nggo nyukupi kang sarwa urip. Kewan lan tanduran. Kersane Hyang Agung. Nggo uripe kabeh titah. Amrih kabeh subur makmur loh jinawi. Aja ana kekurangan," demikian syair tembang tersebut yang dibawakan Karsin di dekat bak penampung air.

Romo Nugroho kemudian memberikan tanda salib sebagai tanda pensucian air di bak tersebut, dan kemudian memberikan tanda wewangian berupa dupa.

"'Kawula pitados bilih toya kaberkahan dening Allah Yang Rama, Yang Putra, tuwin Yang Roh Suci' (Kami percaya bahwa air ini terberkati oleh Allah Bapa, Putra, dan Roh Suci, red.)," kata Romo Nugroho yang disambut dengan ucapan "Amin" secara bersama-sama oleh seluruh umat.

Dua umat lainnya yakni Sugino dan Yuswadi, kemudian masing-masing membawa "klenting" berisi air dari bak penampung itu, untuk sarana prosesi jalan kaki sejauh 200 meter, menuju gereja tempat misa Natal petani pada Selasa (25/12).

Arak-arakan prosesi dalam cuaca kawasan Merapi yang mendung tetapi terlihat cerah pagi itu, berhenti sejenak di satu tempat lapang untuk mengikuti pemberkatan bibit dan benih pertanian, serta alat-alat pertanian mereka oleh Romo Nugroho, selama beberapa saat.

Sebelum umat bersama pemimpin utama ibadat yang diiringi belasan misdinar dan sejumlah prodiakon memasuki gereja, Romo Nugroho memberkati pohon Natal sayuran setinggi sekitar 2,5 meter yang didirikan di depan gereja.

Pohon Natal sayuran itu berupa instalasi berbagai sayuran dan palawija hasil panenan petani kawasan Merapi seperti cabai, tomat, kacang panjang, buncis, paria, jipang, terung, ketela pohon, dan singkong.

Umat juga berbaris satu per satu memberikan penghormatan kepada bayi Yesus yang telah disemayamkan di gua natal di samping altar misa di dalam gereja. Prosesi itu mereka namai sebagai "Tilik Bayi" (Menengok bayi).

Tembang berbahasa Jawa berjudul "Wis Titi Wancine" (Tiba saatnya) karangan umat setempat, Sibang, dilantunkan sekelompok koor mengiring umat menjalani prosesi "Tilik Bayi".

Syair tembang itu kira-kira maksudnya bahwa telah tiba saat kelahiran Yesus yang akan menebus dosa manusia, sehingga umat berbondong-bondong membesuknya sambil memuliakan nama Allah.

"Wis titi wancine kita ngriyayakake miyos dalem Sang Timur wonten manah kawula. Yo podho gegancangan ngadep Sang Timur Gusti. Gloria, gloria, gloria, gloria in excelcis Deo," demikian penggalan tembang tersebut.

Dalam kotbahnya dengan bahasa Jawa, Romo Nugroho mengajak umat untuk merenungkan panggilan hidup masyarakat lereng Gunung Merapi sebagai petani.

"Di sini air melimpah dan menjadi berkah, tidak ada yang disalahkan terkait dengan air. Ini berbeda dengan di Jakarta yang karena banjir kemudian terjadi saling menyalahkan," katanya.

Masyarakat di Merapi dengan kehidupan bersama yang rukun, juga tidak pernah mempersoalkan tentang pangan karena mudah didapat.

Bahkan, aneka macam pangan dimiliki setiap keluarga di kawasan setempat karena tanahnya subur dengan petani yang mengolah areal pertaniannya.

"Kalau uang barangkali hanya punya sedikit, tetapi kalau untuk sayuran, kita memiliki banyak. Kalau bosan makan nasi, bisa memilih ganti makan ketela. Tradisi Natal petani yang juga ditandai dengan silaturahim antarkeluarga juga menunjukkan kerukunan hidup," katanya.

Ia mengatakan perayaan Natal petani Merapi untuk menegaskan kesadaran umat terhadap tugas panggilan hidup mereka menjaga dan merawat alam. Alam diciptakan menurut kehendak Allah itu untuk kemuliaan hidup manusia.

Petani setempat yang setiap hari bergaul dengan alam, tanah, lumpur, air, tanaman, katanya, memiliki tanggung jawab utama untuk melestarikan alam.

"'Ora ono pakaryan liya kang isa semono cedhake karo alam, kejaba pakaryaning para tani. (Tidak ada pekerjaan lain yang sedemikian dekat dengan alam, kecuali pekerjaan para petani)'," katanya.

Ia menyebut hidup sebagai petani sebagai panggilan hidup suci, sedangkan alam adalah sakramen, yakni tanda dan sarana keselamatan Allah kepada manusia, sehingga harus dilestarikan dan dicintai.

"'Iki mau kesadharane para kadang tani kang duwe harga diri. (Hal ini adalah kesadaran para petani yang memiliki harga diri)'," katanya.

Kotbah Romo Nugroho pada misa Natal di kawasan Gunung Merapi itu, bagaikan membuka cermin spiritual untuk para petani setempat.

Umat bagaikan diajak mempertanyakan kembali kesungguhan batin mereka dalam menekuni panggilan sebagai petani, yang menemukan kehadiran cinta kasih Allah melalui lingkungan alam pertanian yang diolahnya untuk kehidupan mereka.

Berbagai pertanyaan refleksi Natal petani pun diajukan Sang Romo itu dengan bahasa Jawa kepada umatnya.

"Sejatine apa awakdhewe iki mung merga kebacut dadi petani lan ora bisa malik kahanan. Apa ya temenan anggone ngaturake yen awakdhewe iki petani kang nduweni 'semangat budaya punya harga diri?' Apa temenan isih tresna marang cara tani organik, ngendelake alam? Utawa luwih gampang cara tani hibrida, ngendelake pasokan proposal bantuan? Apa bener urip dadi wong tani kuwi urip kang suci mulya? Wong anak-anake dhewe wae meh ora ana sing duwe cita-cita dadi petani. Apa ya temenan awakdhewe iki ndesa sing dadi ibune kutha?'," katanya.


Pewarta : M Hari Atmoko
Editor : Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2025