Semarang (ANTARA) - Ketua Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Jawa Tengah Dr Muhdi menilai yang perlu diajarkan sejak taman kanak-kanak bukanlah "coding", melainkan bagaimana berpikir secara sistematis.
"Harus dipahami ya, bukan memberikan pendidikan atau pelajaran 'coding' sejak TK. Tetapi, lebih sebenarnya untuk mengajarkan cara berpikir yang sistematis," katanya, di Semarang, Senin.
Hal tersebut disampaikannya usai Focus Group Discussion (FGD) bertema "Pendidikan Bermutu untuk Semua" menyambut Hari Guru dan Hari Ulang Tahun (HUT) PGRI di Universitas PGRI Semarang (Upgris).
Menurut dia, pengajaran cara berpikir sistematis sebenarnya cukup melalui matematika, namun dengan proporsi yang sesuai kapasitas dan kemampuan siswa.
"Jadi, cukup diajarkan logika, diajarkan mengenai matematika. Kami setuju (diajarkan) sejak dini tetapi yang terukur sesuai dengan usia," kata Muhdi yang juga anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI asal Jawa Tengah.
Nantinya, kata dia, pihaknya akan berkonsultasi dengan pakar untuk merumuskan usulan mengenai pembelajaran berpikir sistematis itu untuk disampaikan kepada menteri.
Sementara itu, pakar teknologi informasi (IT) Prof Ridwan Sanjaya membenarkan bahwa "coding" adalah berkaitan dengan kemahiran menulis bahasa pemrograman.
"Sedangkan yang dibutuhkan siswa adalah cara berpikir sistematis. Jadi, bagaimana literasi digital dan cara berpikir komputasional diterapkan," katanya.
Mantan Rektor Unika Soegijapranata Semarang itu juga menyampaikan bahwa kecerdasan buatan atau "artificial intelligent" (AI) saat ini sudah akrab di kalangan pelajar, tetapi mereka belum sepenuhnya paham.
"Itu generatif AI, seperti ChatGPT, Copilot, Gemini. Mereka bekerja bagaimana menerjemahkan apa yang disampaikan manusia. Akibatnya, murid tidak lagi berusaha dan berpikir sendiri tetapi tanya ChatGPT," katanya.
Namun, Ridwan mengingatkan dunia pendidikan tidak perlu terlalu mengkhawatirkan perkembangan AI asalkan mengetahui dan memahami sisi positif dan negatifnya.
"Justru berpikir komputasional merupakan kecakapan yang dibutuhkan saat ini. Namun, tidak selalu harus berwujud coding atau bahkan Al," katanya.
Selain itu, kata dia, literasi digital harus ditingkatkan di kalangan siswa agar tidak FOMO (Fear of Missing Out), yakni perasaan takut ketinggalan tren, 'update', atau kesempatan untuk terhubung dengan orang lain yang sering dialami generasi milenial dan generasi Z.
Baca juga: Siswa SMKN 4 Semarang diduga tewas akibat luka tembak
"Harus dipahami ya, bukan memberikan pendidikan atau pelajaran 'coding' sejak TK. Tetapi, lebih sebenarnya untuk mengajarkan cara berpikir yang sistematis," katanya, di Semarang, Senin.
Hal tersebut disampaikannya usai Focus Group Discussion (FGD) bertema "Pendidikan Bermutu untuk Semua" menyambut Hari Guru dan Hari Ulang Tahun (HUT) PGRI di Universitas PGRI Semarang (Upgris).
Menurut dia, pengajaran cara berpikir sistematis sebenarnya cukup melalui matematika, namun dengan proporsi yang sesuai kapasitas dan kemampuan siswa.
"Jadi, cukup diajarkan logika, diajarkan mengenai matematika. Kami setuju (diajarkan) sejak dini tetapi yang terukur sesuai dengan usia," kata Muhdi yang juga anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI asal Jawa Tengah.
Nantinya, kata dia, pihaknya akan berkonsultasi dengan pakar untuk merumuskan usulan mengenai pembelajaran berpikir sistematis itu untuk disampaikan kepada menteri.
Sementara itu, pakar teknologi informasi (IT) Prof Ridwan Sanjaya membenarkan bahwa "coding" adalah berkaitan dengan kemahiran menulis bahasa pemrograman.
"Sedangkan yang dibutuhkan siswa adalah cara berpikir sistematis. Jadi, bagaimana literasi digital dan cara berpikir komputasional diterapkan," katanya.
Mantan Rektor Unika Soegijapranata Semarang itu juga menyampaikan bahwa kecerdasan buatan atau "artificial intelligent" (AI) saat ini sudah akrab di kalangan pelajar, tetapi mereka belum sepenuhnya paham.
"Itu generatif AI, seperti ChatGPT, Copilot, Gemini. Mereka bekerja bagaimana menerjemahkan apa yang disampaikan manusia. Akibatnya, murid tidak lagi berusaha dan berpikir sendiri tetapi tanya ChatGPT," katanya.
Namun, Ridwan mengingatkan dunia pendidikan tidak perlu terlalu mengkhawatirkan perkembangan AI asalkan mengetahui dan memahami sisi positif dan negatifnya.
"Justru berpikir komputasional merupakan kecakapan yang dibutuhkan saat ini. Namun, tidak selalu harus berwujud coding atau bahkan Al," katanya.
Selain itu, kata dia, literasi digital harus ditingkatkan di kalangan siswa agar tidak FOMO (Fear of Missing Out), yakni perasaan takut ketinggalan tren, 'update', atau kesempatan untuk terhubung dengan orang lain yang sering dialami generasi milenial dan generasi Z.
Baca juga: Siswa SMKN 4 Semarang diduga tewas akibat luka tembak