Semarang (ANTARA) - Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Jawa Tengah mengingatkan bahwa pelaksanaan ujian nasional (UN) atau apapun istilahnya penting juga untuk pemetaan kualitas pendidikan secara nasional.

"Kami tidak pada posisi ingin memperdebatkan juga nanti UN atau ANBK (asesmen nasional berbasis komputer), bukan itu sebenarnya," kata Ketua PGRI Jateng Muhdi di Semarang, Jumat.

Hal tersebut disampaikannya saat seminar nasional bertema "Analisis Kebijakan Nasional Pendidikan Dasar dan Menengah" di Universitas PGRI Semarang (Upgris).

Menurut dia, UN maupun ANBK sama-sama ada sisi kelebihan dan kelemahan yang harus bersama-sama dicarikan solusinya.

Ia mengatakan bahwa UN tidak saja menjadi ujian atau evaluasi pendidikan, melainkan juga pemetaan kualitas pendidikan, serta bisa digunakan untuk seleksi pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi.

"Maka ujian yang diselenggarakan untuk semua anak menjadi penting tanpa harus digunakan sebagai alat untuk (penentu, red.) kelulusan," kata Muhdi yang juga anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI asal Jateng.

Apalagi, kata dia, sebentar lagi akan memasuki masa penerimaan peserta didik baru (PPDB) yang membutuhkan banyak komponen untuk penyelenggaraannya.

"Saya yakin kalau kebijakan dasarnya adalah keadilan maka hak anak-anak yang berprestasi juga harus diberi ruang yang cukup melalui persentase di PPDB itu," katanya.

Ia mengatakan bahwa kebijakan Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, salah satunya adalah sekolah unggul yang bertujuan melalui proses agar anak-anak memiliki prestasi baik.

"Prestasi diukur memang melalui sebuah evaluasi yang menyeluruh sehingga anak-anak bisa diketahui seberapa capaiannya. Nah, ini menjadi penting (mengenai UN, red.)," katanya.

Selain itu, kata dia, zonasi bertingkat juga perlu diperhatikan dalam PPDB, yakni jenjang pendidikan semakin ke bawah maka zonasinya lebih tinggi dan prestasinya lebih kecil.

Sebaliknya, mantan Rektor Upgris (Universitas PGRI Semarang) itu mengatakan bahwa jenjang pendidikan semakin ke atas maka persentase prestasinya lebih tinggi dan zonasinya lebih kecil.

"Karena realitanya memang sekolah di SMA dan SMP tidak semerata di SD. Jadi, antardaerah bisa jadi diberi keleluasan untuk bupati, wali kota, atau gubernur menyesuaikan (persentase zonasi, red.) dengan kondisi daerahnya," katanya.

Artinya, kata dia, bisa jadi penetapan persentase zonasi oleh gubernur dengan gubernur lain, atau kabupaten satu dengan lainnya tidak sama karena melihat realitas lapangan yang berbeda.

"Mari kewenangan otonomi pendidikan kepada daerah juga diberi ruang yang cukup karena bupati, wali kota, dan gubernur, saya yakin untuk urusan itu lebih paham," kata Muhdi.


Baca juga: Wali Kota Semarang pimpin "Korpri Berbagi"


Pewarta : Zuhdiar Laeis
Editor : Heru Suyitno
Copyright © ANTARA 2024