Magelang (ANTARA) - Para seniman petani Komunitas Lima Gunung Kabupaten Magelang menggelar festival tahunan secara mandiri, "Festival Lima Gunung" pada 2024 sebagai penyelenggaraan ke-23 dengan tema "Wolak-Waliking Jaman Kelakone", sebagai respons reflektif atas situasi kehidupan akhir-akhir ini.

"Tema itu diambil karena melihat sekarang, semua yang terjadi itu tidak terduga, baik situasi negara dan alam," kata sesepuh Komunitas Lima Gunung yang juga pimpinan Padepokan Tjipto Boedojo Tutup Ngisor Desa Sumber, Kecamatan Dukun Sitras Anjilin di Magelang, Selasa.

Ia mengatakan hal itu dalam konferensi pers persiapan Festival Lima Gunung XXIII/2024 di Sanggar Dhom Sunthil Dusun Warangan, Desa Muneng Warangan, Kecamatan Pakis yang antara lain dihadiri pendiri KLG yang juga budayawan Magelang Sutanto Mendut, Ketua KLG Sujono, dan para tokoh komunitas seniman petani kawasan Gunung Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh Kabupaten Magelang itu.

Acara juga ditandai dengan pementasan tarian "Oglek" dan "Incling", kolaborasi Sanggar Dhom Sunthil dan Sekarhima Kota Magelang, serta sajian tembang jawa bersumber dari serat Sabda Jati tentang semut ireng yang mengisahkan suatu keadaan tidak karuan oleh dalang Komunitas Lima Gunung Sih Agung Prasetya.

Ia mengatakan para leluhur telah menyebutkan tentang bakal terjadi situasi seakan terasa sebagai zaman terbalik-balik atau tidak karuan.

Budayawan Sutanto Mendut mengemukakan tentang situasi tidak karuan pada syair tembang semut ireng dalam serat Sabdo Jati itu, sebagai paradoks, kontroversi, polarisasi, dan tabrakan pikiran.

"Dalam Festival Lima Gunung ini, melalui tema itu hendak mengingatkan para tokoh, elite, pimpinan negara, dan masyarakat luas supaya berhati-hati atas 'wolak-waliking jaman kelakone'," ucapnya.

Menurut dia, zaman yang ditandai dengan perkembangan pesat teknologi informasi menjadi salah satu faktor yang mengakibatkan situasi tidak karuan saat ini.

Setiap orang, katanya, harus berpikir kritis dan bersikap arif bijaksana dalam menyikapi perkembangan keadaan sehingga nilai peradaban luhur tetap terjaga sebagai fondasi hidup bersama manusia dan komunitasnya.
  Ketua Komunitas Lima Gunung Sujono (kanan) didamping salah satu tokoh KLG Endah Pertiwi (kiri) dalam konferensi pers Festival Lima Gunung XXIII/2024 di Sanggar Dhom Sunthil Dusun Warangan, Desa Muneng Warangan, Kecamatan Pakis, Kabupaten Magelang, Selasa (17/9/2024). ANTARA/Hari Atmoko

Ketua KLG Sujono menyebut puncak acara itu berlangsung selama 25-29 September 2024 di Dusun Keron, Desa Krogowanan, Kecamatan Sawangan, Kabupaten Magelang. Rangkaian festival dimulai pada Selasa (17/9) di Dusun Warangan berupa konferensi pers dan pementasan tarian, pada Jumat (20/9) di Studio Mendut, Kelurahan Mendut, Kecamatan Mungkid berupa diskusi "Manuskrip Merapi-Merbabu", pada Minggu (22/9) di Dusun Gejayan, Desa Banyusidi, Kecamatan Pakis, berupa pementasan wayang kulit "Kumbokarna Mlebu Swarga". 

Ia menjelaskan masyarakat Keron sejak dua bulan lalu menyiapkan berbagai keperluan sebagai tuan rumah festival, antara lain membuat panggung, menyiapkan lokasi acara, membuat karya instalasi seni desa, rumah-rumah warga untuk transit para pementas dan menginap tamu festival.

Sedikitnya 120-an kelompok kesenian dengan total 2.000-an personel tercatat melakukan pementasan pada Festival Lima Gunung 2024. Mereka berasal dari grup-grup kesenian Komunitas Lima Gunung, grup kesenian dari desa-desa di Magelang, dan beberapa lainnya dari luar daerah setempat, beberapa kota besar, serta luar negeri.

Berbagai acara dihadirkan dalam festival, antara lain pementasan tari tradisional, modern, dan kontemporer, musik, kolaborasi seni, kirab budaya, pidato kebudayaan, performa seni, pantomim, teater, pameran foto, dan wayang orang. Sejumlah seniman perupa membuat karya seni lukis secara "on the spot" di empat titik arena festival.

Ia mengatakan tema festival tahun ini sebagai refleksi warga komunitas atas peristiwa aktual dihadapi masyarakat akhir-akhir ini dan pancaran proyeksi nilai-nilai untuk harapan lebih baik atas masa depan kehidupan manusia dan kondisi sosial lingkungan.

Setiap zaman, kata dia, dirasakan sebagai dialektika atas perputaran waktu dan jalan sejarah manusia yang menyimpan kisah kehidupan dengan pergulatan nilai-nilai demi kemaslahatan bersama, sedangkan Komunitas Lima Gunung menyadari pentingnya menjaga nilai-nilai budaya desa bagi kehidupan bersama. 

Disadari pula, katanya, berbagai tantangan dan ragam interprestasi atas peristiwa demi peristiwa sebagai suatu realitas. 

"Berbagai tantangan untuk menjalani kehidupan sebagai hal yang niscaya. Demikian pula menjaga dan menghidupi nilai-nilai desa tidak menghindarkan diri dari perkembangan kemajuan zaman karena berpegang, antara lain kepada kearifan dan warisan nilai dari leluhur," katanya.
 

Pewarta : M. Hari Atmoko
Editor : Edhy Susilo
Copyright © ANTARA 2024