Empat kata itu adalah "cleguk", "ndret", "crut", dan "kipit-kipit". Satu atau dua kata tersebut telah menjadi materi pengaya atau bahkan menjadi bagian inspirasi tulisan oleh sejumlah penulis dan budayawan di beberapa media massa.

Kata elemen yang terus hidup dalam pergaulan mereka berkebudayaan dan berkesenian dusun dan gunung itu tampaknya menginspirasi mereka untuk melahirkan karya pertunjukan dengan kalimat judul cukup panjang, "Sastra Kiamat 2012 dan Lahirnya Jurus Silat Endojoyo".

Karya tersebut dimainkan oleh sekitar 60 seniman petani Komunitas Lima Gunung saat pembukaan pertemuan penulis cerita silat dan sejarah Nusantara yang dikemas dalam Borobudur Writers and Cultural Festival, 28--31 Oktober 2012.

Festival yang diselenggarakan oleh Samana Foundation, lembaga nirlaba berbasis pengembangan budaya, terutama berkaitan dengan pengalaman sejarah Nusantara itu, diikuti sekitar 300 peserta, baik aktif, pasif, maupun pembicara, dengan berbagai latar belakang, seperti penulis, peneliti, akademisi, pakar sejarah, arkeologi, rohaniwan, dan budayawan.

Sebagian besar agenda mereka pada tahun 2012 di kawasan Candi Borobudur Kabupaten Magelang, sebagian lainnya di Yogyakarta. Agenda mereka, antara lain, diskusi, peluncuran buku, dan pemutaran film berlatar belakang sejarah Nusantara.

Pemimpin tertinggi Komunitas Lima Gunung yang juga budayawan Magelang Sutanto Mendut mendapat daulat untuk membuka festival tersebut melalui pidato kebudayaan dan sekaligus memimpin pementasan performa elaborasi gerak, musik, dan tembang "Sastra Kiamat 2012 dan Lahirnya Jurus Silat Endojoyo".

"Empat kata elemen cukup populer delapan tahun terakhir, mewadahi elaborasi 'jurus endojoyo' sastra rakyat Lima Gunung yang melingkari Borobudur," katanya.

Integritas empat kata dengan urutan seperti itu disebut Sutanto Mendut sebagai cukup lumayan di arus badai kiamat "nemu jurus endojoyo".

Meskipun pada kesempatan itu dia menguraikan pengertian empat kata tersebut dalam benak kalangan seniman petani Komunitas Lima Gunung, Sutanto tak ingin mendominasinya menjadi satu-satunya pengertian baku.

"Setiap orang bisa menerjemahkan pengertian setiap kata secara bebas. Namun, bagi masyarakat Lima Gunung, 'cleguk', 'ndret', 'crut', dan 'kipit-kipit' sebagai bagian dari penghayatan atas fakta dan momentum kehidupan mereka," kata Sutanto yang juga pengajar program pascasarjana Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta itu.

Ia menyebut "cleguk" bukan "kruget-kruget" sebagai awal gairah spontan, nafsu kultural yang alami, berbeda dengan visi formal pelembagaan. Jurus pertama itu, saat remaja diandaikan cinta pada pandangan pertama.

Secara budaya, kata dia, "ndret" mendapat formalitas etis terkait dengan berbagai batas ruang waktu sosiologis. Terhadap otoritas mapan, "ndret" sebagai fakta sejarah dan golongan pinggiran sebagai fiksi.

"Kadang tak bergetar, kadang 'ndret', sumbernya seolah tak terdeteksi, padahal tak mungkin 'silent sastra komunitas manusia'," katanya.

Ia menyebut semua orang sudah tahu tentang "crut", sedangkan "kipit-kipit" menandakan krisis biologis, kelelahan sufistik, politik, ekonomi, sosial, dan budaya tunggang langgang.

Selanjutnya, kata dia, akan datang siklus "cleguk" lagi sesudah "kipit-kipit".

"Empat kata itu adalah kenyataan hidup yang juga mereka alami. Itu bagian dari cerita manusia. Saya lebih seneng dengan cerita manusia daripada fiksi dan sejarah. Tentang rekayasa sejarah dan yang satu fiksi, imajinasi, karangan, menjadi satu, yakni kisah tentang hidup manusia, masyarakat, komunitas," katanya.

Seolah-olah para seniman petani itu menuangkan penghayatan atas empat kata elemen mereka yang menjadi fakta atas kehidupan mereka itu dalam performa "Sastra Kiamat 2012 dan Lahirnya Jurus Silat Endojoyo".

Dengan berbalut tabuhan alat musik, seperti truntung, kenong, drum, kendang, dan perkusi lainnya, seorang petinggi Komunitas Lima Gunung, Supadi Haryanto, memulai pementasan itu dengan tembang populer berbahasa Jawa "Gambang Suling".

"'Gambang suling, kumandang swarane, tulat tulit kepenak unine, unine mung nrenyuhake, bareng lan kentrung ketipung suling, sigrak kendangane'," begitu syair tembang itu.

Seniman lainnya, Nana Ayom memainkan performa gerak dengan memegang sapu lidi di halaman Pendopo Manohara sambil mengucapkan berulang-ulang empat kata itu, sedangkan seniman Taufik mementaskan performa suara beragam satwa gunung.

Puluhan seniman lainnya secara berkelompok menyusul sajian itu dengan gerak tari yang mendasarkan pada tarian tradisional "soreng" dan "rodat", sedangkan seorang lainnya berjalan perlahan sambil menaburkan bunga mawar warna merah putih di arena pementasan.

Mereka juga mengemas kolaborasi gerak dengan lantunan tembang-tembang pengirim tarian "rodat", seperti berjudul "Ampun Ampun", "Muslimino", "Noni Noni", "Yaman Yarub", dan "Tanjung Katon".

Kalimat-kalimat syair atas setiap tembang yang menurut Sutanto diperkirakan diciptakan oleh kalangan rakyat perdesaan pada era 1940-an itu memang sulit dimengerti artinya. Akan tetapi, masih terus lestari hingga saat ini sebagai tembang pengiring tarian tradisional "rodat" mereka.

"'Noni noni ambil payung pegang noni. Ambilno sikat buka baju bersinggah baju. Baru jalan pegang kertas sama mangsi. Menulis ada meja. Jangan bilang marang ini kuntulan'," demikian syair "Noni Noni", salah satu tembang yang mereka lantunkan tersebut.

Sutanto Mendut pun membuka pertemuan penulis silat dan sejarah Nusantara itu dengan kalimat,"Puan-puan dan tuan-tuan penyelenggara, pembicara, peserta. Hormat saya untuk Anda semua... cleguk!! Bismillah saya buka dengan cleguk".

"'Rasemang dijelaske' (tidak perlu dijelaskan, red.)," kata Sutanto.

Pewarta : M Hari Atmoko
Editor : Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2025