Semarang (ANTARA) - Program Manager Yayasan Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKiS) Tri Noviana menilai regulasi terkait dengan penghayat kepercayaan kerap mentok di level pemerintah daerah dalam implementasinya.
"Maksudnya, kadang mentok di kabupaten. Di pusat sudah ada, clear, tetapi di tingkat kabupaten atau provinsi terusannya enggak tahu. Apakah diteruskan ke kecamatan atau kelurahan atau tidak?" kata Tri Noviana di Semarang, Rabu.
Hal tersebut disampaikannya saat Diskusi Publik: Pemenuhan Hak Pendidikan Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa: Antara Komitmen Negara dan Realitasnya di kampus Universitas 17 Agustus 1945 Semarang.
Novi mencontohkan kasus penghayat kepercayaan di Cilacap yang masih dipersulit mengurus data kependudukan, termasuk mengubah kolom agama di kartu tanda penduduk (KTP) dan kartu keluarga (KK) menjadi "penghayat kepercayaan".
"Contoh kasus di Cilacap, tidak semua (pejabat, red.) kecamatan dan kelurahan memahami apa itu penghayat kepercayaan, dan bagaimana sistem administrasi ketika mereka mengajukan KK atau KTP," katanya.
Diakuinya bahwa saat ini apa yang dialami para penghayat kepercayaan memang sudah lebih baik jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Pada tahun 2014 mereka masih mengalami diskriminasi yang cukup signifikan.
Meskipun sekarang sudah relatif lebih baik bagi penghayat kepercayaan untuk mendapatkan haknya sebagai warga negara, Novi mengingatkan bahwa masih ada beberapa hal yang perlu dibenahi.
"Teman-teman penghayat kepercayaan mulai mendapatkan pemenuhan haknya sebagai warga negara terkait dengan pendidikan, perkawinan, pemakaman, dan kebijakan cukup banyak melindungi teman-teman seperti putusan MK dan Permendikud," katanya.
Namun, diakuinya bahwa kondisi yang dialami penghayat kepercayaan di masing-masing daerah berbeda. Misalnya, di Yogyakarta lebih baik karena bisa langsung terakses advokasi kelompok masyarakat sipil, berbeda dengan wilayah lain.
"Ya masih ada hal-hal yang belum selesai dan jadi PR (pekerjaan rumah). Karena gugatan baru 2016, putusan MK pada tahun 2017. Baru 6—7 tahun. Masih sinkronisasi mekanisme alur dan jalurnya," kata Novi.
Sementara itu, Direktur Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS) Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta Samsul Maarif menyebutkan masih banyak PR yang perlu penyelesaian terkait dengan penghayat kepercayaan.
"Penghayat kepercayaan betul sudah ada (menuliskan kolom agama, red.) di KTP, ya. Akan tetapi, saya tahu ada banyak penghayat yang belum memiliki, pertanyaannya 'kan mengapa?" katanya.
Secara jujur, kata dia, ada banyak kebijakan yang mengakomodasi penghayat kepercayaan, tetapi belum seluruhnya clear, bahkan ada yang justru bisa mengancam keberadaan mereka.
"Misalnya, kalau sudah milih KTP penghayat, dalam aturan pernikahan bahwa penghayat kepercayaan tidak bisa nikah agama. Akibatnya, penghayat menjadi sedikit keluarganya yang bisa saling menikah," katanya.
Antarlembaga pemerintah pun, menurut dia, kerap tidak sejalan dalam menjalankan aturan mengenai penghayat seperti Putusan MK Nomor 97/PUU-XIV/2016 tanggal 18 Oktober 2017 tentang pencantuman kolom kepercayaan dalam dokumen kependudukan.
"Lembaga pemerintah yang diberi amanah untuk itu cukup kerja keras, tetapi lembaga pemerintah yang lain, kementerian bisa menolak. Kesannya pemerintah itu tidak monolitik," katanya.
"Maksudnya, kadang mentok di kabupaten. Di pusat sudah ada, clear, tetapi di tingkat kabupaten atau provinsi terusannya enggak tahu. Apakah diteruskan ke kecamatan atau kelurahan atau tidak?" kata Tri Noviana di Semarang, Rabu.
Hal tersebut disampaikannya saat Diskusi Publik: Pemenuhan Hak Pendidikan Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa: Antara Komitmen Negara dan Realitasnya di kampus Universitas 17 Agustus 1945 Semarang.
Novi mencontohkan kasus penghayat kepercayaan di Cilacap yang masih dipersulit mengurus data kependudukan, termasuk mengubah kolom agama di kartu tanda penduduk (KTP) dan kartu keluarga (KK) menjadi "penghayat kepercayaan".
"Contoh kasus di Cilacap, tidak semua (pejabat, red.) kecamatan dan kelurahan memahami apa itu penghayat kepercayaan, dan bagaimana sistem administrasi ketika mereka mengajukan KK atau KTP," katanya.
Diakuinya bahwa saat ini apa yang dialami para penghayat kepercayaan memang sudah lebih baik jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Pada tahun 2014 mereka masih mengalami diskriminasi yang cukup signifikan.
Meskipun sekarang sudah relatif lebih baik bagi penghayat kepercayaan untuk mendapatkan haknya sebagai warga negara, Novi mengingatkan bahwa masih ada beberapa hal yang perlu dibenahi.
"Teman-teman penghayat kepercayaan mulai mendapatkan pemenuhan haknya sebagai warga negara terkait dengan pendidikan, perkawinan, pemakaman, dan kebijakan cukup banyak melindungi teman-teman seperti putusan MK dan Permendikud," katanya.
Namun, diakuinya bahwa kondisi yang dialami penghayat kepercayaan di masing-masing daerah berbeda. Misalnya, di Yogyakarta lebih baik karena bisa langsung terakses advokasi kelompok masyarakat sipil, berbeda dengan wilayah lain.
"Ya masih ada hal-hal yang belum selesai dan jadi PR (pekerjaan rumah). Karena gugatan baru 2016, putusan MK pada tahun 2017. Baru 6—7 tahun. Masih sinkronisasi mekanisme alur dan jalurnya," kata Novi.
Sementara itu, Direktur Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS) Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta Samsul Maarif menyebutkan masih banyak PR yang perlu penyelesaian terkait dengan penghayat kepercayaan.
"Penghayat kepercayaan betul sudah ada (menuliskan kolom agama, red.) di KTP, ya. Akan tetapi, saya tahu ada banyak penghayat yang belum memiliki, pertanyaannya 'kan mengapa?" katanya.
Secara jujur, kata dia, ada banyak kebijakan yang mengakomodasi penghayat kepercayaan, tetapi belum seluruhnya clear, bahkan ada yang justru bisa mengancam keberadaan mereka.
"Misalnya, kalau sudah milih KTP penghayat, dalam aturan pernikahan bahwa penghayat kepercayaan tidak bisa nikah agama. Akibatnya, penghayat menjadi sedikit keluarganya yang bisa saling menikah," katanya.
Antarlembaga pemerintah pun, menurut dia, kerap tidak sejalan dalam menjalankan aturan mengenai penghayat seperti Putusan MK Nomor 97/PUU-XIV/2016 tanggal 18 Oktober 2017 tentang pencantuman kolom kepercayaan dalam dokumen kependudukan.
"Lembaga pemerintah yang diberi amanah untuk itu cukup kerja keras, tetapi lembaga pemerintah yang lain, kementerian bisa menolak. Kesannya pemerintah itu tidak monolitik," katanya.