Kandungan pesan atas 100 puisi karya 25 penyair Magelang, berasal dari berbagai kalangan usia, melalui buku puisi dengan penyunting Ani Dwi, Veradita W, Umi Nurjanah, ilustrasi Yoppi Hardiyan, dan desain Left Studio itu pun tak sekadar menyangkut nasionalisme, cinta atas negeri berkepulauan Indonesia.

Hal ikhwal menyangkut titian hidup personal penyair dan berkehidupan mereka sebagai bagian masyarakat, bangsa, dan negara terangkai dalam buku setebal 138 halaman yang diterbitkan oleh Penerbit Nattramaya Magelang itu.

Suasana Ramadhan 1433 Hijriyah seakan membalut peluncuran buku antologi puisi, melalui menu buka puasa secara sederhana dengan suguhan seperti es buah dan nasi megono yang mereka santap menggunakan pincuk, setelah pemotongan tumpeng oleh budayawan Universitas Tidar Magelang yang juga penyunting penyelia buku itu, Budiono, untuk selanjutnya diserahkan kepada seorang penyair Trisetyo "Gepeng" Nugroho.

Sederet nama penyair yang menaruhkan karya mereka dalam buku itu antara lain Amar Ma'ruf, Ani Dwi Indrawati, Bambang Eka Prasetya, Diyoto, Dorothea Rosa Herliany, Eka Pradhaning, Else Liliani, Esterika Denasepti K, Es Wibowo, Gepeng Nugroho, Hernadi Sasmoyo Aji, Ismanto, Kaji Habeb, Meyta Arinta Kartika Putri, Munier Syalala, Niken Kencono Ungu, Nindito, Nur Rokhmanita, Parjopo, Priyo, Soetrisman, Tentrem Lestari, Triman Laksana, Veradita, dan Wicahyanti Rejeki.

Di antara mereka, pada peluncuran buku antologi puisi "Tanah Air Cinta" di Pendopo Komunitas Budaya "Duniatera" sekitar 500 meter timur Candi Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah tersebut membacakan puisinya. Beberapa karya lainnya disajikan melalui musikalisasi puisi oleh Munir Syalala dan performa teatrikalisasi puisi oleh grup Teater Fajar Universitas Muhammadiyah Magelang.

Sejumlah penyair yang karyanya tak turut masuk buku itu juga menyuguhkan puisi mereka seperti Atika melalui karya berjudul "Tanah Air Cinta" dan Darmanto Andreas melalui dua puisi, masing-masing bertajuk "Shang Hyang Titi Wengi" dan "Ode untuk Chintya Lamusu".

Beberapa kalangan seniman, budayawan, dan pemerhati seni budaya setempat seperti Soetrisman, Sutanto Mendut, Umar Khusaeni, Dedy Paw, Cipto Purnomo, mahasiswi program doktor antropologi School of Oriental and African Studies University of London Safitri Widagdo, dan Rektor Universitas Tidar Magelang Cahyo Yusuf hadir pada kesempatan menjelang maghrib hingga mendekati isya pada Minggu (12/8) itu

Dua penyair remaja yang sama-sama masih pelajar SMA Negeri 3 Kota Magelang yakni Esterika dan Meyta, membacakan karya masing-masing yang bertajuk "Masam Rasa Negeriku" dan "Ketoprak Jampi Puyeng". Mereka terlihat jitu dan cerdas membahasakan kondisi carut-marut atas negeri ini melalui karya masing-masing.

"Negeriku memang ada ada saja. Dari banjir sampai letusan gunung sepakat jadian. Dari kelaparan sampai pesakitan seperti lamaran. Dari Ketidakadilan sampai ketimpangan sepakat nikahan. Di antara bau tengik ikan asinan. Dan warna warna pudar jarik kodian, banyak ironi yang diparodikan, tentang sebuah negeri tanpa aturan. Bisik busuk dan selip sana belit sini, sudah jadi cemilan toplesan setiap politisi. Hakim punya banyak muka, alah berita basi. Kasus korupsi seperti sambal kebanyakan terasi, semakin bau justru semakin diminati," demikian tiga bait cuplikan puisi Meyta, "Ketoprak Jampi Puyeng" yang di beberapa bait lainnya juga menorehkan analogi kisah dalam dunia pewayangan.

Sejumlah cuplikan puisi Esterika "Masam Rasa Negeriku" pun terkesan menghentak kalbu penyimaknya sore itu.

"Putra bangsa. Dipelajarkan untuk menjadi tikus pemangsa. Dari memangsa harta. Hingga uang negara. Putri negeri. Diberi hari untuk menjual diri. Memang. Bukan dengan harga rendah. Hitungan rupiah. Namun tak berharga sama sekali. Topeng-topeng kini tak hanya berlaga di layar kaca. Topeng-topeng kini berpindah demi konspirasi negara," begitu bait kedua hingga empat dari delapan bait puisinya itu.

Tentunya pesan yang ingin mereka sampaikan melalui puisi itu berlandaskan sikap kritis dan kecintaan terhadap negeri nusantara ini.

Lain lagi dengan puisi Atika, penyair remaja yang juga siswi SMA Negeri 1 Kota Mungkid, Kabupaten Magelang, "Tanak Air Cinta", yang agaknya mengajak pendengar masuk dalam refleksi kekuatan spiritual atas tanah sebagai asal muasal manusia.

