Semarang (ANTARA) - Akademisi dan juga praktisi bisnis Prof Rhenald Kasali mengingatkan untuk tidak pernah berhenti melakukan "learning" sebagai salah satu proses belajar yang sangat penting.
"Kalau bicara doktor ada 'study' ada 'learning'," katanya saat menyampaikan sambutan pada penganugerahan gelar doktor honoris causa Universitas Negeri Semarang (Unnes) kepada Irwan Hidayat, di Semarang, Rabu.
Irwan yang juga Direktur PT Industri Jamu dan Farmasi Sido Muncul Tbk menerima gelar doktor kehormatan atau doktor honoris causa (Dr HC) dalam bidang ilmu manajemen mutu (branding) dari Unnes.
Rhenald mengatakan bahwa Irwan adalah salah satu contoh sosok yang melakukan "learning" hingga pantas mendapatkan gelar doktor kehormatan.
Menurut dia, "learning" berbeda dengan "study" meski sama-sama berarti belajar, sebab "study" dilakukan secara terstruktur.
"'Study' itu dilakukan secara terstruktur. Datang, daftar, dengan tujuan dapat gelar. Kemudian, ketemu dosen, dosen kasih silabus. Ada bukunya, ada risetnya, lakukan secara terstruktur, setelah itu dapat gelar doktor," katanya.
Secara aturan, ia mengatakan bahwa proses studi untuk meraih gelar akademik doktor diperbolehkan dalam empat semester, tetapi rata-rata diperoleh dalam enam semester.
"Kalau 'learning' adalah mempraktikkan ilmu pengetahuan, menjalankannya, melakukan eksplorasi. Di situ ada rasa 'curiosity', ada rasa penasaran, di situ kemudian mencari tahu," katanya.
Bahkan, kata dia, dalam proses "learning" mengharuskan untuk bertemu berbagai orang dengan latar belakang yang berbeda dengan bidang yang ditekuninya.
"Kemudian, ketemu aneka orang yang bukan pada bidang spesifik yang kita tekuni. Bukan hanya ahli jamu farmasi, tapi juga ahli komunikasi, filsuf, budayawan, atau ahli manajemen. Eksplorasi dan praktikkan," katanya.
"Itu 'learning' bisa jadi jalur belajarnya ketemu orang, bisa lihat video, atau bisa jadi membaca, dan lain sebagainya. 'unstructured'," tambah guru besar bidang Ilmu manajemen di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia itu.
Sayangnya, kata dia, banyak orang, termasuk akademisi yang tidak melakukan "learning" setelah melakukan "study".
"Banyak orang yang setelah lulus bekerjanya pada bidang yang lain. Banyak dosen mengajarkan kewirausahaan tapi dia tidak pernah berwirausaha. Akibatnya, hanya mengajarkan teori berbasiskan studi," katanya.
Diakuinya, "learning" memang memerlukan waktu dan proses yang lama, termasuk Irwan yang menghabiskan hingga 108 semester untuk mengembangkan industri jamu dan farmasi sejak 1970-an.
Pada kesempatan itu, ia juga mengutip beberapa pernyataan tokoh, seperti Mahatma Gandhi, Benjamin Franklin, hingga Henry Ford untuk memperkuat pentingnya "learning" sebagai proses pembelajaran.
Karena itu, Rhenald mengingatkan untuk tidak pernah berhenti melakukan "learning" sebagai proses pembelajaran untuk mengembangkan kapasitas dan kemampuan diri.
Baca juga: Permohonan kasasi Homologasi PT Sritex masuki babak baru
"Kalau bicara doktor ada 'study' ada 'learning'," katanya saat menyampaikan sambutan pada penganugerahan gelar doktor honoris causa Universitas Negeri Semarang (Unnes) kepada Irwan Hidayat, di Semarang, Rabu.
Irwan yang juga Direktur PT Industri Jamu dan Farmasi Sido Muncul Tbk menerima gelar doktor kehormatan atau doktor honoris causa (Dr HC) dalam bidang ilmu manajemen mutu (branding) dari Unnes.
Rhenald mengatakan bahwa Irwan adalah salah satu contoh sosok yang melakukan "learning" hingga pantas mendapatkan gelar doktor kehormatan.
Menurut dia, "learning" berbeda dengan "study" meski sama-sama berarti belajar, sebab "study" dilakukan secara terstruktur.
"'Study' itu dilakukan secara terstruktur. Datang, daftar, dengan tujuan dapat gelar. Kemudian, ketemu dosen, dosen kasih silabus. Ada bukunya, ada risetnya, lakukan secara terstruktur, setelah itu dapat gelar doktor," katanya.
Secara aturan, ia mengatakan bahwa proses studi untuk meraih gelar akademik doktor diperbolehkan dalam empat semester, tetapi rata-rata diperoleh dalam enam semester.
"Kalau 'learning' adalah mempraktikkan ilmu pengetahuan, menjalankannya, melakukan eksplorasi. Di situ ada rasa 'curiosity', ada rasa penasaran, di situ kemudian mencari tahu," katanya.
Bahkan, kata dia, dalam proses "learning" mengharuskan untuk bertemu berbagai orang dengan latar belakang yang berbeda dengan bidang yang ditekuninya.
"Kemudian, ketemu aneka orang yang bukan pada bidang spesifik yang kita tekuni. Bukan hanya ahli jamu farmasi, tapi juga ahli komunikasi, filsuf, budayawan, atau ahli manajemen. Eksplorasi dan praktikkan," katanya.
"Itu 'learning' bisa jadi jalur belajarnya ketemu orang, bisa lihat video, atau bisa jadi membaca, dan lain sebagainya. 'unstructured'," tambah guru besar bidang Ilmu manajemen di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia itu.
Sayangnya, kata dia, banyak orang, termasuk akademisi yang tidak melakukan "learning" setelah melakukan "study".
"Banyak orang yang setelah lulus bekerjanya pada bidang yang lain. Banyak dosen mengajarkan kewirausahaan tapi dia tidak pernah berwirausaha. Akibatnya, hanya mengajarkan teori berbasiskan studi," katanya.
Diakuinya, "learning" memang memerlukan waktu dan proses yang lama, termasuk Irwan yang menghabiskan hingga 108 semester untuk mengembangkan industri jamu dan farmasi sejak 1970-an.
Pada kesempatan itu, ia juga mengutip beberapa pernyataan tokoh, seperti Mahatma Gandhi, Benjamin Franklin, hingga Henry Ford untuk memperkuat pentingnya "learning" sebagai proses pembelajaran.
Karena itu, Rhenald mengingatkan untuk tidak pernah berhenti melakukan "learning" sebagai proses pembelajaran untuk mengembangkan kapasitas dan kemampuan diri.
Baca juga: Permohonan kasasi Homologasi PT Sritex masuki babak baru