Solo (ANTARA) - Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret (FH UNS) Surakarta mengajak para mahasiswa berpikir demokratis dengan menengok sejarah Indonesia pada masa lalu.
Melalui workshop bertema Membangun Mahasiswa Demokratis, Kritis, dan Humanis di Solo, Jawa Tengah, Sabtu, Laboratorium Ilmu Hukum Fakultas Hukum UNS mendatangkan sejumlah narasumber, yakni Pakar Politik Pemerintahan FISIP Universitas Diponegoro (Undip) Wahid Abdulrahman, Direktur Jendral Instrumen dan Penguatan HAM Kemenkumham RI Nicholay Aprilindo, dan Pakar Konstitusi dan Demokrasi sekaligus Kepala Laboratorium Ilmu Hukum UNS Andina Elok Puri Maharani.
"Saya mau mencoba menggambarkan dalam perspektif sebuah teori sosiologi politik, ada namanya teori elit yang masih relevan untuk memposisikan bagaimana mahasiswa sekarang membentuk nalar kritisnya itu," kata Wahid.
Ia mengatakan dalam sejarah elit di Indonesia matang, ada berbagai dinamika yang dilalui. Menurut dia, mulai dari sebelum kemerdekaan sampai dengan orde lama, elit politik lahir dari pergerakan.
Ia mengatakan saat Orde Baru banyak kepala daerah berasal dari militer. Meskipun ada juga sebagian yang berasal dari organisasi pergerakan seperti HMI, GMNI, dan PMKRI.
"Kemudian pascareformasi juga sama, sebagian besar gerbongnya berangkat dari aktivis-aktivis mahasiswa," katanya.
Namun menariknya, pascareformasi ketika demokrasi liberal mulai masuk dalam bentuk pilkada, sebagian besar elit politik Indonesia matang mulai masuk dari kalangan pengusaha atau enterpreneur.
"Bahkan yang luar biasa lagi, yang punya akses ekonomi cukup besar langsung bisa masuk menjadi wali kota, menjadi bupati, bahkan menjadi wakil presiden, sehingga mulai ada pergeseran," katanya.
Meski ada pergeseran, ia menilai tetap ada backup dari para aktivis.
Dengan demikian, artinya ada satu benang merah bahwa ternyata di manapun pergerakan rotasi sejarah itu berada, elit politik di Indonesia salah satunya berangkat dari organisasi pergerakan.
"Dan itu mahasiswa menjadi salah satu tulang punggungnya," katanya.
Pada kesempatan yang sama, Direktur Jendral Instrumen dan Penguatan HAM Kemenkumham RI Nicholay Aprilindo menyampaikan materi nilai-nilai Pancasila dalam perspektif humanisme dan konstitusi, serta hak asasi manusia.
Ia mengatakan humanisme dalam perspektif konstitusi dan HAM menekankan pada pentingnya penghormatan dan perlindungan terhadap martabat, hak, dan kebebasan manusia.
Mengacu pada Pancasila, dikatakannya, humanisme berdasarkan perspektif konstitusi dan HAM di Indonesia dilandasi oleh nilai-nilai yang kuat untuk melindungi dan menghormati HAM serta mendorong keadilan dan kesetaraan bagi seluruh warga negara.
Ia mengatakan tema kali ini bagaimana membangun pola pikir demokratis, kritis, dan humanisme tidak terlepas dari kerangka HAM.
"Hak asasi manusia itu tidak berada di wilayah abu-abu, hak asasi manusia itu dengan hukum bagaikan satu keping mata uang, di mana ada pelanggaran hak asasi manusia pasti ada pelanggaran hukum, di mana ada pelanggaran hukum pasti ada pelanggaran hak asasi manusia," katanya.
Sementara itu, Andina Elok Puri Maharani mengatakan Bangsa Indonesia berharap kepada generasi muda dan mengajak generasi muda untuk berpikir serta berjuang.
"Di tanah air masih banyak tugas yang harus diselesaikan serta masih banyak yang harus diperjuangkan yaitu cita-cita dari pendiri bangsa," katanya.
Menurut dia, rasa cinta tanah air juga harus mendarah daging di dalam jiwa dan raga.
"Mahasiswa harus menjadi cahaya yang menerangi diri sendiri dan lingkungan dimulai dengan meningkatkan kapasitas diri," katanya.
Kegiatan yang dibuka oleh Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan dan Alumni Jadmiko Anom Husodo tersebut diikuti oleh 150 mahasiswa dan dosen. Kegiatan juga dihadiri oleh Perancang Peraturan Perundang-undangan pada Bagian Hukum Sekretaris Daerah Kota Surakarta FX Sasadara Paska.