Kehidupan masyarakat
"Tanah air cinta. Tanah akan menerimaku ketika kaki tak bisa berjalan. Mata tak bisa melihat, mulut tak bisa bicara, dan telinga tak bisa mendengar. Tanah air cinta. Tanah akan membangkitkanku dalam pertanggungjawaban. Dan aku kan dikenang, entah dengan apa. Dan tanah tetap tanah. Aku berasal dari tanah dan kan kembali ke tanah," demikian dua bait puisinya itu.

Karya Bambang Eka "Di Negri Kaya, Kita Punya Apa?" disajikan Munir Syalala dalam musikalisasi puisi beriring petikan gitar seorang seniman, Panjul, seakan sebagai gugatan akan ironi kehidupan di Tanah Air yang diwakili oleh masyarakat yang disebutnya di bantaran Kali Elo Progo, Kabupaten Magelang.

Bisa ditebak bahwa kira-kira pesan atas karya itu berlatar belakang kehidupan masyarakat kawasan Candi Borobudur yang di antara aliran Sungai Elo dengan Progo itu, dengan kemegahan dan kandungan nilai sejarah peradaban umat manusia yang menakjubkan jagat, namun saat ini mereka masuk kategori berekonomi tidak lebih baik dari sebagian besar wilayah lainnya di Kabupaten Magelang.

"Menapak gagah di dinding jantung Borobudur, Pawon, serta Mendut. Menjaga kedamaian seluruh penjuru. Palawija dan bulir padi merunduk. Tersenyum tenang memandang. Pipit riuh beterbangan ke segala arah. Bumi kita kaya raya. Ketika belum terjumlah kandungan lembah. Hutan, sungai, dan samudera. Sepanjang Elo Progo berjajar di bantaran. Kisah duka pemilik negri kaya raya. Yang jelata tetap sengsara sepanjang usia. Tetap jua tak punya apa-apa," begitu empat bait terakhir atas karya Bambang yang didakunya sebagai catatan saat melintas bantaran Elo Progo.

Satu di antara lima puisi karya Gepeng Nugroho berjudul "Fragmen Kurusetra" yang masuk dalam buku antologi itu mungkin bisa menjadi cermin refleksi atas perebutan kekuasaan di antara kalangan elit sejak zaman kerajaan, secara turun temurun hingga saat ini Tanah Air menjadi negeri bernama Indonesia.

"Alur fragmen kita nyata seperti digariskan pada Kitab Mahabarata yang berjajar dendam atas kekuasaan....," demikian dua baris terakhir karya yang ditorehkannya ketika di Bali, Juli 2011.

Penyair Dorothea Rosa melalui karya pada 17 Agustus 1995 bertajuk "Dongeng Orang-Orang Lapar Tentang Tanah Air" yang masuk dalam buku antologi itu seakan mengedepankan sentuhan feminisme atas kecintaan terhadap Tanah Air.

"Buat kita, anakku? Yang penting adalah kita hidup di antara darah dan daging, di antara cinta dan kedamaian. Bahwa kita miskin bukan alasan untuk tidak bertahan, bahwa kita nista bukan berarti tidak hidup di atas tanah dan di kedalaman air, bahwa kita tidak punya tanah bukan berarti kita tak memetik buah dari pohon yang kita tanam, bahwa kita lapar bukan berarti hidup di atas penderitaan. Sebab tanah air hanyalah hati nurani seluas samudra. Sesobek iman yang terbang setinggi langit, dan jiwa yang keras dan angkuh bagai gunung sedang lapar, hanyalah satu keadaan," begitu penggalan puisinya.

Sedangkan karya lainnya Dorothea Rosa yang berjudul "Lebaran Kali Ini" mungkin boleh dipelintir menjadi sentuhan untuk mengatakan bahwa hidup sebagai sesama saudara di "Tanah Air Cinta" tetap berpengharapan bakal menjadi lebih baik.

"Lebaran kali ini, tak ada ketupat, hanya janur dan puisi. Kebun cinta dan rerindang hati, senyum hangat di takbir kemenangan. Merenda jiwa dalam tabah dan kearifan. Melukis teduh di pijar bebintang. Pada jembar langit keagungan. Saudaraku, kali ini tak ada opor ayam, telah habis sambal kentang. Hanya tambur dan puisi yang ditabuh para pendoa di desa jauh. Dinyanyikan penyair yang melahap kitab hidup, menyusur haribaan waktu dan semesta rindu," demikian dua di antara beberapa bait puisi itu.

Makna cinta terhadap Tanah Air menjadi terkesankan menjangkau paradigma lebih luas dalam karya-karya puisi para penyair Magelang yang masuk dalam buku antologi tersebut.

Tentunya buku itu makin bermakna karena peluncurannya mendekati hari penting bagi seantero negeri yang hendak melangkah di puncak hari jadinya dan sekaligus menapaki perjalanan umatnya ke puncak refleksi fitrahnya.

Sepakat dengan penggalan pernyataan budayawan Magelang Sutanto Mendut, Rektor Universitas Tidar Magelang Cahyo Yusuf saat pidato peluncuran buku antologi puisi "Tanah Air Cinta" itu menyatakan bahwa karya-karya puisi itu menjadi tanpa batas dan menembus ruang dan waktu.

"Himpunan karya penyair Magelang melalui buku antologi itu menjadikan puisi-puisi itu makin awet, menjadi sarana komunikasi," katanya.

Generasi di Nusantara kelak, barangkali makin diperkaya oleh referensi sastra atas kebersamaan hidup di negerinya saat sekarang, melalui antologi puisi "Tanah Air Cinta" yang meluncur menjelang puncak hari jadi republik ini dan sekaligus mendekati titik refleksi Hari Raya Fitri tahun ini.

Pewarta : M Hari Atmoko
Editor : Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2025